“SIAPA sih yang bikin peraturan kalau cowok dilarang nangis?” Nayara memegang ujung matanya memastikan sudut itu tetap kering.
“Maaf, Nayara. Aku nggak pernah bermaksud merendahkan kamu.”
“Maaf, aku nggak tahu hidup kamu serumit itu.”
Sejak awal Manggala berkisah, Nayara tekun memperhatikan mimiknya. Tapi Manggala tidak satu kali pun melihat ke arah Nayara. Dia melihat ke segala arah kecuali ke arah Nayara. Tubuhnya kurus, wajahnya tirus dengan lingkaran hitam di mata yang semakin jelas. Mungkin dia tetap terlihat rapi, tapi itu tidak bisa menutupi kekacauan hatinya.
“Tadi kenapa kamu buang permen-permen itu?”
“Aku nggak layak dapat hadiah apa pun lagi.”
“Maksudnya?”
“Yang pernah puji aku cuma Mama. Dan Papa nggak suka kalau Mama begitu, termasuk kasih hadiah. Katanya bikin aku manja, GR, gampang puas.”
“Hadiah apa?”
Wajah Manggala melembut dihiasi senyum tipis tapi tetap tidak bisa menyembunyikan gurat sedih da
Cowok juga manusia. Punya rasa punya hati. Dia bisa sedih. So, Kalau ada cowok yang sedih, biarin dia nangis. Biarin dia keluarin emosinya. Cowok juga manusia. Kita temani aja. Seperti Nayara yang temani Manggala tanpa protes sama sekali. [Sabtu, 16 Oktober 2021]
Nayara terusik gerakan-gerakan menggeliat di sampingnya. Dan tanpa membuka mata dia tahu dia ada di mana dan siapa yang menganggu lelapnya. Posisi tidur mereka sudah tak jelas. Dia tertidur ketika membaca. Tubuhnya jatuh sepanjang sandaran sofa sementara kakinya tetap di tempatnya. Mungkin karena merasa tempatnya sempit Manggala bergerak naik dan kepalanya berakhir di paha Nayara dan geliatnya tadi membuat tangannya melintang di perut Nayara. Bantal sudah di lantai, selimut setengah terjuntai. Untuk gampangnya, anggap saja posisi mereka adalah modifikasi 69 dengan pakaian lengkap. Nayara menjatuhkan sebelah kaki agar punggungnya bisa lebih lurus dan kepala Manggala bisa lebih nyaman di pahanya. Tidurnya lelap. Bukan, bukan tidurnya. Tidur mereka lelap. Ini nyaris pagi. Semburat jingga sudah terlihat di jendela. Melihat wajah lelap di pahanya, tangan Nayara kembali bergerak mengelus rambut itu. Dia menutup matanya. Tidak berusaha tidur kembali, hanya ingin merasai dan
TAK tahu berapa lama mereka berdua berada di neraka itu. Waktu terasa bergerak sangat lambat ketika Nayara tidak tahu apa yang harus dia lakukan kecuali menemani Manggala saja. Sampai tubuh Manggala melemah, napasnya pun mulai teratur. Dan akhirnya Nayara menyadari, Manggalas sudah tertidur. Dua pil memang bekerja lebih cepat, tapi tetap saja Nayara takut dosis itu berbahaya bagi Manggala. Dia mengambil bungkus pil, dosis yang tertera hanya setengah sampai satu. Jeritannya tertahan di tenggorokan. Manggala lelap atau pingsan, dia tak tahu. Pun dia sudah menyambar ponsel dan mencari tahu dengan jarinya, dia tetap tidak memperoleh hasil di tengah kepanikan seperti ini. Berkali-kali dia memperhatikan napas Manggala. Memastikan dia bernapas normal. Menyentuh bagian tubuhnya untuk mendeteksi suhu. Menghapus keringatnya. Manggala bahkan masih bertelanjang dada. Sepi. Tapi kepalanya sungguh riuh. Ramai dengan berbagai pertanyaan yang saling menabrak mencari jawaban.
