EMBUSAN napas lembut terasa di wajah Manggala. Membuatnya berusaha membuka kelopak mata. Dia langsung tahu tidurnya nyenyak. Dan ketika dia berhasil membuka mata, wajah Nayaralah yang pertama dia lihat. Membuatnya melayang. Akhirnya dia tahu apa yang membuat tidurnya begitu nyenyak.
Tuhan...
Hanya ini yang dia minta sepanjang kepergian Nayara. Hanya ini. Bersama Nayara. Bahkan untuk bisa melihat Nayara pun dia sampai mau terbang sejauh itu, orang gila yang sebenarnya. Ketika sekarang Nayara begitu dekat, ini benar seperti mimpi. Dua tahun menanti, semua terbayar lunas sesuai janji.
“Kenapa bangun?” bisik Nayara tanpa mengubah posisinya, berbaring menyamping bertelekan lengannya. “Aku masih mau nonton kamu tidur.” Tangannya bergerak merapikan anak rambut di pelipis Manggala yang ketika sudah rapi tangannya tetap tak berhenti bergerak, membelai di sana.
“Aku cuma mau begini, Nayara. Bisa tidur nyenyak walau cuma sebentar lalu p
Nayara? Kenapa? Kok Manggala dikasih NO sih. Pas jauh kangen kayak apa. Pas dekat kenapa nggak sekalian diikat? Part ini Manggala sweet banget. Ah, Manggalaku memang sweet. Keluar fitrah cowoknya, yang selalu mau melindungi dan membimbing. Lalu Nayara keluar fitrah ceweknya gitu? Lemah. Nggak dong. Seperti kata Ian, hanya makhluk kuat yang bisa menumbuhkan makhluk lain dalam tubuhnya. Iya. Perempuan. Lalu Nayara kuatnya di mana? Letoy ngeselin gitu. Stay tune ya. Cerita masih mengalir dengan riak yang berbeda-beda.
SEMENTARA Nayara tidur, Manggala terjaga seutuhnya. Sambil terus meninabobokan Nayara dia terus berpikir di tengah kebingungannya tentang keanehan Nayara. Gadisnya lebih kacau dari sebelum pergi.Aku harus tahu kenapa dia begini. Tapi apa waktunya sudah tepat? Dia baru pulang dan kami baru bertemu. Semalam dia menolak lagi lamaranku. Mungkin salahku terlalu terburu-buru. Tapi kupikir itu juga maunya. Sejak dia datang, dia sangat manja. Tak pernah mau lepas dari tubuhku. Aku suka dia yang bermanja-manja, tapi aku tak suka dia yang sudah dua kali mendadak panik. Tiga kali kalau dihitung dengan lamarannya.Manggala terus bermonolog. Ingin menunggu Nayara bangun, tapi dia juga ingin Nayara tidur lebih lama. Mungkin gadis itu kelelahan dan butuh tidur yang berkualitas. Semoga dadanya adalah tempat tidur yang bisa memberikan kenyamanan untuk Nayara.***Nayara merasakan pelukan yang melemah seiring kesadaran yang mulai datan
SUDAH sebulan ini Nayara kembali bekerja full time di Papyrus. Dia meminta Manggala tetap merahasiakan hubungan mereka yang dijawab Manggala dengan tawa kecil. Hubungan apa? Walau merengut dan membenarkan pertanyaan satire itu tapi Nayara tetap meminta itu. Kedekatan mereka tak terendus siapa pun di kantor. Kadang Manggala tiba-tiba datang ke Papyrus. Kadang dengan urusan yang jelas, tapi lebih sering tak jelas. Hanya tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel Nayara. MGP : Hai, I’m here. Miss you so. Yang dibalas Nayara dengan tersenyum sambil meletakkan tangannya di dada. You’re always in my heart. Walau Nayara tidak menatapnya, tapi Manggala mengerti kode itu. Sesekali mereka bertemu. Entah Manggala yang datang ke rumah Gia atau Nayara ke apartemen Manggala. Tapi lebih sering Manggala memanggil Nayara ke tempatnya. Di sana mereka hanya bercerita keseharian mereka
KESIBUKAN kembali mendera keduanya. Nayara harus menerima limpahan pekerjaan akibat satu editor mendadak mengundurkan diri. Sebelum ada penggantinya, dia dan tim harus berbagi pekerjaan yang ditinggalkan. Manggala sendiri jangan ditanya. Jika Nayara yang hanya mengurusi naskah masuk saja sesibuk itu, apalagi Manggala yang mengurusi semua hal di sana.Tapi Manggala tetap menyisihkan waktu meski hanya sekadar mengirim pesan pada Nayara.MGP : Nanti malam makan bareng yuk. MGP : Aku mau makan di tempat Mak.MGP : Sudah lama kita nggak ke sana kanNayara membaca pesan itu dengan hati terbelah. Manggala menunggu pesannya terbalas. Kenapa lama sekali Nayara membiarkan warna biru ceklisnya?MGP : Nayara, are you there?Ph Nay : Jangan sekarang ya. Ph Nay : Aku
