SEAKAN baru kemarin dia menemani Manggala menggalau di pantai. Tapi ternyata sudah seminggu berlalu. Kesibukan membuat mereka tidak pernah bertemu walau hanya dipisahkan dua lantai. Kesibukan pula yang membuat Nayara tidak pernah lagi memikirkan Manggala. Tapi malam ini, saat dia terbaring sambil menatap langit-langit kamar kosnya dengan backsound dengkur halus Gia, tiba-tiba dia teringat sosok itu.
Nayara yakin, semua orang melihat Manggala sebagai sosok yang sempurna. Dikarunia fisik yang berlebih, otak yang cemerlang, dan karir yang menapak mantap. Tapi setelah kebersamaan mereka minggu lalu, Nayara yakin, Manggala juga memiliki luka. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Entah itu dirinya mau pun kehidupannya.
Nayara pun yakin luka dia dan luka Manggala berasal dari goresan yang sama. Walau mungkin beda cerita, tapi sepertinya Manggala sampai sekarang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia terluka. Atau dia tahu ada luka tapi tidak dia obati? Atau dia
DI tempat yang baru mereka tinggalkan, dua pengurus rumah tangga membenarkan pernyataan Nayara tentang pemilik mobil yang dia tabrak sekaligus menceritakan kronologis lengkap. Dari mereka membantu Lily sampai akhinya mereka tiba di rumah sakit.Perjalanan itu tidak jauh. Nayara yang masih penuh emosi tidak tahu ke mana Manggala membawanya. Dia hanya ikut saja ketika Manggala menariknya memasuki lobby, menaiki lift, meniti lorong, dan melewati sebuah pintu. Di depan sebuah sofa baru Manggala melepas cengkeramannya lalu membiarkan Nayara terpental jatuh di atas sofa ketika dia membanting tubuhnya.Manggala duduk di samping Nayara, tangannya terjulur menyentuh ujung bibir Nayara.“Lu berdarah.” Nayara mengabaikan info itu. “Tunggu sebentar. Gue cari obat. Lu nggak boleh ke mana-mana jadi gue kunciin lu di sini.”Nayara mendelik ke arah Manggala yang hanya dihadiahi kedikan bahu saja.“Kalau mau bersih-bersih, sok atuh
JAM yang berganti menjadi hari, melewati titik-titik simpangan waktu setiap manusia yang bergerak bersamaan. Begitulah dunia berubah setiap saat. Dalam putaran yang konstan yang manusia sebut sebagai waktu.Pertemuan Manggala dengan Nayara nyaris dua minggu lalu berakhir di dini hari menjelang pagi. Nayara menolak tawarannya mengantar pulang. Tapi dia berhasil menahan Nayara sampai langit mulai berwarna demi alasan keamanan. Sesekali bayangan gadis itu hadir di memorinya, yang kadang bertahan agak lama tapi lebih sering menghilang tanpa jejak. Sementara sosok Manggala di mata Nayara tidak lagi sekaku saat dia pertama melihatnya. Manggala sudah berubah menjadi manusia yang lebih humanis dengan kesigapannya membantu melepaskankan Nayara dari jerat masalah yang bisa saja terjadi ketika gadis itu semakin tidak terkontrol.Ketika dirinya sudah lebih tenang, Nayara tahu, jika kemarin Manggala tidak menyeretnya pergi, dia tentu akan membalas perlakuan Harsa dengan lebih sadis
PERJALANAN singkat mereka berakhir di sebuah gedung pencakar langit. Manggala mengarahkan Nayara menuju lift lalu mereka berakhir di sebuah restoran di rooftop. Manggala memilih meja di paling tepi dan nyaris tersudut.Menunggu pesanan datang, tak ada yang mereka kerjakan. Sumpah, kesunyian seperti ini sungguh menyebalkan. Di saat pasangan lain saling menatap mesra mereka malah diam tertunduk sambil memainkan ponsel. Mereka memang bukan pasangan, tapi berdua di tempat ini membuat mereka seperti pasangan yang akan memutuskan kata putus.Akhirnya Nayara meletakkan setengah membanting ponselnya.Jengah.“Lu tuh hobi banget nyomot orang di tengah jalan terus dicuekin ya?”“Sorry. Gue nggak mau ganggu lu.”“Kalau gitu ngapain tadi ngajak ke sinii?”“Lu terganggu ke sini?”“Gue terganggu karena dicomot di tengah jalan lalu dicuekin. Mending gue pulang aja.”
NAYARA melirik jam dinding di kamar kos. Sudah nyaris tengah malam. Tapi matanya masih nyalang menatap langit-langit bercat kusam. Melihat pendar cahaya lampu. Kesendirian membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Ke skirpsinya, ke tulisannya, ke orang-orang sekitarnya, termasuk ke Manggala.Sementara di tempat yang lain, Jaya sedang menikmati malam. Beberapa set sofa dan kursi disusun sepanjang dinding, salah satu set itu diisi Jaya. Dia asyik menikmati musik mengentak. Seorang perempuan cantik duduk sambil memegang botol Jack Daniel yang ketika gelas di tangan Jaya kosong langsung dia isi.Sebuah sosok mengganggu santainya. Sosok yang sedang menghalau kasar seorang perempuan. Dia sering melihat sosok itu di tempat seperti ini. Tapi ada bayangan lain yang mengganggu. Dia pernah melihat sosok itu di tempat lain selain di tempat hiburan malam.Di mana?Dia terus berusaha mengingat-ingat. Dan ketika ingatannya datang, dia langsung menyambar ponsel.