“SHOULD I sorry for that?” Nayara berbisik pelan. Sungguh-sungguh bertanya. “No need. Aku sudah berhasil memetakan soal itu. Aku yang salah. Tapi yah aku begitu, itu gara-gara kenangan buruk aku. Dan kenangan itu bukan aku yang bikin. Tapi aku bisa apa? Jadi kembali lagi, aku terima aja.” Suaranya datar, begitu tenang. Tanpa emosi sama sekali. “Kenapa kamu berani ngajuin proposal seperti itu ke aku? Apa selama ini ada kelakuan aku yang bikin kamu pikir aku kayak cewek bispak? Aku nggak pernah godain kamu, outfit juga tertutup.” Nayara merasa harus menanyakan sumber kesedihannya. “Aku ngelihat kamu di High Five, Nayara. Aku yakin waktu itu kamu juga lihat aku.” “So? Tentu Nayara ingat kejadian itu. Waktu itu dia berpura-pura tidak melihat Manggala, tapi ternyata dia gagal. “Kamu nggak tau profesi lain salah satu teman kamu?” “Hah?” Nayara berekspresi singkat. Ekspresi bodoh dan terkejut. “Aku ngg
“STAY here, Nayara.” Berbisik nyaris seperti desah. Sangat pelan sehingga seperti memohon. “Coba tolong perjelas kalimatnya.” Nayara pun bersuara pelan. Mereka sedekat ini, di ruang setenang ini. Semua terdengar jelas bahkan debar jantung dan aliran darah pun bisa terdengar. Nayara berusaha setenang dan senetral mungkin. Tak ada suara lain yang menemani keriuhan di batin masing-masing mereka. Senyap. Suara lembut Nayara pun terdengar sangat jelas. Manggala berusaha sangat keras mengatakan maunya. Setelah dia bercerita, mengeluarkan kisah yang membebani jiwanya, Nayara menuntut hal lain yang selama ini dia tekan. Selama ini banyak keinginan-keinginannya tidak berhasil melewati bibirnya. Hanya terkubur di dalam jurang hati. Perjalanan hidupnya mengajarkan itu. Semua akan lebih baik jika dia diam, menerima saja semuanya, memendam saja semua maunya, lalu melupakan semua terutama yang menyakitinya. Jika terlalu sakit, maka sakiti saja dirimu sendi
HUBUNGAN mereka membaik. Komunikasi yang sempat putus kembali lancar. Dan tanpa kesepakatan, mereka sama-sama menjalani kebersamaan ini tanpa merasa orang lain perlu tahu kedekatan mereka. Hubungan mereka adalah privasi mereka. Sesekali Manggala mengantar Nayara pulang lalu mereka berbincang santai di teras kos. Kadang bersama Gia dan pasangannya. Beberapa kali Manggala mengajak Nayara ke rumahnya, tapi Nayara selalu menolak dengan alasan yang sama. Sejujurnya, Nayara hanya tidak mau tak berjeda dengan Manggala. Karena alasan itu juga maka Nayara sering menolak ke apartemen. Berakhir di berbagai tempat makan. Baru satu kali di tempat hiburan malam. Sebulan lebih seperti itu. Seperti kali ini. Akhir pekan, mereka lebih santai. Bosan duduk berbincang di tempat yang sama, Manggala mengajaknya pergi dan berakhir di tempat hiburan malam. “Ngapain sih ke sini?” protes Nayara. “Kamu nggak suka?” Manggala bersiap memutar kemudinya. “Minum ngga
“GET a room.” “Sh*t!” “D*mn!” Setelah sebuah suara tiba-tiba muncul, dua makian keluar bersamaan dari mereka. “Get a room. You have one here.” “Ngapain lu tadi berantem? Rebutan cewek?” “Gue cuma suruh kalian ke kamar. Nggak usah ribet ngalihin pembicaraan gitu, Nay. Gue nggak larang lu. Gue cuma nggak enak aja lihat lu main di depan mata gini. Biar gimana lu adek gue.” Santai, Jaya mengambil minuman isotonik dari lemari es, duduk di kursi makan dan menenggak minumannya sambil memijat kening. “Bukan itu, Njing. Ngapain ribut gara-gara cewek. Kayak nggak ada cewek lain.” Nayara terus mengerutu, berusaha menghilangkan rona merah yang tadi nyaris menjalar naik di wajahnya. Marah dan mengoceh memang pengalih perhatian yang sangat jamak. “Mending gue ngerebut cewek orang daripada ngerebut cowok orang kan?” ucap Jaya sambil terkekeh kurang ajar. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Hanya me
KESUNYIAN itu akan terus berlanjut jika salah satu dari mereka tidak mengeluarkan suara. “Selama ini yang aku tahu cuma kebutuhan badaniah aja.” Akhirnya ada suara meretakkan kesenyapan yang syahdu itu. “I’m not a good kisser because I kiss no one. I never kiss any girls. I’m a players but not a playboy. Aku nggak pernah merayu. Aku nggak pernah ngegombalin cewek. Aku cuma butuh liang perempuan buat pelepasan aja. Kebutuhan yang aku tahu cuma itu.” Manggala seperti berbicara sendiri. Dia tak peduli. Dia tahu, meski masih merajuk, Nayara pasti mendengar ocehannya. “Tapi kamu datang. Mengacak-acak hormon aku. Sampai aku merasa kebutuhan yang lain. Yang selama ini aku pikir b*llsh*t.” Dia tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. “You fill the emptiness of my soul.” Manggala mengecup lembut puncak kepala Nayara. Lalu meletakkan lagi dagunya di puncak kepala itu. “Demi itu, aku rela abaikan kebutuhan badan aku. Aku terima kam
BEBERAPA minggu ini memang kesibukan Nayara bertambah. Skripsinya semakin mendekati ujung. Kemarin dia mengabaikan itu demi kesenangan bersama Manggala. Tapi Minggu ini dia menggunakan alasan itu. Walau ternyata ada rindu yang harus diurus. MGP : Di mana? Ph Nay : Di kampus MGP : Aku jemput ya. Ph Nay : Nggak usah, kejauhan. Nanti jemput di Beos aja ya. MGP : Oks. Cu. Dan Manggala menjemput sampai di depan peron. “Tumben ke Beos. Biasanya di Dukuh Atas,” sapa Manggala sambil tersenyum ketika mereka bertemu. Tangannya langsung menyambar tangan Nayara, memegangnya sepanjang jalan menuju mobil. “Malas turun raramean.” Tadi Nayara memang turun menunggu gerbong kosong. “Lagian aku mau ke Ancol. Yuk.” Manggala langsung mengiyakan ajakan itu. M