MESKI Manggala semakin yakin bahwa kepergian Nayara bukan karena marah, benci, atau melarikan diri, tetap saja dia tidak bisa menekan rasa takut kehilangannya. Kepalanya tak berhenti bekerja, berpikir, berusaha mencari tahu alasan Nayara yang sesungguhnya. Ini semua demi Nayara. Agar dia tenang menunggunya pulang. Untuk Nayara atau untuk dirinya sendiri?
Semakin dia bertanya semakin banyak jawabannya dia peroleh, tapi semakin banyak juga pertanyaan lain datang.
Lelah hati, dia menghabiskan waktu dengan bekerja. Tapi tetap saja, ada waktu di mana pertanyaan-pertanyaan itu mengganggunya.
***
Dua minggu berlalu sejak Nayara pergi. Semua di Sastra MediaNesia yang melihat Manggala tahu, ada yang mengacaukan hidup si founder. Tapi Manggala tetap setertutup biasanya. Hanya fisiknya yang berubah.
“Lu sakit, M?” tanya Wirya saat mereka meeting. “Lu kurus amat sekarang.”
Manggala memanggil m
Sejak Nayara pergi, Emak nyesegg banget sama Manggala. S2 itu lama. Nggak bakal cuma 2-3 bulan. Sampai Manggala drop gitu. Ah, Emak nyesek deh pokoknya.
SUARA musik memenuhi ruang dengan volume maksimal yang bahkan membuat jantung pun ikut bergetar. Tubuh-tubuh liat menggeliat liar di lantai, saling menempel, tertawa terbahak. Setiap sudut dipenuhi manusia. Cahaya temaram dan asap membuat kesuraman yang hingar bingar. Di sebuah sudut, duduk santai seorang lelaki sambil memandang sekeliling. Sampai matanya memangkap sosok yang sudah lama tidak dia lihat di tempat seperti ini. Dia menelengkan wajahnya dengn alis mata naik sebelah. Lampu memang temaram, tapi matanya tidak mungkin salah. Setelah menghabiskan isi gelas dalam sekali tenggak, dia berjalan lurus ke arah sosok itu.“Sudah lama gue nggak ngelihat lu di sini.” Dia mengangkat sebelah tangan, memesan minuman lagi. “Adek gue mana?”Mendengar kalimat kedua, Manggala langsung menoleh.“Lu beneran nggak tau adek lu di mana?” Manggala kembali menenggak isi gelas. Pesanan Jaya datang.“Nggak. Dia sudah lama nggak ne
YANG terjadi di unit kecilnya setelah dia pulang adalah Manggala ambruk. Tapi dia bersyukur dia bisa sampai di sini dengan selamat meski harus menyetir seperti orang mabuk. Dan di sinilah dia sekarang. di sofa kesayangan Nayara. Duduk setengah tidur dengan tubuh berantakan.Satu sisi dia merutuki kebodohannya yang tetap pergi di saat tubuhnya sudah payah, tapi satu sisi dia tidak menyesal sama sekali. Dia bisa mendengar langsung suara Nayara. Terutama ketika Nayara berkata to much love will kill you sambil membayangkan Nayara memakai salah satu kemejanya. Kalimat pendek yang membuatnya melayang tinggi tanpa alhokol. Dan kemeja-kemeja itu… Nayara sungguh-sungguh memakainya.Tapi di sinilah dia sekarang. Tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama lagi, berontak meminta istirahat dengan panas tinggi. Makan bisa dia paksakan menelan apa pun isi wadah di depannya, Tapi tidur, itu selalu menjadi perjuangan yang berat. Tanpa demam pun tidurnya tak pernah
DI sudut bumi yang jauh dari Manggala yang terpuruk menyerah, Nayara sedang berusaha menabahkan hati. Berjauhan dari Manggala menyiksanya. Tapi membaca bab-bab di Papyrus di akun bernama Leo Zeus hatinya membuncah meski semakin disesaki rindu. Manggalanya baik-baik saja.Dia sehat, urusan kantornya lancar, dan dia merindukanku.Nayara tersenyum membaca bab berjudul Selalu Lapar.Ah, Manggala sudah bisa rutin makan. Terkadang memang orang harus diancam dulu baru mau bergerak. Mungkin Manggala seperti itu.Hm. Bukan. Bukan mungkin. Tapi memang benar begitu. Selama ini Manggala bergerak atas ancaman keluarganya. Mengingat itu, hati Nayara tercubit. Sakit. Dan itu makin membuatnya merindukan Manggala.Ah, Manggala akan baik-baik saja. Dia yakin aku akan pulang. “Hai…” Sebuah suara bariton menyapa lalu wujudnya langsung hadir di hadapannya. “
