“STAY here, Nayara.” Berbisik nyaris seperti desah. Sangat pelan sehingga seperti memohon.
“Coba tolong perjelas kalimatnya.”
Nayara pun bersuara pelan. Mereka sedekat ini, di ruang setenang ini. Semua terdengar jelas bahkan debar jantung dan aliran darah pun bisa terdengar. Nayara berusaha setenang dan senetral mungkin. Tak ada suara lain yang menemani keriuhan di batin masing-masing mereka. Senyap.
Suara lembut Nayara pun terdengar sangat jelas. Manggala berusaha sangat keras mengatakan maunya. Setelah dia bercerita, mengeluarkan kisah yang membebani jiwanya, Nayara menuntut hal lain yang selama ini dia tekan. Selama ini banyak keinginan-keinginannya tidak berhasil melewati bibirnya. Hanya terkubur di dalam jurang hati. Perjalanan hidupnya mengajarkan itu. Semua akan lebih baik jika dia diam, menerima saja semuanya, memendam saja semua maunya, lalu melupakan semua terutama yang menyakitinya.
Jika terlalu sakit, maka sakiti saja dirimu sendi
Bikin part ini, perasaan campur aduk. Masih kebawa sedih cerita masa kecil Manggala, masih terharu sama usahanya, dlsb tapi kebawa juga romansa mereka berdua. Itu maksudnya apa sih Manggala ngomong gitu? Ah, Nayara main terima aja. Manggala terlalu rumit, nanti kau terjebak di dunianya. Thx & happy reading. [Rabu, 20 Oktober 2021]
HUBUNGAN mereka membaik. Komunikasi yang sempat putus kembali lancar. Dan tanpa kesepakatan, mereka sama-sama menjalani kebersamaan ini tanpa merasa orang lain perlu tahu kedekatan mereka. Hubungan mereka adalah privasi mereka. Sesekali Manggala mengantar Nayara pulang lalu mereka berbincang santai di teras kos. Kadang bersama Gia dan pasangannya. Beberapa kali Manggala mengajak Nayara ke rumahnya, tapi Nayara selalu menolak dengan alasan yang sama. Sejujurnya, Nayara hanya tidak mau tak berjeda dengan Manggala. Karena alasan itu juga maka Nayara sering menolak ke apartemen. Berakhir di berbagai tempat makan. Baru satu kali di tempat hiburan malam. Sebulan lebih seperti itu. Seperti kali ini. Akhir pekan, mereka lebih santai. Bosan duduk berbincang di tempat yang sama, Manggala mengajaknya pergi dan berakhir di tempat hiburan malam. “Ngapain sih ke sini?” protes Nayara. “Kamu nggak suka?” Manggala bersiap memutar kemudinya. “Minum ngga
“GET a room.” “Sh*t!” “D*mn!” Setelah sebuah suara tiba-tiba muncul, dua makian keluar bersamaan dari mereka. “Get a room. You have one here.” “Ngapain lu tadi berantem? Rebutan cewek?” “Gue cuma suruh kalian ke kamar. Nggak usah ribet ngalihin pembicaraan gitu, Nay. Gue nggak larang lu. Gue cuma nggak enak aja lihat lu main di depan mata gini. Biar gimana lu adek gue.” Santai, Jaya mengambil minuman isotonik dari lemari es, duduk di kursi makan dan menenggak minumannya sambil memijat kening. “Bukan itu, Njing. Ngapain ribut gara-gara cewek. Kayak nggak ada cewek lain.” Nayara terus mengerutu, berusaha menghilangkan rona merah yang tadi nyaris menjalar naik di wajahnya. Marah dan mengoceh memang pengalih perhatian yang sangat jamak. “Mending gue ngerebut cewek orang daripada ngerebut cowok orang kan?” ucap Jaya sambil terkekeh kurang ajar. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Hanya me
KESUNYIAN itu akan terus berlanjut jika salah satu dari mereka tidak mengeluarkan suara. “Selama ini yang aku tahu cuma kebutuhan badaniah aja.” Akhirnya ada suara meretakkan kesenyapan yang syahdu itu. “I’m not a good kisser because I kiss no one. I never kiss any girls. I’m a players but not a playboy. Aku nggak pernah merayu. Aku nggak pernah ngegombalin cewek. Aku cuma butuh liang perempuan buat pelepasan aja. Kebutuhan yang aku tahu cuma itu.” Manggala seperti berbicara sendiri. Dia tak peduli. Dia tahu, meski masih merajuk, Nayara pasti mendengar ocehannya. “Tapi kamu datang. Mengacak-acak hormon aku. Sampai aku merasa kebutuhan yang lain. Yang selama ini aku pikir b*llsh*t.” Dia tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. “You fill the emptiness of my soul.” Manggala mengecup lembut puncak kepala Nayara. Lalu meletakkan lagi dagunya di puncak kepala itu. “Demi itu, aku rela abaikan kebutuhan badan aku. Aku terima kam
