Nayara terusik gerakan-gerakan menggeliat di sampingnya. Dan tanpa membuka mata dia tahu dia ada di mana dan siapa yang menganggu lelapnya. Posisi tidur mereka sudah tak jelas. Dia tertidur ketika membaca. Tubuhnya jatuh sepanjang sandaran sofa sementara kakinya tetap di tempatnya. Mungkin karena merasa tempatnya sempit Manggala bergerak naik dan kepalanya berakhir di paha Nayara dan geliatnya tadi membuat tangannya melintang di perut Nayara. Bantal sudah di lantai, selimut setengah terjuntai. Untuk gampangnya, anggap saja posisi mereka adalah modifikasi 69 dengan pakaian lengkap.
Nayara menjatuhkan sebelah kaki agar punggungnya bisa lebih lurus dan kepala Manggala bisa lebih nyaman di pahanya. Tidurnya lelap. Bukan, bukan tidurnya. Tidur mereka lelap. Ini nyaris pagi. Semburat jingga sudah terlihat di jendela.
Melihat wajah lelap di pahanya, tangan Nayara kembali bergerak mengelus rambut itu. Dia menutup matanya. Tidak berusaha tidur kembali, hanya ingin merasai dan
Manggala, aduh... kenapa lagi, Dear? Kenapa Nayaranya disuruh pergi? Nanti kamu sama siapa? Happy reading nggak nih? Sudah beberapa bab ke belakang nggak bisa dibilang happy reading. [Minggu, 17 Oktober 2021]
TAK tahu berapa lama mereka berdua berada di neraka itu. Waktu terasa bergerak sangat lambat ketika Nayara tidak tahu apa yang harus dia lakukan kecuali menemani Manggala saja. Sampai tubuh Manggala melemah, napasnya pun mulai teratur. Dan akhirnya Nayara menyadari, Manggalas sudah tertidur. Dua pil memang bekerja lebih cepat, tapi tetap saja Nayara takut dosis itu berbahaya bagi Manggala. Dia mengambil bungkus pil, dosis yang tertera hanya setengah sampai satu. Jeritannya tertahan di tenggorokan. Manggala lelap atau pingsan, dia tak tahu. Pun dia sudah menyambar ponsel dan mencari tahu dengan jarinya, dia tetap tidak memperoleh hasil di tengah kepanikan seperti ini. Berkali-kali dia memperhatikan napas Manggala. Memastikan dia bernapas normal. Menyentuh bagian tubuhnya untuk mendeteksi suhu. Menghapus keringatnya. Manggala bahkan masih bertelanjang dada. Sepi. Tapi kepalanya sungguh riuh. Ramai dengan berbagai pertanyaan yang saling menabrak mencari jawaban.
“SHOULD I sorry for that?” Nayara berbisik pelan. Sungguh-sungguh bertanya. “No need. Aku sudah berhasil memetakan soal itu. Aku yang salah. Tapi yah aku begitu, itu gara-gara kenangan buruk aku. Dan kenangan itu bukan aku yang bikin. Tapi aku bisa apa? Jadi kembali lagi, aku terima aja.” Suaranya datar, begitu tenang. Tanpa emosi sama sekali. “Kenapa kamu berani ngajuin proposal seperti itu ke aku? Apa selama ini ada kelakuan aku yang bikin kamu pikir aku kayak cewek bispak? Aku nggak pernah godain kamu, outfit juga tertutup.” Nayara merasa harus menanyakan sumber kesedihannya. “Aku ngelihat kamu di High Five, Nayara. Aku yakin waktu itu kamu juga lihat aku.” “So? Tentu Nayara ingat kejadian itu. Waktu itu dia berpura-pura tidak melihat Manggala, tapi ternyata dia gagal. “Kamu nggak tau profesi lain salah satu teman kamu?” “Hah?” Nayara berekspresi singkat. Ekspresi bodoh dan terkejut. “Aku ngg
“STAY here, Nayara.” Berbisik nyaris seperti desah. Sangat pelan sehingga seperti memohon. “Coba tolong perjelas kalimatnya.” Nayara pun bersuara pelan. Mereka sedekat ini, di ruang setenang ini. Semua terdengar jelas bahkan debar jantung dan aliran darah pun bisa terdengar. Nayara berusaha setenang dan senetral mungkin. Tak ada suara lain yang menemani keriuhan di batin masing-masing mereka. Senyap. Suara lembut Nayara pun terdengar sangat jelas. Manggala berusaha sangat keras mengatakan maunya. Setelah dia bercerita, mengeluarkan kisah yang membebani jiwanya, Nayara menuntut hal lain yang selama ini dia tekan. Selama ini banyak keinginan-keinginannya tidak berhasil melewati bibirnya. Hanya terkubur di dalam jurang hati. Perjalanan hidupnya mengajarkan itu. Semua akan lebih baik jika dia diam, menerima saja semuanya, memendam saja semua maunya, lalu melupakan semua terutama yang menyakitinya. Jika terlalu sakit, maka sakiti saja dirimu sendi