AWAN di bawahnya terlihat begitu lembut dan nyaman untuk ditiduri. Langit di atasnya cerah saat matahari bersinar tanpa penghalang. Deru mesin terdengar hanya berupa dengung yang tidak mengganggu lamunannya. Nyaris sepanjang malam dia terjaga melihat ke luar jendela meski pemandangan yang ada hanya hitam. Saat matahari menyapa, langit tetap menemani kesendiriannya.Lamanunnya terganggu pengumuman dari pilot. Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Tapi masih ada waktu menikmati langit dari ketinggian. Setelah memasang safety belt, dia kembali menatap ke luar dengan tangan menopang di jendela.Pesawat mendarat mulus sempurna.Ketika lampu safety belt mati, semua penumpang bergegas bergerak. Kecuali Manggala. Dia masih tetap duduk di tempatnya, meski matanya kini melihat kesibukan penumpang lain. Penumpang berdiri membuka head rack lalu mengosongkan isinya kemudian semua berjalan menuju pintu. Setelah cukup sepi baru Manggala berdiri, membu
Beberapa bulan kemudian, malam di musim semi. NAYARA berjalan perlahan di sepanjang trotoar. Menikmati saat-saat terakhirnya di Melbourne. Dua hari lagi dia pulang setelah semua urusan perkulihan selesai termasuk wisuda. Wisuda yang sepi. Dulu dia melewati wisuda sarjananya demi segera pergi. Kali ini, tak ada yang mengejarnya. Dia sisa pulang.Pulang.Dia memang sangat menunggu saat itu. Tapi ada sudut yang terasa menahannya di sini. Sebuah pencarian yang belum tuntas. Tapi bagaimana pencarian itu bisa selesai, jika yang dia cari justru tertinggal di Indonesia. Yang dia cari justru yang membuatnya merindu ingin segera pulang.Sepanjang meniti jalan, dia berpikir, apakah kepergiannya hanyalah sebuah kesia-siaan saja? Ribuan kilo jarak memisahkan, ratusan hari terlewati, tapi dia merasa gagal. Gagal yang mana? Gagal melupakan Manggala? Dia tidak pernah ingin melupakan Manggala apalagi ketika dia tahu bahwa dia gagal menata b
Saat ini, dua tahun setelah kepergian Nayara, dua hari setelah berpamit pada kota… MASIH menggunakan nomor berkode +61, masih di area bandara, Nayara hanya memberi kabar pada Gia bahwa dia sudah meninggalkan Soetta. Gia tak bertanya, sudah tahu ke mana tujuan sahabatnya itu. Nayara kembali mematikan ponsel. Merasa tak ada lagi yang perlu dia hubungi sebelum dia menggantinya dengan nomor lokal. Sepanjang jalan tatapannya keluar mengikuti pembatas jalan yang berlari berkejaran dengan tumpangannya. Hatinya berdetak dan berderak. Sebentar lagi… Jantungnya semakin berdetak ketika bangunan yang menjadi tujuannya sudah terlihat. *** Tidak ada yang berubah dengan pagar dan isi di dalamnya. Lepas meletakkan bawaannya di teras, dia berjalan ke arah kebun. Matahari sudah semakin di barat bumi. Dia tahu di mana menemukan yang dia cari. Dia memang melewati balai-balai, t
EMBUSAN napas lembut terasa di wajah Manggala. Membuatnya berusaha membuka kelopak mata. Dia langsung tahu tidurnya nyenyak. Dan ketika dia berhasil membuka mata, wajah Nayaralah yang pertama dia lihat. Membuatnya melayang. Akhirnya dia tahu apa yang membuat tidurnya begitu nyenyak.Tuhan...Hanya ini yang dia minta sepanjang kepergian Nayara. Hanya ini. Bersama Nayara. Bahkan untuk bisa melihat Nayara pun dia sampai mau terbang sejauh itu, orang gila yang sebenarnya. Ketika sekarang Nayara begitu dekat, ini benar seperti mimpi. Dua tahun menanti, semua terbayar lunas sesuai janji.“Kenapa bangun?” bisik Nayara tanpa mengubah posisinya, berbaring menyamping bertelekan lengannya. “Aku masih mau nonton kamu tidur.” Tangannya bergerak merapikan anak rambut di pelipis Manggala yang ketika sudah rapi tangannya tetap tak berhenti bergerak, membelai di sana.“Aku cuma mau begini, Nayara. Bisa tidur nyenyak walau cuma sebentar lalu p
SEMENTARA Nayara tidur, Manggala terjaga seutuhnya. Sambil terus meninabobokan Nayara dia terus berpikir di tengah kebingungannya tentang keanehan Nayara. Gadisnya lebih kacau dari sebelum pergi.Aku harus tahu kenapa dia begini. Tapi apa waktunya sudah tepat? Dia baru pulang dan kami baru bertemu. Semalam dia menolak lagi lamaranku. Mungkin salahku terlalu terburu-buru. Tapi kupikir itu juga maunya. Sejak dia datang, dia sangat manja. Tak pernah mau lepas dari tubuhku. Aku suka dia yang bermanja-manja, tapi aku tak suka dia yang sudah dua kali mendadak panik. Tiga kali kalau dihitung dengan lamarannya.Manggala terus bermonolog. Ingin menunggu Nayara bangun, tapi dia juga ingin Nayara tidur lebih lama. Mungkin gadis itu kelelahan dan butuh tidur yang berkualitas. Semoga dadanya adalah tempat tidur yang bisa memberikan kenyamanan untuk Nayara.***Nayara merasakan pelukan yang melemah seiring kesadaran yang mulai datan
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,