NAYARA tetap memapah Manggala sepanjang lorong menuju unitnya. Dia membiarkan Manggala membuka pintu dan kembali membantunya menuju sofa. Manggala langsung membanting tubuhnya sampai memantul.Nayara berkacak pinggang di depan sofa sambil memperhatikan sosok Manggala. Tapi melihat posisi jatuhnya yang tidak nyaman, Nayara bergerak memperbaiki posisi tidur Manggala.“Manggala, obat di mana?” Jika tak dibantu obat, ketika sadar dia akan tersiksa hang over. Manggala hanya bergumam sambil tangannya menepis udara, tangannya terjatuh menggantung ke lantai. “Gue cari obat dulu ya,” ujar Nayara bersiap pergi sambil memperbaiki posisi tangan Manggala.“Don’t.” Tangan lemah Manggala berhasil menahan laju Nayara.“Lu ada obat? Di mana?” Nayara langsung duduk di meja.“Don’t go anywhere.” Pegangan tangannya terlepas, membuat tangan Manggala menggantung lagi nyari
WALAU tanpa suara alam, alarm tubuhnya membangunkan Nayara pagi itu.Dia terkejut menyadari di mana dia tidur. Apalagi ketika menyadari ada panas napas di wajahnya. Posisi mereka berubah. Manggala tidak lagi tidur telentang. Dia tidur miring menghadap Nayara. Tangannya tidak lagi menggenggam tangan Nayara. Ganti tangan yang lain tergeletak di perut Nayara. Bahkan sebelah kakinya tertumpang di tungkai Nayara.Melihat selimut yang tersibak, Nayara berdesir. Nyaris seluruh tubuh Manggala terbuka. Perlahan dia bergerak melepaskan diri lalu terburu merapikan selimut Manggala. Melihat pemandangan seperti itu tidak baik untuk kesehatan jantung perawan.Tapi yang sekilas itu ternyata membekas. Tungkai Manggala terlihat memesona di matanya. Tanpa sadar Nayara menghela napas ketika sudah terlepas dari Manggala dan berhasil merapikan selimut. Ternyata sejak tadi dia menahan napas.Merasa tak perlu tambahan olahraga jantung, Nayara pindah posisi. Dia melanjutkan tidu
MENUNGGU pesanan datang, Manggala membersihkan tubuh. Air yang mengalir di seluruh permukaan kulit membuat tubuhnya terasa segar. Terasa lebih hidup. Dengan tubuh bersih yang menguarkan aroma kayu-kayuan dia merasa lebih percaya diri berada di dekat Nayara. DIa juga memastikan mulutnya tidak mengeluarkan bau bangkai ketika berbicara. Dia memilih t-shirt dan celana pendek selutut.Setelah mematut diri sejenak di cermin, setelah merasa dirinya cukup pantas menemui Nayara, dia keluar menjumpai gadis yang sedang duduk santai di sofa sambil berselancar di dunia maya dengan ponsel. Melihat Manggala keluar dengan penampilan yang terlihat sangat segar, tidak menyisakan jejak-jejak hang over sama sekali, Nayara tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Ini pengalaman pertama mengurus orang mabuk sendirian. Dan melihat tungkai Manggala tidak tertutup sempurna, mendadak pemandangan dini hati tadi membuatnya tersipu. Untunglah Manggala tidak menyadari itu.Pesanan da
SUARA ketukan di pintu mengganggu konsentrasi Nayara. Konsentrasi yang setengah mati dia kumpulkan sejak kepulangannya ke kamar ini. Skripsinya harus segera selesai. Pekerjaannya bertumpuk. Jika tertunda, maka dia harus hidup lebih hemat lagi. Jika itu terjadi, maka lupakan bersenang-senang di club, dia tidak mungkin selalu mengandalkan traktiran teman-temannya.Mendengus kesal, dia melirik jam. Siapa pula bertamu nyaris jam sepuluh malam? Sebentar lagi pagar terkunci. Sambil mengentakkan kaki kesal, dia berjalan lalu membuka pintu dan melongokkan kepala.Sosok yang berdiri membelakanginya tak langsung dia kenali. Lebih tepatnya tak percaya.“Hai.” Mendengar suara ceklik pintu, Manggala berbalik.“Eh, ada apa?” Hanya itu pertanyaan yang melintas di kepalanya.“May I come in?”Masih terpaku semi tak sadar, Nayara membuka pintu lebih lebar, membiarkan Manggala masuk lalu menelisik sekilas,