MAHASISWA fakir tapi berkuliah di universitas mahal seperti Nayara tentu mengisi waktu luang dengan mengumpulkan keping rupiah. Termasuk akhir pekan. Tak ada waktu berkencan. Dulu begitu, apalagi sekarang. Akhir pekan adalah pesta. Pesta adalah jamuan berlimpah. Dan jamuan berlimpah butuh tenaga pelayan. Untuk itulah Nayara ada di sebuah pesta. Melayani. Termasuk membersihkan lantai, mengumpulkan piring kotor. Pekerjaan ini dia dapatkan dari Mak Tita. Hasilnya tak sebanding dengan lelah dan nominal SPP yang berusaha dia kumpulkan. Tapi Nayara tidak peduli. Yang penting tenaganya keluar dan menghasilkan uang.
Seperti malam minggu ini.
Malam ini dia bertugas di ballroom sebuah hotel bintang lima. Sambil bekerja, sesekali bayangan bahwa dulu dia ada di barisan para tamu yang sedang berpesta dan dilayani. Sekarang dia bekerja melayani mereka. Tapi kebebasan memang mahal. Apalagi kebahagiaan. Untuk mendapatkan dua hal itu Nayara merasa sudah membayar dengan harga y
SESUAI janjinya—memberikan laporan berkala pada Manggala—Nayara membuat janji temu dengan Manggala melalui sekertarisnya. Kali ini waktu yang diberikan lepas makan siang. Membuat Nayara bisa lebih santai. Dia sejak pagi ada di Papyrus. Dia tak tahu Manggala ada di dalam atau di mana. Dia hanya duduk di sofa menunggu dipanggil.Lift terbuka dan membawa keluar Manggala yang langsung melihat Nayara yang sedang memainkan ponsel.“Miss Nayara,” panggilnya.“Ya?” Nayara segera mendongak.“Ayo.”Nayara sigap berdiri dan mengekor di belakang Manggala.“Di sana aja. Meja gue berantakan.” Manggala menunjuk sofa. Nayara tentu menuruti saja walau dalam hati bersorak dengan pilihan penggunaaan kata ganti orang pertama tunggalnya. Semoga ini pertanda Manggala lebih jinak.Nayara duduk dan mengeluarkan draft skirpsi sementara Manggala mengerjakan entah apa di meja kerjanya.“Ka
NAYARA kembali ke kubikelnya. Berusaha berkonsentrasi dengan naskah yang harus dia edit. Bahkan demi mengejar deadline, denting-denting notifikasi di ponsel dia abaikan. Sampai merasa jenuh, dia bersandar dan menyambar ponsel. Sebuah pesan dari nomor tak terdaftar di phonebook berada di tengah list. Sepotong pesan yang terbaca membuatnya bergegas membuka chat itu.+62 811-xxxx-xxx : Nanti malam di Mak, would you? [M]Hanya itu isi chat-nya. Tentu dia langsung tahu itu siapa. Dia langsung mendengus dan membalas singkat.Ph Nay : OksSebenarnya Nayara malas ke sana. Gia sedang pulang ke rumahnya. Bukan karena akan sendirian di sana, tapi banyak yang mau dia kerjakan di kamar kos. Tapi baiklah, pun Manggala bukan fo
“MANGGALA…” panggil Nayara tapi matanya tetap menatap lurus ke depan. “Lu mau gue pergi apa stay?” Suaranya pelan dan lembut.Manggala masih diam.Meski lugas dalam bisnisnya dan tetap bisa akrab dengan teman-temannya tapi Manggala adalah pribadi yang tertutup. Dia hanya mengizinkan orang-orang di sekitarnya untuk melihat kulit luarnya saja. Manggala, pengusaha muda yang mulai menanjak. Tertutup sejak kecil membuatnya terbiasa sendiri. Menguliti dirinya sendiri untuk melihat dirinya sendiri. Lalu sakit sendiri.“Maaf kalau omongan gue tadi salah. Apalagi sampai nyakitin lu. Gue nggak maksud begitu,” lanjut Nayara lagi.“Lu nggak salah. Gue yang salah,” balas Manggala cepat. Nayara langsung menoleh ke arah Manggala. “Kalau lu mau pulang, gue antar.”“Gue tanya, lu mau gue pergi? Bukan artinya gue mau pergi.” Nayara menjelaskanManggala diam. Bukan tidak ma
SEAKAN baru kemarin dia menemani Manggala menggalau di pantai. Tapi ternyata sudah seminggu berlalu. Kesibukan membuat mereka tidak pernah bertemu walau hanya dipisahkan dua lantai. Kesibukan pula yang membuat Nayara tidak pernah lagi memikirkan Manggala. Tapi malam ini, saat dia terbaring sambil menatap langit-langit kamar kosnya dengan backsound dengkur halus Gia, tiba-tiba dia teringat sosok itu. Nayara yakin, semua orang melihat Manggala sebagai sosok yang sempurna. Dikarunia fisik yang berlebih, otak yang cemerlang, dan karir yang menapak mantap. Tapi setelah kebersamaan mereka minggu lalu, Nayara yakin, Manggala juga memiliki luka. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Entah itu dirinya mau pun kehidupannya. Nayara pun yakin luka dia dan luka Manggala berasal dari goresan yang sama. Walau mungkin beda cerita, tapi sepertinya Manggala sampai sekarang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia terluka. Atau dia tahu ada luka tapi tidak dia obati? Atau dia