HUBUNGAN mereka membaik. Komunikasi yang sempat putus kembali lancar. Dan tanpa kesepakatan, mereka sama-sama menjalani kebersamaan ini tanpa merasa orang lain perlu tahu kedekatan mereka. Hubungan mereka adalah privasi mereka. Sesekali Manggala mengantar Nayara pulang lalu mereka berbincang santai di teras kos. Kadang bersama Gia dan pasangannya. Beberapa kali Manggala mengajak Nayara ke rumahnya, tapi Nayara selalu menolak dengan alasan yang sama. Sejujurnya, Nayara hanya tidak mau tak berjeda dengan Manggala. Karena alasan itu juga maka Nayara sering menolak ke apartemen. Berakhir di berbagai tempat makan. Baru satu kali di tempat hiburan malam. Sebulan lebih seperti itu. Seperti kali ini. Akhir pekan, mereka lebih santai. Bosan duduk berbincang di tempat yang sama, Manggala mengajaknya pergi dan berakhir di tempat hiburan malam. “Ngapain sih ke sini?” protes Nayara. “Kamu nggak suka?” Manggala bersiap memutar kemudinya. “Minum ngga
“GET a room.” “Sh*t!” “D*mn!” Setelah sebuah suara tiba-tiba muncul, dua makian keluar bersamaan dari mereka. “Get a room. You have one here.” “Ngapain lu tadi berantem? Rebutan cewek?” “Gue cuma suruh kalian ke kamar. Nggak usah ribet ngalihin pembicaraan gitu, Nay. Gue nggak larang lu. Gue cuma nggak enak aja lihat lu main di depan mata gini. Biar gimana lu adek gue.” Santai, Jaya mengambil minuman isotonik dari lemari es, duduk di kursi makan dan menenggak minumannya sambil memijat kening. “Bukan itu, Njing. Ngapain ribut gara-gara cewek. Kayak nggak ada cewek lain.” Nayara terus mengerutu, berusaha menghilangkan rona merah yang tadi nyaris menjalar naik di wajahnya. Marah dan mengoceh memang pengalih perhatian yang sangat jamak. “Mending gue ngerebut cewek orang daripada ngerebut cowok orang kan?” ucap Jaya sambil terkekeh kurang ajar. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Hanya me
KESUNYIAN itu akan terus berlanjut jika salah satu dari mereka tidak mengeluarkan suara. “Selama ini yang aku tahu cuma kebutuhan badaniah aja.” Akhirnya ada suara meretakkan kesenyapan yang syahdu itu. “I’m not a good kisser because I kiss no one. I never kiss any girls. I’m a players but not a playboy. Aku nggak pernah merayu. Aku nggak pernah ngegombalin cewek. Aku cuma butuh liang perempuan buat pelepasan aja. Kebutuhan yang aku tahu cuma itu.” Manggala seperti berbicara sendiri. Dia tak peduli. Dia tahu, meski masih merajuk, Nayara pasti mendengar ocehannya. “Tapi kamu datang. Mengacak-acak hormon aku. Sampai aku merasa kebutuhan yang lain. Yang selama ini aku pikir b*llsh*t.” Dia tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. “You fill the emptiness of my soul.” Manggala mengecup lembut puncak kepala Nayara. Lalu meletakkan lagi dagunya di puncak kepala itu. “Demi itu, aku rela abaikan kebutuhan badan aku. Aku terima kam
BEBERAPA minggu ini memang kesibukan Nayara bertambah. Skripsinya semakin mendekati ujung. Kemarin dia mengabaikan itu demi kesenangan bersama Manggala. Tapi Minggu ini dia menggunakan alasan itu. Walau ternyata ada rindu yang harus diurus. MGP : Di mana? Ph Nay : Di kampus MGP : Aku jemput ya. Ph Nay : Nggak usah, kejauhan. Nanti jemput di Beos aja ya. MGP : Oks. Cu. Dan Manggala menjemput sampai di depan peron. “Tumben ke Beos. Biasanya di Dukuh Atas,” sapa Manggala sambil tersenyum ketika mereka bertemu. Tangannya langsung menyambar tangan Nayara, memegangnya sepanjang jalan menuju mobil. “Malas turun raramean.” Tadi Nayara memang turun menunggu gerbong kosong. “Lagian aku mau ke Ancol. Yuk.” Manggala langsung mengiyakan ajakan itu. M
MANGGALA mengajak Nayara ke sebuah anjungan tepat di tubir tebing kecil. Tak ada pohon peneduh. Anjungan menjorok sedikit keluar batas lahan, menggantung di udara. Pagar setinggi pinggang sebagai pengaman bagi tebing curam setinggi dua puluh meter. Pemandangan di depan adalah kebun dan langit. Terasa lapang. Matahari langsung menyentuh kulit tanpa peneduh. Matahari pagi menjelang siang yang menyengat, meski hawa dingin pegunungan tetap terasa, tapi matahari yang hanya dihalangi awan tipis tetap terasa panas mengeringkan kulit. Tapi Manggala suka di tempat ini. Mereka berjalan bersisian menuju anjungan. “Ulin juga nih?” Nayara menjejakkan kaki di dasar anjungan. Manggala terkekeh. “Sisa bikin bale-bale. Kan beli pakai kubik. Cuma cukup buat tiang lantai dan pagar sama beberapa lembar untuk lantai. Tapi kalau ada remahan ulin aku mau deh beli lagi.” “Remahan? Dikata rengginang.” “Ya beneran remahan. Bisa dibikin seperti parket kan. Disusun gitu. Ah, tuk
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,