MANGGALA menenuhi janjinya. Dia terus berusaha menggagalkan kepergian Nayara. Mengirimkan foto-foto kebersamaan mereka, mengulang cerita mereka dan kisah lalunya, menguntit ke mana Nayara pergi. Meneror Nayara nyaris sepanjang hari dengan telepon, vcall, pesan teks, dan pesan suara. Kali ini dia tidak mau menyerah. Nayara akan membuat dia terus berusaha. Kali ini maunya yang akan menancapkan bendera kemenangan.
Tapi sebuah berita menyengatnya. Membuatnya mendadak kacau dan meninggalkan semua urusannya.
Nayara sudah menuju bandara. Lebih cepat satu minggu dari jadwal yang dia berikan. Membuat Manggala memacu mobil dengan perasaan kacau. Beberapa kali dia memukul kemudi dan menggeram marah.
Apa lagi ini, Nayara?
Bukan satu minggunya, tapi Nayara kembali tidak memberi kabar. Itu yang membuatnya kacau. Marah? Manggala kesulitan merasakan emosi itu. Dia berusaha sangat keras tetap bisa fokus dengan kemudi dan jalan.
Ponselnya berdering tapi den
Nayara! Ish. Kenapa lagi sih tu anak? Main kabur gitu, asli bikin kesel. Itu Manggala sabarnya kebangetan. Ngetik part ini, Emak nyesek euy. Kebayang Manggala sendirian. Padahal masalahnya masih banyak banget. Kesel sama Nayara. Kemarin kesel sama Manggala sit eh celup. Sekarang Manggala sampai nolak Nay saking sayangnya, eh, malah ditinggalin kayak gitu. Stay tune ya. Terima kasih sudah setia di sini menikmati roller coaster MGPnay.
Sesaat Setelah Nayara PergiMANGGALA berlari begitu cepat. Menerobos semua yang ada. Bergegas menuju mobil, dia membanting pintu mobil menutup keras lalu membeku di sana. Napasnya lagi-lagi memburu bukan sisa berlari. Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin mengalir keluar dari tubuhnya.Sampai berbuku putih tangannya mencengkeram kemudi. Masih terengah, dia tidak bisa menghentikan emosinya. Bagaimana dia bisa menghentikan jika mengeluarkannya saja dia gagal. Dia ingin menangis, jika Nayara ada di sini, dia mungkin benar-benar akan menangis. Meraung mengiba menahannya tetap di sini. Tapi sekarang tidak ada lagi Nayara.Tidak ada lagi orang yang tekun mendengar ceritanya. Tidak ada lagi orang yang mengurus dan menemaninya ketika dia terpuruk. Tidak ada lagi tangan yang membelainya. Tidak ada lagi pangkuan tempatnya tidur bermanja. Tidak ada lagi suara yang meninabobokan.Tidak ada lagi Nayara. Nayaranya pergi.Dia b
MESKI Manggala semakin yakin bahwa kepergian Nayara bukan karena marah, benci, atau melarikan diri, tetap saja dia tidak bisa menekan rasa takut kehilangannya. Kepalanya tak berhenti bekerja, berpikir, berusaha mencari tahu alasan Nayara yang sesungguhnya. Ini semua demi Nayara. Agar dia tenang menunggunya pulang. Untuk Nayara atau untuk dirinya sendiri?Semakin dia bertanya semakin banyak jawabannya dia peroleh, tapi semakin banyak juga pertanyaan lain datang.Lelah hati, dia menghabiskan waktu dengan bekerja. Tapi tetap saja, ada waktu di mana pertanyaan-pertanyaan itu mengganggunya.***Dua minggu berlalu sejak Nayara pergi. Semua di Sastra MediaNesia yang melihat Manggala tahu, ada yang mengacaukan hidup si founder. Tapi Manggala tetap setertutup biasanya. Hanya fisiknya yang berubah.“Lu sakit, M?” tanya Wirya saat mereka meeting. “Lu kurus amat sekarang.”Manggala memanggil m
SUARA musik memenuhi ruang dengan volume maksimal yang bahkan membuat jantung pun ikut bergetar. Tubuh-tubuh liat menggeliat liar di lantai, saling menempel, tertawa terbahak. Setiap sudut dipenuhi manusia. Cahaya temaram dan asap membuat kesuraman yang hingar bingar. Di sebuah sudut, duduk santai seorang lelaki sambil memandang sekeliling. Sampai matanya memangkap sosok yang sudah lama tidak dia lihat di tempat seperti ini. Dia menelengkan wajahnya dengn alis mata naik sebelah. Lampu memang temaram, tapi matanya tidak mungkin salah. Setelah menghabiskan isi gelas dalam sekali tenggak, dia berjalan lurus ke arah sosok itu.“Sudah lama gue nggak ngelihat lu di sini.” Dia mengangkat sebelah tangan, memesan minuman lagi. “Adek gue mana?”Mendengar kalimat kedua, Manggala langsung menoleh.“Lu beneran nggak tau adek lu di mana?” Manggala kembali menenggak isi gelas. Pesanan Jaya datang.“Nggak. Dia sudah lama nggak ne
