BEBERAPA minggu ini memang kesibukan Nayara bertambah. Skripsinya semakin mendekati ujung. Kemarin dia mengabaikan itu demi kesenangan bersama Manggala. Tapi Minggu ini dia menggunakan alasan itu. Walau ternyata ada rindu yang harus diurus.
MGP : Di mana?
Ph Nay : Di kampus
MGP : Aku jemput ya.
Ph Nay : Nggak usah, kejauhan. Nanti jemput di Beos aja ya.
MGP : Oks. Cu.
Dan Manggala menjemput sampai di depan peron.
“Tumben ke Beos. Biasanya di Dukuh Atas,” sapa Manggala sambil tersenyum ketika mereka bertemu. Tangannya langsung menyambar tangan Nayara, memegangnya sepanjang jalan menuju mobil.
“Malas turun raramean.” Tadi Nayara memang turun menunggu gerbong kosong. “Lagian aku mau ke Ancol. Yuk.”
Manggala langsung mengiyakan ajakan itu.
M
Aku suka scene ini. Sederhana banget. Cuma janjian di Beos trus jalan ke pantai, duduk-duduk ngobrol. Emak kan nggak suka scene-scene cowok royal segala apa dibeliin. Berasa cewek matre banget. IBranded thing, unlimited credit card, kata cinta bak pujangga. Bleh! Ian aja yang lebay nggak segitunya, apalagi Manggala yang kaku banget sama hubungan seperti ini. Makasih masih pantengin Mgp Nay sampai di bab 60. Semoga ceritanya nggak membosankan. Biar kalian anteng kentjan sama Mgp. Ditunggu komen, like,love, subs, follows Thx & happy reading [Minggu, 24 Oktober 2021]
MANGGALA mengajak Nayara ke sebuah anjungan tepat di tubir tebing kecil. Tak ada pohon peneduh. Anjungan menjorok sedikit keluar batas lahan, menggantung di udara. Pagar setinggi pinggang sebagai pengaman bagi tebing curam setinggi dua puluh meter. Pemandangan di depan adalah kebun dan langit. Terasa lapang. Matahari langsung menyentuh kulit tanpa peneduh. Matahari pagi menjelang siang yang menyengat, meski hawa dingin pegunungan tetap terasa, tapi matahari yang hanya dihalangi awan tipis tetap terasa panas mengeringkan kulit. Tapi Manggala suka di tempat ini. Mereka berjalan bersisian menuju anjungan. “Ulin juga nih?” Nayara menjejakkan kaki di dasar anjungan. Manggala terkekeh. “Sisa bikin bale-bale. Kan beli pakai kubik. Cuma cukup buat tiang lantai dan pagar sama beberapa lembar untuk lantai. Tapi kalau ada remahan ulin aku mau deh beli lagi.” “Remahan? Dikata rengginang.” “Ya beneran remahan. Bisa dibikin seperti parket kan. Disusun gitu. Ah, tuk
SAMBIL memeluk Nayara, Manggala mengajak gadisnya berkeliling melihat isi rumah kaca dan kebun bunga kecil. Melihat itu, mood Nayara membaik. Dia bisa tersenyum ketika Manggala memetikkan setangkai lili untuknya. Hari makin siang. Mereka sudah kembali duduk di balai-balai. Di sana mereka hanya berbincang santai sambil menikmati kudapan. “Terus kamu kapan tanam itu tanaman yang kemarin kamu beli di Flona?” tanya Nayara sambil memainkan lilinya. “Paling minggu depan.” “Hah?” Nayara sampai menoleh mengalihkan tatapan dari lili di tangannya. “Terus ngapain kita ke sini? Kemarin katanya mau langsung tanam.” Mereka duduk bersisian di tepi balai-balai. “Ya kalau ada kamu ngapain aku ngurus tanaman. Mending aku ngurus kamu.” “Astaga… Manggala!” Gerutu yang membuat Manggala tertawa. “Kalau kamu nggak di sini, siapa yang ngurus semua?” “Aku minta tolong tetangga ngurusin tiap hari. Istrinya yang bersih-be
NAYARA semakin sibuk. Jadwal seminar dan sidangnya sudah fix bulan depan. Dia sering menghilang dari kubikelnya, ke kampus mengurus semua pernak-pernik sidang. Manggala selalu menawarkan diri mengantar dan menjemput, tapi Nayara selalu menolak. Dia tahu Manggala pun sama sibuknya. Kadang tengah malam baru mereka bisa berbincang melalui telepon. Meski Manggala sering mengundang dirinya sendiri ke tempat gadisnya, tapi Nayara selalu menolak. Sudah terlalu malam, lebih baik beristirahat, lebih baik mengerjakan hal lain, dan segudang alasan lain. Di akhir pekan pun Nayara sibuk. Pekerjaan dan kuliah. Dia menolak bantuan apa pun dari Manggala. Dia malah menyuruh Manggala ke rumah mengurus tanamannya. Malam itu Nayara masih di kubikelnya. Duduk bertopang dagu sambil tangannya menggeser-geser layar ponsel. Foto-foto mereka ketika di rumah. Termasuk foto candid Manggala tampak belakang di tubir saat sunset. Tangannya berhenti menggeser. Foto ini indah. Man
