NAYARA melirik jam dinding di kamar kos. Sudah nyaris tengah malam. Tapi matanya masih nyalang menatap langit-langit bercat kusam. Melihat pendar cahaya lampu. Kesendirian membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Ke skirpsinya, ke tulisannya, ke orang-orang sekitarnya, termasuk ke Manggala.
Sementara di tempat yang lain, Jaya sedang menikmati malam. Beberapa set sofa dan kursi disusun sepanjang dinding, salah satu set itu diisi Jaya. Dia asyik menikmati musik mengentak. Seorang perempuan cantik duduk sambil memegang botol Jack Daniel yang ketika gelas di tangan Jaya kosong langsung dia isi.
Sebuah sosok mengganggu santainya. Sosok yang sedang menghalau kasar seorang perempuan. Dia sering melihat sosok itu di tempat seperti ini. Tapi ada bayangan lain yang mengganggu. Dia pernah melihat sosok itu di tempat lain selain di tempat hiburan malam.
Di mana?
Dia terus berusaha mengingat-ingat. Dan ketika ingatannya datang, dia langsung menyambar ponsel.
NAYARA tetap memapah Manggala sepanjang lorong menuju unitnya. Dia membiarkan Manggala membuka pintu dan kembali membantunya menuju sofa. Manggala langsung membanting tubuhnya sampai memantul.Nayara berkacak pinggang di depan sofa sambil memperhatikan sosok Manggala. Tapi melihat posisi jatuhnya yang tidak nyaman, Nayara bergerak memperbaiki posisi tidur Manggala.“Manggala, obat di mana?” Jika tak dibantu obat, ketika sadar dia akan tersiksa hang over. Manggala hanya bergumam sambil tangannya menepis udara, tangannya terjatuh menggantung ke lantai. “Gue cari obat dulu ya,” ujar Nayara bersiap pergi sambil memperbaiki posisi tangan Manggala.“Don’t.” Tangan lemah Manggala berhasil menahan laju Nayara.“Lu ada obat? Di mana?” Nayara langsung duduk di meja.“Don’t go anywhere.” Pegangan tangannya terlepas, membuat tangan Manggala menggantung lagi nyari
WALAU tanpa suara alam, alarm tubuhnya membangunkan Nayara pagi itu.Dia terkejut menyadari di mana dia tidur. Apalagi ketika menyadari ada panas napas di wajahnya. Posisi mereka berubah. Manggala tidak lagi tidur telentang. Dia tidur miring menghadap Nayara. Tangannya tidak lagi menggenggam tangan Nayara. Ganti tangan yang lain tergeletak di perut Nayara. Bahkan sebelah kakinya tertumpang di tungkai Nayara.Melihat selimut yang tersibak, Nayara berdesir. Nyaris seluruh tubuh Manggala terbuka. Perlahan dia bergerak melepaskan diri lalu terburu merapikan selimut Manggala. Melihat pemandangan seperti itu tidak baik untuk kesehatan jantung perawan.Tapi yang sekilas itu ternyata membekas. Tungkai Manggala terlihat memesona di matanya. Tanpa sadar Nayara menghela napas ketika sudah terlepas dari Manggala dan berhasil merapikan selimut. Ternyata sejak tadi dia menahan napas.Merasa tak perlu tambahan olahraga jantung, Nayara pindah posisi. Dia melanjutkan tidu
MENUNGGU pesanan datang, Manggala membersihkan tubuh. Air yang mengalir di seluruh permukaan kulit membuat tubuhnya terasa segar. Terasa lebih hidup. Dengan tubuh bersih yang menguarkan aroma kayu-kayuan dia merasa lebih percaya diri berada di dekat Nayara. DIa juga memastikan mulutnya tidak mengeluarkan bau bangkai ketika berbicara. Dia memilih t-shirt dan celana pendek selutut.Setelah mematut diri sejenak di cermin, setelah merasa dirinya cukup pantas menemui Nayara, dia keluar menjumpai gadis yang sedang duduk santai di sofa sambil berselancar di dunia maya dengan ponsel. Melihat Manggala keluar dengan penampilan yang terlihat sangat segar, tidak menyisakan jejak-jejak hang over sama sekali, Nayara tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Ini pengalaman pertama mengurus orang mabuk sendirian. Dan melihat tungkai Manggala tidak tertutup sempurna, mendadak pemandangan dini hati tadi membuatnya tersipu. Untunglah Manggala tidak menyadari itu.Pesanan da