YANG terjadi di unit kecilnya setelah dia pulang adalah Manggala ambruk. Tapi dia bersyukur dia bisa sampai di sini dengan selamat meski harus menyetir seperti orang mabuk. Dan di sinilah dia sekarang. di sofa kesayangan Nayara. Duduk setengah tidur dengan tubuh berantakan.Satu sisi dia merutuki kebodohannya yang tetap pergi di saat tubuhnya sudah payah, tapi satu sisi dia tidak menyesal sama sekali. Dia bisa mendengar langsung suara Nayara. Terutama ketika Nayara berkata to much love will kill you sambil membayangkan Nayara memakai salah satu kemejanya. Kalimat pendek yang membuatnya melayang tinggi tanpa alhokol. Dan kemeja-kemeja itu… Nayara sungguh-sungguh memakainya.Tapi di sinilah dia sekarang. Tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama lagi, berontak meminta istirahat dengan panas tinggi. Makan bisa dia paksakan menelan apa pun isi wadah di depannya, Tapi tidur, itu selalu menjadi perjuangan yang berat. Tanpa demam pun tidurnya tak pernah
DI sudut bumi yang jauh dari Manggala yang terpuruk menyerah, Nayara sedang berusaha menabahkan hati. Berjauhan dari Manggala menyiksanya. Tapi membaca bab-bab di Papyrus di akun bernama Leo Zeus hatinya membuncah meski semakin disesaki rindu. Manggalanya baik-baik saja.Dia sehat, urusan kantornya lancar, dan dia merindukanku.Nayara tersenyum membaca bab berjudul Selalu Lapar.Ah, Manggala sudah bisa rutin makan. Terkadang memang orang harus diancam dulu baru mau bergerak. Mungkin Manggala seperti itu.Hm. Bukan. Bukan mungkin. Tapi memang benar begitu. Selama ini Manggala bergerak atas ancaman keluarganya. Mengingat itu, hati Nayara tercubit. Sakit. Dan itu makin membuatnya merindukan Manggala.Ah, Manggala akan baik-baik saja. Dia yakin aku akan pulang. “Hai…” Sebuah suara bariton menyapa lalu wujudnya langsung hadir di hadapannya. “
AWAN di bawahnya terlihat begitu lembut dan nyaman untuk ditiduri. Langit di atasnya cerah saat matahari bersinar tanpa penghalang. Deru mesin terdengar hanya berupa dengung yang tidak mengganggu lamunannya. Nyaris sepanjang malam dia terjaga melihat ke luar jendela meski pemandangan yang ada hanya hitam. Saat matahari menyapa, langit tetap menemani kesendiriannya.Lamanunnya terganggu pengumuman dari pilot. Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Tapi masih ada waktu menikmati langit dari ketinggian. Setelah memasang safety belt, dia kembali menatap ke luar dengan tangan menopang di jendela.Pesawat mendarat mulus sempurna.Ketika lampu safety belt mati, semua penumpang bergegas bergerak. Kecuali Manggala. Dia masih tetap duduk di tempatnya, meski matanya kini melihat kesibukan penumpang lain. Penumpang berdiri membuka head rack lalu mengosongkan isinya kemudian semua berjalan menuju pintu. Setelah cukup sepi baru Manggala berdiri, membu
Beberapa bulan kemudian, malam di musim semi. NAYARA berjalan perlahan di sepanjang trotoar. Menikmati saat-saat terakhirnya di Melbourne. Dua hari lagi dia pulang setelah semua urusan perkulihan selesai termasuk wisuda. Wisuda yang sepi. Dulu dia melewati wisuda sarjananya demi segera pergi. Kali ini, tak ada yang mengejarnya. Dia sisa pulang.Pulang.Dia memang sangat menunggu saat itu. Tapi ada sudut yang terasa menahannya di sini. Sebuah pencarian yang belum tuntas. Tapi bagaimana pencarian itu bisa selesai, jika yang dia cari justru tertinggal di Indonesia. Yang dia cari justru yang membuatnya merindu ingin segera pulang.Sepanjang meniti jalan, dia berpikir, apakah kepergiannya hanyalah sebuah kesia-siaan saja? Ribuan kilo jarak memisahkan, ratusan hari terlewati, tapi dia merasa gagal. Gagal yang mana? Gagal melupakan Manggala? Dia tidak pernah ingin melupakan Manggala apalagi ketika dia tahu bahwa dia gagal menata b
Saat ini, dua tahun setelah kepergian Nayara, dua hari setelah berpamit pada kota… MASIH menggunakan nomor berkode +61, masih di area bandara, Nayara hanya memberi kabar pada Gia bahwa dia sudah meninggalkan Soetta. Gia tak bertanya, sudah tahu ke mana tujuan sahabatnya itu. Nayara kembali mematikan ponsel. Merasa tak ada lagi yang perlu dia hubungi sebelum dia menggantinya dengan nomor lokal. Sepanjang jalan tatapannya keluar mengikuti pembatas jalan yang berlari berkejaran dengan tumpangannya. Hatinya berdetak dan berderak. Sebentar lagi… Jantungnya semakin berdetak ketika bangunan yang menjadi tujuannya sudah terlihat. *** Tidak ada yang berubah dengan pagar dan isi di dalamnya. Lepas meletakkan bawaannya di teras, dia berjalan ke arah kebun. Matahari sudah semakin di barat bumi. Dia tahu di mana menemukan yang dia cari. Dia memang melewati balai-balai, t