MANGGALA mengerjap-ngerjapkan mata sambil berusaha mengumpulkan nyawa. Dia tahu, tidurnya nyenyak, tapi apa yang membuatnya terbangun? Kesadarannya belum utuh, ketika dia ingat ada Nayara di sini, itu membuat perasaannya membuncah. Tapi belum sempat perasaannya meluap, sayup-sayup terdengar rintihan dari kamar. Tak tahu apa yang suara itu lafalkan, tapi dia tahu itu suara Nayara. Secepat yang dia bisa, melompat, dia berlari ke kamar. Manggala… “Nayara…” Tidur gadisnya gelisah. Manggala berusaha membangunkan Nayara dari mimpi apa pun itu. MANGGALA… “Nayara…” “Manggala…” “Ya… It’s me.” Suara itu seperti nyata di telinga Nayara. “Mang—“ Nayara langsung terduduk dengan napas menderu. “Sshh…” Manggala duduk semakin tegak. “Nayara, it’s me.” Tangannya menepuk dan membelai lembut bahu Nayara. Nayara masih mengatur napas. Lemah, dia menarik lutut dan menguburka
SEJAK itu Nayara semakin yakin bahwa Manggala mengawasinya seperti herder menjaga tulang. Manggala memang mengikuti semua maunya, tapi CCTV menjadi senjatanya. Di tengah kegalauannya, dia berusaha menekan semuanya. Berusaha berkonsentrasi pada apa pun yang sedang dia kerjakan. Sesekali mereka bertemu. Sering kali hanya berupa video call. Lebih sering lagi hanya chat yang terpotong-potong di sela kesibukan. Nayara menanyakan perkembangan anak usaha Manggala yang baru, Manggala menanyakan sidang skripsi Nayara. Sesekali berucap rindu sambil mengeluh lelah. Kehidupan berjalan apa adanya dengan semua pernak pernik di dalamnya. Nayara menolak semua kebaikan hati Manggala yang berurusan dengan kuliahnya. Bahkan dia tidak mau Manggala ada di dekatnya ketika sidang. Sambil terkekeh Nayara meyakinkan Manggala bahwa sidangnya akan lancar, tidak perlu bantuan petugas kesehatan menggotongnya keluar ruangan. Nayara membuktikan ucapannya. Dia menguasai is
“AKU juga mau pergi dari kamu.” Sesingkat itu dan Manggala merasa dunianya meledak. Dia terdiam berusaha mencerna kalimat singkat itu. Dia tak tahu harus berkata apa. Dia butuh waktu untuk lebih mengerti isi kalimat itu. Melihat Nayara terengah, mendadak dia merasa napasnya tercekat. Jakunnya bergerak turun naik dan rahang pun menegang kaku. “Kenapa kamu marah sama aku, Nay? Aku salah apa?” Berusaha menahan getar di suara itu, Manggala berbisik lirih. “Aku nggak marah sama kamu!” Meski berbisik, tone suara Nayara lebih tinggi dari seharusnya untuk menegaskan ucapannya. “Kalau kamu bilang kamu mau pergi dari keluarga kamu, aku ngerti. Aku tahu kamu marah sama mereka.” Jeda. Manggala harus bernapas. Bernapas, Manggala… bernapaslah. “Tapi kalau kamu bilang kamu mau pergi juga dari aku, apa bukan karena kamu marah seperti kamu marah ke keluarga kamu?” “Nggak gitu, Manggala….” Suara putus as
TAPI secepat itu terjadi, secepat itu pula berakhir. Nayara tersentak dan mendorong Manggala menjauh sekuat tenaganya yang melemah dikuasai hasrat. Manggala masih berusaha melanjutkan aksinya. Dengan napas memburu, dia merengsek masuk. Nayara membuatnya lupa diri dan hilang kendali. Pembicaraan mereka, dan penerimaan Nayara tadi membuat Manggala semakin hilang akal yang membuatnya semakin berani. Tapi Nayara terus menjauhkan dirinya. Nayara, yang harus berjuang melawan hasratnya, mengumpulkan sisa-sisa tenaga, lalu mendorong keras Manggala. “Don’t. Please.” Nayara mengiba. Dan suara bisik memohon itu yang akhirnya menyadarkan Manggala. Membuatnya terdiam di posisi yang sama dengan napas menderu dan hasrat menggebu. Dia berusaha menormalkan napas. Jeda beberapa detik ketika akhirnya mereka terpisah. Nayara menatap nanar mata Manggala, lalu langsung bergerak menuju pintu. Secepat kesadarannya datang, secepat itu pula Manggala bergerak menghalan
MASIH ada pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Itu membuat Nayara tetap harus ke kantor. Meski jiwanya terasa kosong dan menginjakkan kakinya di suatu tempat yang sangat bernuasa Manggala membuatnya semakin merana, dia tetap harus melewati satu hari ini di sini. Berusaha keras untuk tetap berkonsntrasi, menghindari melirik CCTV dan ponsel, dan apa pun yang bisa menjadi alasan Manggala berulah lagi. “Nay, ke sini sebentar.” SPV-nya memanggil dari pintu ruang direktur. Meski malas, dia tetap menyudahi usaha berkonsentrasinya dan langsung bergerak. “Kamu nggak mau balik part time aja, Nay?” Tanpa basa-basi SPV-nya menawarkan solusi ketika dia baru duduk di hadapan Wirya. “Bukannya nggak mau, Mbak. Tapi saya belum tau sikon di sana gimana. Saya masih harus adaptasi. Saya juga nggak tau ritme kuliah gimana. Apa padat, banyak tugas. Apa masih ada waktu luang. Dulu juga saya part time kan pas semester akhir. Ngabisin SKS, jadwal lebih