MANGGALA mengurung diri di ruangannya. Dia tentu tak harus menunggu jam pulang kantor. Ketika dia sudah tidak tahan berada di gedung yang sama dengan Nayara, dia langsung pergi. Tapi apa lacur, ketika dia sudah di dalam mobil, dia melihat Nayara setengah diseret sahabatnya keluar dari lobby. Menepikan mobil, dia melihat Nayara terisak di bahu Gia sebelum Gia memaksa gadisnya masuk ke mobil yang baru datang dan langsung meluncur pergi. Meninggalkan Manggala yang terengah menahan emosi.
“AAARRRGGGHHH…!!!” Tanpa sadar dia berteriak sambil memukul keras kemudi dengan tangan terkepal. “Kenapa, Nayara… kenapa…?” Pertanyaan yang selama ini selalu dia tanyakan dalam hati tanpa sadar keluar berupa desis yang meluluhkan.
Sisi batinnya ada yang berbisik untuk mengejar Nayara. Tapi sisi yang lain menahannya. Dia tidak tahan melihat Nayara serapuh itu. Ada yang salah dengan gadisnya, dan dia tak tahu. Ketidaktahuannya itu yang membuatnya
Apaan mau dikomen dari part ini? Cuma pengin bilang rasakno ke Nay.
NAYARA sengaja pulang sangat larut dari kantor. Berusaha mengalihkan perhatian, tapi tetap saja, dia harus pulang. Sampai di rumah, dia lelah, tapi dia tidak bisa tidur. Bergulang-guling sendirian di ranjang, seperti yang sudah dia duga, pikirannya pasti melayang-layang tak jelas tapi tentu arahnya jelas. Pasti yang mengisi kepala kosongnya adalah Manggala.Seperti diatur, kemarin dia izin, Manggala ke kantor, sedangkan hari ini dia ke kantor dan Manggala tidak ada di kantor seharian. Pasti dia di rumah. Hari Jumat jadwalnya ke rumah. Saat ini Manggala sedang apa ya? Apa bersantai di depan TV? Atau sudah tidur? Ah, tidak mungkin Manggala santai atau sudah tidur setelah kejadian mereka tiga hari lalu.Nayara melirik jam di dinding. Malam sudah melewati tengahnya. Ini sudah dini hari.Tapi Manggala lebih sering tak tidur malam. Apa dia begitu lagi? Semenjak dia pulang Manggala berkata bahwa tidurnya lebih nyaman. Sekarang? Jika tak tidur, apa yang dia kerjakan? Ap
APA Nayara benar akan kembali padanya?Matanya terpejam sangat erat sampai kerutan di sudut matanya terlihat jelas. Ingatan pada kejadian beberapa saat sebelum Nayara datang masih sangat segar. Apa yang sudah terjadi, apa yang tadi dia lakukan, begitu menyakitinya. Sakit yang membuat hatinya retak, retakan yang membuat sebuah celah yang susah payah dia berusaha tutupi. Karena ketika hatinya tetap retak maka bukan hanya dia yang hancur, Nayara pun akan patah berderak. Dua mereka akan rusak.Namun kedatangan Nayara di pagi buta menutup rapat celah itu. Dan keberuntungan yang lain adalah dia tak perlu menunggu lama. Menunggu yang bisa membuatnya semakin hilang kontrol diri, retakan di harinya semakin dalam, berakar, dan merusak.Semua itu membuat dia memeluk Nayara semakin erat. Mengalirkan kelegaannya, membuang ketakutannya.Tangan Manggala menarik keluar kepala gadisnya dari dalam pelukannya. “Seharusnya dari dulu aku ngomong kayak kemarin ya,”
KERUSAKAN apa yang telah aku lakukan padanya? Kepalanya langsung terasa penuh. Kepergiannya, keegoisannya (?), ketakutannya, …, apa sebanding dengan semua ini? Nayara sadar, dia seharusnya ada di samping Manggala ketika Manggala di titik nadir seperti ini. Namun Nayara yakin, dialah yang membuat Manggala sampai jauh terperosok sedalam ini. Lagi… Namun bagaimana bisa dia menarik Manggala dari lubang gelap yang dia buat untuk Manggala kalau dia sendiri berada di lubang itu. Semua kekacauan ini bermula dari dia. Dia yang kacau, yang berusaha memperbaiki sendiri malah membuat semuanya makin berantakan. Ketakutannya bertemu dengan rasa bersalah. Nayara tidak mau melihat kekacauan itu. Sakit. Rasa sakit yang menyebar ke seluruh tubuh, tapi hatinya yang paling sakit. Pandangannya memudar. Berbalik, tangannya menggapai mencari pegangan. Mencari Manggala. Dan ketika dia menyentuh tubuh Manggala dia langsung menjatuhkan dirinya. Menangis. Selama ini dia berpikir hanya dirinya yang nyaris
MESKI menikmati kebersamaan mereka di rumah, tapi tetap, semua harus berakhir di Senin pagi. Matahari masih malu-malu saat mereka bergerak kembali ke realita. Bersiap dengan kerusuhan Jakarta. Wajah-wajah mereka mungkin masih pucat dan gurat kelelahan masih nyata. Tapi nyala mata mereka bisa menghidupkan hari. Nyala itu bisa menerangi minggu yang sepertinya akan berat dan sibuk.Keluar dari mobil, Manggala menjulurkan tangannya dan Nayara menyambut tangan itu. Tangan mereka bertaut sepanjang jalan dengan senyum lembut dan sesekali saling menatap sayang. Kali ini, mereka santai berjalan bersama memasuki gedung. Manggala mengantar Nayara sampai di lantainya dan melepasnya dengan kecupan di puncak kepala sebelum memilih menaiki anak tangga darurat. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.Pagi ini terasa begitu indah bagi Nayara. Bukan, bukan karena kecupan itu. Tapi karena dia merasa satu masalah selesai. Bersama, mereka akan lebih mudah menghadapi masalah-masalah lain.