BEBERAPA minggu ini memang kesibukan Nayara bertambah. Skripsinya semakin mendekati ujung. Kemarin dia mengabaikan itu demi kesenangan bersama Manggala. Tapi Minggu ini dia menggunakan alasan itu. Walau ternyata ada rindu yang harus diurus. MGP : Di mana? Ph Nay : Di kampus MGP : Aku jemput ya. Ph Nay : Nggak usah, kejauhan. Nanti jemput di Beos aja ya. MGP : Oks. Cu. Dan Manggala menjemput sampai di depan peron. “Tumben ke Beos. Biasanya di Dukuh Atas,” sapa Manggala sambil tersenyum ketika mereka bertemu. Tangannya langsung menyambar tangan Nayara, memegangnya sepanjang jalan menuju mobil. “Malas turun raramean.” Tadi Nayara memang turun menunggu gerbong kosong. “Lagian aku mau ke Ancol. Yuk.” Manggala langsung mengiyakan ajakan itu. M
MANGGALA mengajak Nayara ke sebuah anjungan tepat di tubir tebing kecil. Tak ada pohon peneduh. Anjungan menjorok sedikit keluar batas lahan, menggantung di udara. Pagar setinggi pinggang sebagai pengaman bagi tebing curam setinggi dua puluh meter. Pemandangan di depan adalah kebun dan langit. Terasa lapang. Matahari langsung menyentuh kulit tanpa peneduh. Matahari pagi menjelang siang yang menyengat, meski hawa dingin pegunungan tetap terasa, tapi matahari yang hanya dihalangi awan tipis tetap terasa panas mengeringkan kulit. Tapi Manggala suka di tempat ini. Mereka berjalan bersisian menuju anjungan. “Ulin juga nih?” Nayara menjejakkan kaki di dasar anjungan. Manggala terkekeh. “Sisa bikin bale-bale. Kan beli pakai kubik. Cuma cukup buat tiang lantai dan pagar sama beberapa lembar untuk lantai. Tapi kalau ada remahan ulin aku mau deh beli lagi.” “Remahan? Dikata rengginang.” “Ya beneran remahan. Bisa dibikin seperti parket kan. Disusun gitu. Ah, tuk
SAMBIL memeluk Nayara, Manggala mengajak gadisnya berkeliling melihat isi rumah kaca dan kebun bunga kecil. Melihat itu, mood Nayara membaik. Dia bisa tersenyum ketika Manggala memetikkan setangkai lili untuknya. Hari makin siang. Mereka sudah kembali duduk di balai-balai. Di sana mereka hanya berbincang santai sambil menikmati kudapan. “Terus kamu kapan tanam itu tanaman yang kemarin kamu beli di Flona?” tanya Nayara sambil memainkan lilinya. “Paling minggu depan.” “Hah?” Nayara sampai menoleh mengalihkan tatapan dari lili di tangannya. “Terus ngapain kita ke sini? Kemarin katanya mau langsung tanam.” Mereka duduk bersisian di tepi balai-balai. “Ya kalau ada kamu ngapain aku ngurus tanaman. Mending aku ngurus kamu.” “Astaga… Manggala!” Gerutu yang membuat Manggala tertawa. “Kalau kamu nggak di sini, siapa yang ngurus semua?” “Aku minta tolong tetangga ngurusin tiap hari. Istrinya yang bersih-be
NAYARA semakin sibuk. Jadwal seminar dan sidangnya sudah fix bulan depan. Dia sering menghilang dari kubikelnya, ke kampus mengurus semua pernak-pernik sidang. Manggala selalu menawarkan diri mengantar dan menjemput, tapi Nayara selalu menolak. Dia tahu Manggala pun sama sibuknya. Kadang tengah malam baru mereka bisa berbincang melalui telepon. Meski Manggala sering mengundang dirinya sendiri ke tempat gadisnya, tapi Nayara selalu menolak. Sudah terlalu malam, lebih baik beristirahat, lebih baik mengerjakan hal lain, dan segudang alasan lain. Di akhir pekan pun Nayara sibuk. Pekerjaan dan kuliah. Dia menolak bantuan apa pun dari Manggala. Dia malah menyuruh Manggala ke rumah mengurus tanamannya. Malam itu Nayara masih di kubikelnya. Duduk bertopang dagu sambil tangannya menggeser-geser layar ponsel. Foto-foto mereka ketika di rumah. Termasuk foto candid Manggala tampak belakang di tubir saat sunset. Tangannya berhenti menggeser. Foto ini indah. Man
MANGGALA mengerjap-ngerjapkan mata sambil berusaha mengumpulkan nyawa. Dia tahu, tidurnya nyenyak, tapi apa yang membuatnya terbangun? Kesadarannya belum utuh, ketika dia ingat ada Nayara di sini, itu membuat perasaannya membuncah. Tapi belum sempat perasaannya meluap, sayup-sayup terdengar rintihan dari kamar. Tak tahu apa yang suara itu lafalkan, tapi dia tahu itu suara Nayara. Secepat yang dia bisa, melompat, dia berlari ke kamar. Manggala… “Nayara…” Tidur gadisnya gelisah. Manggala berusaha membangunkan Nayara dari mimpi apa pun itu. MANGGALA… “Nayara…” “Manggala…” “Ya… It’s me.” Suara itu seperti nyata di telinga Nayara. “Mang—“ Nayara langsung terduduk dengan napas menderu. “Sshh…” Manggala duduk semakin tegak. “Nayara, it’s me.” Tangannya menepuk dan membelai lembut bahu Nayara. Nayara masih mengatur napas. Lemah, dia menarik lutut dan menguburka