SEJAK itu Nayara semakin yakin bahwa Manggala mengawasinya seperti herder menjaga tulang. Manggala memang mengikuti semua maunya, tapi CCTV menjadi senjatanya. Di tengah kegalauannya, dia berusaha menekan semuanya. Berusaha berkonsentrasi pada apa pun yang sedang dia kerjakan.
Sesekali mereka bertemu. Sering kali hanya berupa video call. Lebih sering lagi hanya chat yang terpotong-potong di sela kesibukan. Nayara menanyakan perkembangan anak usaha Manggala yang baru, Manggala menanyakan sidang skripsi Nayara. Sesekali berucap rindu sambil mengeluh lelah.
Kehidupan berjalan apa adanya dengan semua pernak pernik di dalamnya.
Nayara menolak semua kebaikan hati Manggala yang berurusan dengan kuliahnya. Bahkan dia tidak mau Manggala ada di dekatnya ketika sidang. Sambil terkekeh Nayara meyakinkan Manggala bahwa sidangnya akan lancar, tidak perlu bantuan petugas kesehatan menggotongnya keluar ruangan. Nayara membuktikan ucapannya. Dia menguasai is
Asli, kalau gue jadi Manggala gue juga bakal ngamuk ke Nayara. Manggala benar banget. Tenangin diri dulu, baru ngomong ke Nay. Iya. Ketika nulis, Emak akan bayangkan apa sih yang akan terjadi dan bagusnya dilakukan? Tujuan scene ke mana? Yang lagi lempeng siapa, yang lagi koslet siapa. Ya gitu-gitu deh. Manggala begini juga sudah sabar banget. Dan memang tujuannya mau kasih lihat sabarnya Manggala dan kosletnya ayara. Iyaps. Kondisi mulai berbalik. Stay tune and happy reading. Arigatto [Jumat, 29 Oktober 2021]
“AKU juga mau pergi dari kamu.” Sesingkat itu dan Manggala merasa dunianya meledak. Dia terdiam berusaha mencerna kalimat singkat itu. Dia tak tahu harus berkata apa. Dia butuh waktu untuk lebih mengerti isi kalimat itu. Melihat Nayara terengah, mendadak dia merasa napasnya tercekat. Jakunnya bergerak turun naik dan rahang pun menegang kaku. “Kenapa kamu marah sama aku, Nay? Aku salah apa?” Berusaha menahan getar di suara itu, Manggala berbisik lirih. “Aku nggak marah sama kamu!” Meski berbisik, tone suara Nayara lebih tinggi dari seharusnya untuk menegaskan ucapannya. “Kalau kamu bilang kamu mau pergi dari keluarga kamu, aku ngerti. Aku tahu kamu marah sama mereka.” Jeda. Manggala harus bernapas. Bernapas, Manggala… bernapaslah. “Tapi kalau kamu bilang kamu mau pergi juga dari aku, apa bukan karena kamu marah seperti kamu marah ke keluarga kamu?” “Nggak gitu, Manggala….” Suara putus as
TAPI secepat itu terjadi, secepat itu pula berakhir. Nayara tersentak dan mendorong Manggala menjauh sekuat tenaganya yang melemah dikuasai hasrat. Manggala masih berusaha melanjutkan aksinya. Dengan napas memburu, dia merengsek masuk. Nayara membuatnya lupa diri dan hilang kendali. Pembicaraan mereka, dan penerimaan Nayara tadi membuat Manggala semakin hilang akal yang membuatnya semakin berani. Tapi Nayara terus menjauhkan dirinya. Nayara, yang harus berjuang melawan hasratnya, mengumpulkan sisa-sisa tenaga, lalu mendorong keras Manggala. “Don’t. Please.” Nayara mengiba. Dan suara bisik memohon itu yang akhirnya menyadarkan Manggala. Membuatnya terdiam di posisi yang sama dengan napas menderu dan hasrat menggebu. Dia berusaha menormalkan napas. Jeda beberapa detik ketika akhirnya mereka terpisah. Nayara menatap nanar mata Manggala, lalu langsung bergerak menuju pintu. Secepat kesadarannya datang, secepat itu pula Manggala bergerak menghalan
MASIH ada pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Itu membuat Nayara tetap harus ke kantor. Meski jiwanya terasa kosong dan menginjakkan kakinya di suatu tempat yang sangat bernuasa Manggala membuatnya semakin merana, dia tetap harus melewati satu hari ini di sini. Berusaha keras untuk tetap berkonsntrasi, menghindari melirik CCTV dan ponsel, dan apa pun yang bisa menjadi alasan Manggala berulah lagi. “Nay, ke sini sebentar.” SPV-nya memanggil dari pintu ruang direktur. Meski malas, dia tetap menyudahi usaha berkonsentrasinya dan langsung bergerak. “Kamu nggak mau balik part time aja, Nay?” Tanpa basa-basi SPV-nya menawarkan solusi ketika dia baru duduk di hadapan Wirya. “Bukannya nggak mau, Mbak. Tapi saya belum tau sikon di sana gimana. Saya masih harus adaptasi. Saya juga nggak tau ritme kuliah gimana. Apa padat, banyak tugas. Apa masih ada waktu luang. Dulu juga saya part time kan pas semester akhir. Ngabisin SKS, jadwal lebih