SUARA ketukan di pintu mengganggu konsentrasi Nayara. Konsentrasi yang setengah mati dia kumpulkan sejak kepulangannya ke kamar ini. Skripsinya harus segera selesai. Pekerjaannya bertumpuk. Jika tertunda, maka dia harus hidup lebih hemat lagi. Jika itu terjadi, maka lupakan bersenang-senang di club, dia tidak mungkin selalu mengandalkan traktiran teman-temannya.Mendengus kesal, dia melirik jam. Siapa pula bertamu nyaris jam sepuluh malam? Sebentar lagi pagar terkunci. Sambil mengentakkan kaki kesal, dia berjalan lalu membuka pintu dan melongokkan kepala.Sosok yang berdiri membelakanginya tak langsung dia kenali. Lebih tepatnya tak percaya.“Hai.” Mendengar suara ceklik pintu, Manggala berbalik.“Eh, ada apa?” Hanya itu pertanyaan yang melintas di kepalanya.“May I come in?”Masih terpaku semi tak sadar, Nayara membuka pintu lebih lebar, membiarkan Manggala masuk lalu menelisik sekilas,
SUARA ketukan di pintu membuat tidurnya terusik. Jam empat lewat. Pasti Gia. Bergegas membuka pintu, Gia menyambutnya dengan gerutu. “Siapa suruh kunci nggak dilepas. Bangun kan lu!” Gia langsung masuk dan langsung tertegun. “Astaga!” pekiknya tertahan. “Sshh... Jangan ribut!” Gia berjingkat mendekati ranjang. Ketika dia mengenali siapa soosk itu, matanya mendelik dan spontan menutup mulutnya sambil melihat ke arah Nayara. “Gimana bisa dia di sini, Goblok? Gue pikir abang lu. Astaga! Awas aja kalau sampai kita diusir Ibu Kos.” Dia menggeleng sambil duduk terhenyak di ranjangnya. “Gue nggak ngapa-ngapain.” “Peraturannya nggak boleh bawa masuk cowok. Bukan harus ngapa-ngapain dulu baru nggak boleh, Nayara!” Gia mendesis di muka Nayata yang sudah duduk di sampingnya. Akhirnya sambil berbisik Nayara berhasil menceritakan bagaimana sampai Manggala ada di ranjangnya termasuk cerita dia mengurus Manggala yang m
TIBA di ujung gang Manggala sudah berdiri gelisah. Nayara terkekeh ketika Manggala terbirit naik. “Pom bensin?” tawar Nayara dengan menyembunyikan tawa. “Nggak ah. Cepat antar gue ke apartemen!” Kondisi ini sungguh menyiksa. Dan memalukan. Dia sangat khawatir ada bau-bau aneh yang sangat mungkin keluar dari tubuhnya. Walau lincah mengendarai mobil menyelinap menyalip, Nayara bersenandung menggoda Manggala. Aneh, Manggala masih bisa tersenyum melihat kelakuan Nayara meski keringat dingin sudah mengalir di dahi. Begitulah mereka sepanjang jalan. Saling mengganggu dan mengejek. Apalagi ketika mulas di perut Manggala perlahan menghilang. Yang bahkan ketika sampai di unitnya pun dia santai duduk di sofa. “Nggak jadi upload?” “Kelamaan. Masuk lagi.” “Yack....” Lirikan Nayara membuat Manggala terbahak. Tapi Nayara sudah mengalihkan perhatiannya ke sekeliling ruang. Hal yang kemarin tidak sempat dia lakukan. Manggala m
KESUNYIAN yang sesaat itu tak berlangsung lama. Dering ponsel memecahkan sepi sesaat tadi. Ponsel Manggala. Wiguna. Cuma itu nama yang terbaca di layar. Tapi Manggala hanya melirik ponselnya saja. Sinis. Wajahnya semakin mengeras. Akhirnya setelah helaan napas dia menyambar lalu mengetuk layar ponselnya. “Ya, Pa.” “Kamu ingat ini tahun keberapa?” “Ingat, Pa.” “So?” “Saya juga ingat kalau ini hari libur.” Sambungan terputus, dia melempar ponselnya. Nyaris mengenai Nayara. Tiba-tiba suasana yang tadi cair berubah menjadi sangat kaku dan beku. Nayara tidak berani membuka pembicaraan. Kembali, dia hanya menunggu aksi sebelum bereaksi. Ketika Manggala berdiri, dia berusaha untuk tidak ikut berdiri. “Sorry, gue ngudud bentar.” Manggala pergi tanpa melihat ke arah Nayara. Di perjalanan menuju balkon dia menyambar bungkus rokok, botol minuman, dan gelas. Sepertinya ini akan menj
“GUE nggak pernah cerita ke siapa-siapa sama sekali.” Manggala menarik napas panjang. Itu adalah jawaban yang jujur. “Soal bokap yang begitu, paling teman sekolah yang tahu. Biar gimana, mereka taulah kalau gue yang juara umum aja nggak dianggap bokap sendiri. Tapi pas kuliah, nggak ada ambil rapot lagi. Teman-teman gue nggak pernah ketemu nokap.” “Apa kemarin mabuk juga urusan ini? Maksud gue, berhubungan sama bokap?” Manggala mengangguk. “Gue dulu mau kuliah di Agronomi. Ya berhubung pertanian gue ngincar IPB dong. Nggak jauh juga. Tapi nggak boleh sama bokap. Boleh di IPB tapi kalau nggak Agribisnis ya Ilmu Komputer.” Dia mendengus sambil mengusap wajahnya kasar dengan kedua belah telapak tangan. “Kenapa mau Agronomi?” “Gue suka ngurus tanaman. Gue mau jadi petani. Tinggal di tengah kebun, Sendirian.” Manggala terkekeh tapi suaranya terdengar janggal. “Lagian gue nggak pede pilih jurusan-jurusan elit. Passing grade-nya tinggi.” Dia