HARI yang baru, kesibukan yang sama.“Makan yuk.” Tiba-tiba Manggala ada di sampingnya.“Astaga!” Nayara yang sedang serius bekerja terkejut. “Jam berapa ini?” Dia menunjuk jam di PC.“Aku benar-benar akan pecat kamu, Nayara.” Manggala menarik sebuah kursi lalu duduk di samping Nayara. Begitu dekat seperti kubikel Nayara terjebak di tengah. Manggala menggeser isi meja lalu menarik keyboard mendekat ke arahnya kemudian membuka browser. Tapi ketika dia ingin mengetik sesuatu Nayara mengambil tangan itu.“Kuku kamu cepat sekali tumbuhnya,” ujarnya menarik sebelah tangan Manggala sambil tangan yang lain merogoh kotak kecil di meja. Mencari gunting kuku. Namun Manggala menarik tangannya.“Kuku kamu nggak boleh panjang, Manggala.”“Aku nggak akan begitu lagi.”“Aku. Nggak. Percaya.” Mendesis sambil menatap sinis, dia menarik lag
DUA hari kemudian, siang itu mereka baru saja kembali ke kantor. Manggala bermaksud akan mengantar Nayara sampai pintu Papyrus. Nayara masih tertawa-tawa kecil ketika dia merasa tubuh di sampingnya menegang. Dia ikuti tatapan Manggala. Wiguna. Dan Mahesa. Nayara bermaksud menjauh. Memberi jeda pada ayah dan anak berbincang. Tapi tangannya tertahan genggaman Manggala yang tiba-tiba menguat. “Lu masih sama dia?” ujar kakaknya. “Gue sama siapa itu urusan gue.” Jawaban singkat yang ditanggapi dengan satu kali anggukan. “Papa dengar kamu mau buka lini baru?” “Gosip cepat tersebar ya,” Manggala menjawab sinis mendesis. “Bukan gosip kalau benar.” Mahesa ikut bersuara. “Itu untuk target tiga tahunan.” Manggala sudah tahu siapa yang membocorkan rahasia itu. Tapi memang dia tidak bermaksud merahasiakan. Hanya tidak ingin memberitahu Wiguna saja. Toh waktunya masih panjang. “Tumben nggak dekat deadline. Bi
APA yang harus aku lakukan? Yang ingin dia lakukan sekarang hanya memeluk Manggala. Tapi apa yang harus dia lakukan dia tidak tahu. Akhirnya Nayara mengikuti instingnya. Perlahan dia mendekati Manggala, berdiri tepat di hadapannya, mengganggu fokus Manggala. Dia mengambil tangan yang mengepal kaku, mengelus buku jarinya, lalu menarik tangan itu ke arah sofa lalu membantunya duduk. Manggala harus relaks. Pun ketika duduk dia masih sekaku papan. “Manggala…” Nayara mengelus bahunya. Tapi Manggala masih diam. Ini menakutkan. Bukan Manggala yang menakutinya tapi kediamannya yang membuat Nayara gentar. “Manggala…” Tangannya naik mengelus rambutnya. Merapikan anak rambutnya. Mengelus rahangnya yang menegang kaku. Tubuhnya semakin merapat. Dia hanya duduk di ujung sofa demi bisa melihat wajah Manggala. “Manggala…” Tangan Nayara semakin berani. Dia harus meneguhkan hatinya untuk seberani ini menghadapi Manggala yang mungkin tidak sad
MALAMNYA Manggala gelisah di ranjang. Sudah dini hari. Nyaris tengah malam baru dia sampai di flat setelah mengantar Nayara pulang dari Mak. Dia memang biasa tak tidur sampai pagi, tapi hanya tak bisa tidur dan gelisah tapi pikirannya kosong. Kali ini kepalanya penuh. Rencana pindah kantor, pernikahannya, Manuskrip, anak-anaknya yang lama, Nayara, dan yang lain berhimpitan mengisi kepalanya sampai terasa sangat penuh. Kepalanya berdenyut. Dia harus mencari pengalih perhatian.Melirik ponsel di nakas, dia tahu, cahaya ponsel akan semakin membuatnya sulit tidur. Tapi cuma melalui ponsel dia bisa terhubung dengan Nayara. Sambil mendengus, dia menyambar ponsel, langsung membuka chat dengan Nayara.Last seen dua menit lalu.Dia belum tidur.MGP : Kenapa belum tidur?Tanda ceklis yang langsung berubah warna bisa langsung membentuk senyum di wajahnya.&
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,