“APA aku harus serahkan semuanya biar kamu yakin?”Manggala tidak tahu maksud kalimat itu. Tapi ketika Nayara membuka satu per satu kancing hemnya, dia tersentak. Ketika Nayara melepas hemnya, dia memundurkan punggungnya sampai menekan sandaran sofa.Sepanjang itu, Manggala mengikuti gerakan tangan gadisnya. Nayara membuka deretan kancing hemnya sangat perlahan. Matanya kadang menatap ke mata Manggala, kadang juga dia melihat ke kancing hem yang bergerak terbuka. Dia bernapas perlahan, sangat tenang seakan ini adalah hal yang dia tunggu.Semua kancing sudah terlepas dari luhangnya.Nayara melepas sendiri hem dari tubuhnya lalu da menjatuhkan saja hem itu di atas pangkuan Manggala. Mungkin dia gila, tapi dia sangat sadar dengan keputusannya. Jika ini bisa meyakinkan Manggala maka dia akan berikan semuanya. Saat itu dia yakin dia tidak akan menyesali keputusan itu.Sementara Nayara meneguhkan dirinya, Manggala terus berpikir keras, ada ap
MANGGALA menenuhi janjinya. Dia terus berusaha menggagalkan kepergian Nayara. Mengirimkan foto-foto kebersamaan mereka, mengulang cerita mereka dan kisah lalunya, menguntit ke mana Nayara pergi. Meneror Nayara nyaris sepanjang hari dengan telepon, vcall, pesan teks, dan pesan suara. Kali ini dia tidak mau menyerah. Nayara akan membuat dia terus berusaha. Kali ini maunya yang akan menancapkan bendera kemenangan.Tapi sebuah berita menyengatnya. Membuatnya mendadak kacau dan meninggalkan semua urusannya.Nayara sudah menuju bandara. Lebih cepat satu minggu dari jadwal yang dia berikan. Membuat Manggala memacu mobil dengan perasaan kacau. Beberapa kali dia memukul kemudi dan menggeram marah.Apa lagi ini, Nayara?Bukan satu minggunya, tapi Nayara kembali tidak memberi kabar. Itu yang membuatnya kacau. Marah? Manggala kesulitan merasakan emosi itu. Dia berusaha sangat keras tetap bisa fokus dengan kemudi dan jalan.Ponselnya berdering tapi den
Sesaat Setelah Nayara PergiMANGGALA berlari begitu cepat. Menerobos semua yang ada. Bergegas menuju mobil, dia membanting pintu mobil menutup keras lalu membeku di sana. Napasnya lagi-lagi memburu bukan sisa berlari. Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin mengalir keluar dari tubuhnya.Sampai berbuku putih tangannya mencengkeram kemudi. Masih terengah, dia tidak bisa menghentikan emosinya. Bagaimana dia bisa menghentikan jika mengeluarkannya saja dia gagal. Dia ingin menangis, jika Nayara ada di sini, dia mungkin benar-benar akan menangis. Meraung mengiba menahannya tetap di sini. Tapi sekarang tidak ada lagi Nayara.Tidak ada lagi orang yang tekun mendengar ceritanya. Tidak ada lagi orang yang mengurus dan menemaninya ketika dia terpuruk. Tidak ada lagi tangan yang membelainya. Tidak ada lagi pangkuan tempatnya tidur bermanja. Tidak ada lagi suara yang meninabobokan.Tidak ada lagi Nayara. Nayaranya pergi.Dia b
MESKI Manggala semakin yakin bahwa kepergian Nayara bukan karena marah, benci, atau melarikan diri, tetap saja dia tidak bisa menekan rasa takut kehilangannya. Kepalanya tak berhenti bekerja, berpikir, berusaha mencari tahu alasan Nayara yang sesungguhnya. Ini semua demi Nayara. Agar dia tenang menunggunya pulang. Untuk Nayara atau untuk dirinya sendiri?Semakin dia bertanya semakin banyak jawabannya dia peroleh, tapi semakin banyak juga pertanyaan lain datang.Lelah hati, dia menghabiskan waktu dengan bekerja. Tapi tetap saja, ada waktu di mana pertanyaan-pertanyaan itu mengganggunya.***Dua minggu berlalu sejak Nayara pergi. Semua di Sastra MediaNesia yang melihat Manggala tahu, ada yang mengacaukan hidup si founder. Tapi Manggala tetap setertutup biasanya. Hanya fisiknya yang berubah.“Lu sakit, M?” tanya Wirya saat mereka meeting. “Lu kurus amat sekarang.”Manggala memanggil m
SUARA musik memenuhi ruang dengan volume maksimal yang bahkan membuat jantung pun ikut bergetar. Tubuh-tubuh liat menggeliat liar di lantai, saling menempel, tertawa terbahak. Setiap sudut dipenuhi manusia. Cahaya temaram dan asap membuat kesuraman yang hingar bingar. Di sebuah sudut, duduk santai seorang lelaki sambil memandang sekeliling. Sampai matanya memangkap sosok yang sudah lama tidak dia lihat di tempat seperti ini. Dia menelengkan wajahnya dengn alis mata naik sebelah. Lampu memang temaram, tapi matanya tidak mungkin salah. Setelah menghabiskan isi gelas dalam sekali tenggak, dia berjalan lurus ke arah sosok itu.“Sudah lama gue nggak ngelihat lu di sini.” Dia mengangkat sebelah tangan, memesan minuman lagi. “Adek gue mana?”Mendengar kalimat kedua, Manggala langsung menoleh.“Lu beneran nggak tau adek lu di mana?” Manggala kembali menenggak isi gelas. Pesanan Jaya datang.“Nggak. Dia sudah lama nggak ne