BUNYI ponsel menyentak Nayara yang sedang telentang santai di depan TV.MGPPanik, dia mengambil ponsel lalu menyerahkan pada Gia.“Gee, tolong angkat, Gee. Bilang aja gue lagi keluar cari cemilan.”Gia yang sedang menikmati musik, merasa telinganya salah mendengar. Untuk memastikan pendengarannya, dia melepas earbud.“Hah? Apa?”“Manggala nelepon. Bilang gue lagi keluar. Nggak bawa HP.”“Eh?” Gia memasang tampang bodoh.“Lu—““Angkat dulu.” Manggala sudah menelepon untuk yang kedua kali. Nayara yang langsung meletakkan ponsel di pipi Gia membuat Gia tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah Nayara.“Ya, Em? Sorry, ini Gia.” Nayara mendekat meski speaker terpasang.“Nayara ada?”“Tadi dia keluar, cari cemilan kali, HP-nya ternyata nggak dia b
Author’s note: Untuk yang tidak membaca bab 82 dan 83, ini pengantar ke bab 84 *** Manggala memang berhasil menenangkan Nayara dengan pelukannya sepulang dari kantor polisi. Tapi sejak itu Nayara membuat Manggala semakin pusing. Sejak kejadian itu, mendadak Nayara susah dihubungi. Hanya membalas singkat chat dari Manggala. Membuat janji temu dengan Nayara menjadi lebih susah daripada bertemu dengan pejabat. Setiap kali Manggala ke Papyrus ada saja yang Nayara lakukan yang membuat Manggala hanya bisa memandangnya dari jauh. Dan itu mengesalkan Manggala. Awalnya dia kesal, tapi makin lama dia kecewa. Kecewa yang membuatnya terus berpikir mencari jalan menemui Nayara. Ketika dia putus asa, hanya satu jalan yang bisa dia lakukan. Meski itu berarti melanggar janjinya pada Nayara. Tapi dia sudah kehabisan akal. ***
SELURUH ruangan terperangah melihat mereka berdua dan mendengar ucapan-ucapan Manggala pada Nayara. Nyaris semua menatap tak percaya ke arah kubikel Nayara. Melihat bagaimana Nayara mengecupi tangan Manggala dan Manggala membalas dengan mengecup syahdu puncak kepala Nayara. Semuanya terlihat begitu tulus dan murni dari hati. Ini jelas bukan hubungan sesaat. Semua mengira Manggala marah besar pada pekerjaan Nayara, tapi ternyata…Gia mendorong pintu sekuat tenaga. Dan dia berpapasan dengan Manggala di ujung ruang. Manggala hanya menatapnya sekilas lalu dia kembali melangkah. Gia terbirit berlari ke kubikel Nayara dan menemukan sabahatnya masih seperti batu dikutuk.Diam.Dengan ekspresi yang tak menyenangkan dilihat tapi begitu menyentuh perasaan Gia.‘Ya ampun, Nay….” Gia segera menarik kursi kosong dan duduk berhadapan menempel lutut dengan lutut dengan Nayara. “Ayo gue temenin ke ruangan Em.”“No
MANGGALA mengurung diri di ruangannya. Dia tentu tak harus menunggu jam pulang kantor. Ketika dia sudah tidak tahan berada di gedung yang sama dengan Nayara, dia langsung pergi. Tapi apa lacur, ketika dia sudah di dalam mobil, dia melihat Nayara setengah diseret sahabatnya keluar dari lobby. Menepikan mobil, dia melihat Nayara terisak di bahu Gia sebelum Gia memaksa gadisnya masuk ke mobil yang baru datang dan langsung meluncur pergi. Meninggalkan Manggala yang terengah menahan emosi.“AAARRRGGGHHH…!!!” Tanpa sadar dia berteriak sambil memukul keras kemudi dengan tangan terkepal. “Kenapa, Nayara… kenapa…?” Pertanyaan yang selama ini selalu dia tanyakan dalam hati tanpa sadar keluar berupa desis yang meluluhkan.Sisi batinnya ada yang berbisik untuk mengejar Nayara. Tapi sisi yang lain menahannya. Dia tidak tahan melihat Nayara serapuh itu. Ada yang salah dengan gadisnya, dan dia tak tahu. Ketidaktahuannya itu yang membuatnya
NAYARA sengaja pulang sangat larut dari kantor. Berusaha mengalihkan perhatian, tapi tetap saja, dia harus pulang. Sampai di rumah, dia lelah, tapi dia tidak bisa tidur. Bergulang-guling sendirian di ranjang, seperti yang sudah dia duga, pikirannya pasti melayang-layang tak jelas tapi tentu arahnya jelas. Pasti yang mengisi kepala kosongnya adalah Manggala.Seperti diatur, kemarin dia izin, Manggala ke kantor, sedangkan hari ini dia ke kantor dan Manggala tidak ada di kantor seharian. Pasti dia di rumah. Hari Jumat jadwalnya ke rumah. Saat ini Manggala sedang apa ya? Apa bersantai di depan TV? Atau sudah tidur? Ah, tidak mungkin Manggala santai atau sudah tidur setelah kejadian mereka tiga hari lalu.Nayara melirik jam di dinding. Malam sudah melewati tengahnya. Ini sudah dini hari.Tapi Manggala lebih sering tak tidur malam. Apa dia begitu lagi? Semenjak dia pulang Manggala berkata bahwa tidurnya lebih nyaman. Sekarang? Jika tak tidur, apa yang dia kerjakan? Ap
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,