KESUNYIAN yang sesaat itu tak berlangsung lama. Dering ponsel memecahkan sepi sesaat tadi. Ponsel Manggala.
Wiguna.
Cuma itu nama yang terbaca di layar.
Tapi Manggala hanya melirik ponselnya saja. Sinis. Wajahnya semakin mengeras. Akhirnya setelah helaan napas dia menyambar lalu mengetuk layar ponselnya.
“Ya, Pa.”
“Kamu ingat ini tahun keberapa?”
“Ingat, Pa.”
“So?”
“Saya juga ingat kalau ini hari libur.”
Sambungan terputus, dia melempar ponselnya. Nyaris mengenai Nayara.
Tiba-tiba suasana yang tadi cair berubah menjadi sangat kaku dan beku. Nayara tidak berani membuka pembicaraan. Kembali, dia hanya menunggu aksi sebelum bereaksi. Ketika Manggala berdiri, dia berusaha untuk tidak ikut berdiri.
“Sorry, gue ngudud bentar.” Manggala pergi tanpa melihat ke arah Nayara. Di perjalanan menuju balkon dia menyambar bungkus rokok, botol minuman, dan gelas.
Sepertinya ini akan menj
Aih... sudah mulai bermain api nih. Gimana kalau nge-date sambil menyesap brotowali. #eh. Antimainstream. Kata saya mah Manggala nggak mau ngakuin aja perasaannya. Tapi... bisa juga dia nggak mau ngaku karena nggak tau. Ini hal yang baru buat dia. Ya sudahlah, biar Manggala dan Nayara makin mendekat. yang baca merapat aja dengan komen, like, love, subs. adn follows. Ditunggu ya.... Thx & happy reading [MInggu, 3 Oktober 2021}
“GUE nggak pernah cerita ke siapa-siapa sama sekali.” Manggala menarik napas panjang. Itu adalah jawaban yang jujur. “Soal bokap yang begitu, paling teman sekolah yang tahu. Biar gimana, mereka taulah kalau gue yang juara umum aja nggak dianggap bokap sendiri. Tapi pas kuliah, nggak ada ambil rapot lagi. Teman-teman gue nggak pernah ketemu nokap.” “Apa kemarin mabuk juga urusan ini? Maksud gue, berhubungan sama bokap?” Manggala mengangguk. “Gue dulu mau kuliah di Agronomi. Ya berhubung pertanian gue ngincar IPB dong. Nggak jauh juga. Tapi nggak boleh sama bokap. Boleh di IPB tapi kalau nggak Agribisnis ya Ilmu Komputer.” Dia mendengus sambil mengusap wajahnya kasar dengan kedua belah telapak tangan. “Kenapa mau Agronomi?” “Gue suka ngurus tanaman. Gue mau jadi petani. Tinggal di tengah kebun, Sendirian.” Manggala terkekeh tapi suaranya terdengar janggal. “Lagian gue nggak pede pilih jurusan-jurusan elit. Passing grade-nya tinggi.” Dia
NAYARA menggeliat. Dia tidak pernah ada masalah dengan tidur. Matanya bergerak-gerak tapi kelopaknya malas membuka. Tapi dia paksa membuka matanya ketika dia sadar dia ada di mana sekarang. Di ranjang Manggala. Semoga pemilik ranjang belum bangun. Tapi ketika matanya terbuka, bayangan kabur sosok Manggalalah yang dia lihat. Yang lebih mengejutkannya adalah mata Manggala yang terbuka lebar. Caught in the act. “Sorry…” “It’s okay. Gue sudah bilang kan terserah lu mau ngapain asal jangan pulang.” “Sampai kapan hamba dilepas, Wahai Penculik Tampan?” Nayara bergerak bangun keluar kamar. Manggala mengikuti gerakannya sambil terkekeh. Dan dia sadar, bersama Nayara sudah tak terhitung berapa kali dia terkekeh, tertawa, bahkan terbahak lepas. “Ini jam tiga pagi. Gue sih asyik aja antar lu pulang.” Nayara mengambil segelas air lalu duduk di kursi meja makan sambil menenggak setengah gelas. “HP gue mana
HARI yang lain. MGP : Apa kabar skirpsi? Tiba-tiba pesan itu masuk sebagai pop up. Konsentrasinya yang tadi penuh pada naskah di layar mendadak hilang. Ph Nay : Yah, kan sudah janji nggak reseh. L MGP : Cuma tanya gitu aja masuk kategori resehkah? Ph Nay : Masuk. Karena gue lagi konsen sama yang lain. Ph Nay : Nggak mau inget urusan skripsi. Ph Nay : Nanti gaji gue dipotong kalau kerjanya nggak bener. MGP : :D MGP : Jalan yuk Nayara tidak langsung menjawab. Dia memastikan tulisan itu benar berarti sebuah ajakan. Ph Nay : Nggak reseh soal skripsi sih. Tapi reseh yang lain. MGP : Kok? MGP : Gue
TAPI tak ada kelanjutannya lagi.Berhari-hari tanpa kabar lain. Membuat Nayara kembali menebalkan hati. Banyak yang harus dia kerjakan dan yang harus dikerjakan itu butuh dipikirkan. Urusan Manggala segera terkesampingkan.Ternyata tidak begitu dengan Manggala.Kedekatan ini… dan semua ‘tuduhan-tuduhan’ yang dia terima dari keluarganya membuatnya berpikir lebih dalam. Apa mereka sedekat itu? Atau… apa mereka membaca yang tersirat? Lalu apa yang sebenarnya tersirat?Dan kecupan itu…Kecupan seringan bulu. Kenapa dia mencuri kecupan? Apa tidak ada cara lain? Dan kenapa kecupan itu terasa hingga kini? Kecupan yang membuat tubuhnya meminta lebih dan yang menyebalkan baginya adalah tubuhnya hanya menginkan gadis itu. Cukup satu kali kejadian dia—nyaris—gagal mengeluarkan hasratnya. Dia tidak bermaksud mencoba lagi ketika dia semakin yakin pada apa mau tubuhnya.Sangat sering dia terpaksa harus memaksa