DI tempat yang baru mereka tinggalkan, dua pengurus rumah tangga membenarkan pernyataan Nayara tentang pemilik mobil yang dia tabrak sekaligus menceritakan kronologis lengkap. Dari mereka membantu Lily sampai akhinya mereka tiba di rumah sakit.Perjalanan itu tidak jauh. Nayara yang masih penuh emosi tidak tahu ke mana Manggala membawanya. Dia hanya ikut saja ketika Manggala menariknya memasuki lobby, menaiki lift, meniti lorong, dan melewati sebuah pintu. Di depan sebuah sofa baru Manggala melepas cengkeramannya lalu membiarkan Nayara terpental jatuh di atas sofa ketika dia membanting tubuhnya.Manggala duduk di samping Nayara, tangannya terjulur menyentuh ujung bibir Nayara.“Lu berdarah.” Nayara mengabaikan info itu. “Tunggu sebentar. Gue cari obat. Lu nggak boleh ke mana-mana jadi gue kunciin lu di sini.”Nayara mendelik ke arah Manggala yang hanya dihadiahi kedikan bahu saja.“Kalau mau bersih-bersih, sok atuh
JAM yang berganti menjadi hari, melewati titik-titik simpangan waktu setiap manusia yang bergerak bersamaan. Begitulah dunia berubah setiap saat. Dalam putaran yang konstan yang manusia sebut sebagai waktu.Pertemuan Manggala dengan Nayara nyaris dua minggu lalu berakhir di dini hari menjelang pagi. Nayara menolak tawarannya mengantar pulang. Tapi dia berhasil menahan Nayara sampai langit mulai berwarna demi alasan keamanan. Sesekali bayangan gadis itu hadir di memorinya, yang kadang bertahan agak lama tapi lebih sering menghilang tanpa jejak. Sementara sosok Manggala di mata Nayara tidak lagi sekaku saat dia pertama melihatnya. Manggala sudah berubah menjadi manusia yang lebih humanis dengan kesigapannya membantu melepaskankan Nayara dari jerat masalah yang bisa saja terjadi ketika gadis itu semakin tidak terkontrol.Ketika dirinya sudah lebih tenang, Nayara tahu, jika kemarin Manggala tidak menyeretnya pergi, dia tentu akan membalas perlakuan Harsa dengan lebih sadis
PERJALANAN singkat mereka berakhir di sebuah gedung pencakar langit. Manggala mengarahkan Nayara menuju lift lalu mereka berakhir di sebuah restoran di rooftop. Manggala memilih meja di paling tepi dan nyaris tersudut.Menunggu pesanan datang, tak ada yang mereka kerjakan. Sumpah, kesunyian seperti ini sungguh menyebalkan. Di saat pasangan lain saling menatap mesra mereka malah diam tertunduk sambil memainkan ponsel. Mereka memang bukan pasangan, tapi berdua di tempat ini membuat mereka seperti pasangan yang akan memutuskan kata putus.Akhirnya Nayara meletakkan setengah membanting ponselnya.Jengah.“Lu tuh hobi banget nyomot orang di tengah jalan terus dicuekin ya?”“Sorry. Gue nggak mau ganggu lu.”“Kalau gitu ngapain tadi ngajak ke sinii?”“Lu terganggu ke sini?”“Gue terganggu karena dicomot di tengah jalan lalu dicuekin. Mending gue pulang aja.”
NAYARA melirik jam dinding di kamar kos. Sudah nyaris tengah malam. Tapi matanya masih nyalang menatap langit-langit bercat kusam. Melihat pendar cahaya lampu. Kesendirian membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Ke skirpsinya, ke tulisannya, ke orang-orang sekitarnya, termasuk ke Manggala.Sementara di tempat yang lain, Jaya sedang menikmati malam. Beberapa set sofa dan kursi disusun sepanjang dinding, salah satu set itu diisi Jaya. Dia asyik menikmati musik mengentak. Seorang perempuan cantik duduk sambil memegang botol Jack Daniel yang ketika gelas di tangan Jaya kosong langsung dia isi.Sebuah sosok mengganggu santainya. Sosok yang sedang menghalau kasar seorang perempuan. Dia sering melihat sosok itu di tempat seperti ini. Tapi ada bayangan lain yang mengganggu. Dia pernah melihat sosok itu di tempat lain selain di tempat hiburan malam.Di mana?Dia terus berusaha mengingat-ingat. Dan ketika ingatannya datang, dia langsung menyambar ponsel.
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,