SEBENARNYA dia tidak memberi jalan tamunya masuk. Tapi ketika panel pintu tetap terdorong masuk, mau tak mau dia mundur membiarkan tamunya masuk. Nayara yang sepanjang Manggala meninggalkan sofa asyik dengan laptop di pangkuannya tidak segera sadar perubahan Manggala. Dia hanya merasa tiba-tiba sunyi saja. Yang ketika dia menoleh ke arah yang seharusnya bersuara, dia sudah melihat sosok lain. Wiguna. “Masih urusan data penelitian kah? Sejak kapan sampai harus di luar jam kantor dan di ruang pribadi seperti ini?” Berdua tidak bisa menjelaskan. Pun bisa, buat apa? “Ada perlu apa, Pa?” “Kamu nggak ada di kantor.” “So? Ini sudah bukan jam kerja.” “Papa nggak mau ganggu waktu kamu terlalu lama. Mana proposalnya?” Tangan Wiguna terulur meminta sesuatu. Seperti hantu yang melayang Manggala mengambil dan memberikan yang Wiguna minta. Aku masih punya waktu beberapa bulan lagi, gerutu Manggala dalam hati
BAGAIMANA Nayara tidak terkejut. Dia sedang mengeringkan kaki di depan pintu kamar mandi ketika melihat ke ranjang Manggala bergerak gelisah. Tubuh lelahnya belum sempat menghasilkan gerak refleks ketika tiba-tiba Manggala terbangun dan langsung terduduk di ranjang menderu bernapas kasar. Melihat itu, baru dia tersadar dan terburu mendekati Manggala. “Sshh… Its okay. Its just a dream.” Duduk di tepi ranjang, Nayara menepuk-nepuk lembut lutut Manggala menemani dia yang masih mengatur napasnya. Rambutnya basah keringat di ruang ber-AC. Yukata yang menjadi baju tidurnya berantakan dan basah. Nayara menggunakan handuk bekas pakainya untuk menghapus keringat di dahi Manggala. Membiarkan Manggala meneguk menandaskan isi gelas. Setelah isi gelas kosong, dia buru-buru mengambil gelas itu sebelum ada kejadian pelemparan benda lagi. Nayara diam melihat sambil menunggu reaksi Manggala, sampai ketika pandangan Manggala sudah berisi, baru dia mengulas senyum.
DIA menyambut Nayara yang tersenyum kecil sambil menutup mulut dengan punggung tangan. “Bagaimana bisa ngerjain skripsi kalau datanya masih di gue,” ujarnya ketika Nayara duduk di sofa. “Ya elah, data doang. Tinggal email aja. Ini gue ke sini juga ujung-ujungnya email kan? Nggak bakal print out kan? Memang kurang apa lagi sih?” “Ini siapa yang nyusun skripsi ya? Lu apa gue sih? Itu pertanyaan cocoknya buat lu.” Membuat Nayara terkekeh dan mulai menyeruput minuman sogokannya. “Btw, kalau begini caranya, kayaknya bagus lu hadir pas gue sidang deh. Sebagai pembimbing spiritual.” Mereka terkekeh bersama. Tapi dalam hati Nayara berharap tidak ada intruder lagi yang masuk mengganggu mereka. Dan Manggala berusaha mengenyahkan harapan itu. Karena ketika dia berharap seperti Nayara, itu artinya dia mengingat sosok pengganggu kebersamaan ini. Tak ada hal penting yang mereka bicarakan sampai waktu yang diatur oleh Lydia habis dan
BENAR Nayara keluar melalui lobby, tapi dia tidak pernah keluar komplek apartemen itu. Dia berlari ke arah lain dari posisi gerbang. Dia ke tower lain sambil tangannya merogoh dompet mencari sebuah access card. Dia kembali menaiki lift yang berfungsi berkat access card-nya. Keluar lift, tanpa jeda dia langsung membuka pintu lagi dan sudah berada di ruang tengah sebuah apartemen. Berderap, dia memasuki sebuah kamar, membanting pintunya menutup, dan langsung menerjang ranjang. Lalu terpuruk di sana. Dia masih terengah berusaha mengendalikan emosi sambil bersandar di kepala ranjang ketika seorang lelaki yang hanya melilitkan handuk di pinggang masuk dengan frying pan bersiaga di tangan. “Nayara! Astaga…!” Meski terkejut tapi dia juga merasa lega setelah mengetahui siapa intruder di rumahnya. Jayantaka membanting frying pan ke sudut ruang. Merasa senjata ala kadarnya itu sudah tidak diperlukan lagi. Kemudian dia duduk di tepi r
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,