NAYARA duduk diam di sisi penumpang dengan Jaya sebagai supir. Mereka hanya diam karena untuk apa lagi bercakap? Apa yang akan mereka bincangkan? Mereka berdua terpaksa berada di kendaraan yang sama dan menuju tempat yang sama. Pernikahan Disty. Pun mereka tidak setuju dan Jaya tidak mau menjadi walinya, bocah itu tetap akan menikah. Biarlah kedatangan mereka ke acara adiknya sebagai tanda meeka menyetujui rencana hidupnya. Anggap saja balasan atas keabaian mereka kemarin.
Sesampainya di sana Nayara melanjutkan diamnya. Tak ada yang dia kenal sama sekali. Memang Disty hanya mengundang sedikit tamu. Acara resepsi di sebuah restoran yang jumlah undangannya sesuai jumlah kursi yang mengelilingi meja-meja bulat berkursi enam. Nayara ingin duduk di meja sudut tapi Disty menempatkan kakak-kakaknya di mejanya, meja utama. Jadilah sekarang Nayara duduk di antara Disty dan Jaya sambil berusaha memasang senyum manis dan anggun. Konsekunesi dari senyum yang terpaksa dipasang adalah kram
SEPERTINYA sudah sangat lama Nayara meninggalkan dunia gemerlapnya. Dia tidak mau lagi mengeluarkan uangnya untuk dunia itu. Tapi jika ada temannya yang mentraktir, sesekali dia masih mau pergi. Jika ada ajakan dan ada waktu luang, dia tidak mau membuang kesempatan menghibur diri.Seperti malam ini. Saat dia sedang suntuk dengan semua tugas kantor dan kampus, pesan masuk di grup Whatsapp-nya mengajak dia bergabung di dunia gemerlap. Kali ini, walaupun harus membayar sendiri, dia akan pergi. Kepalanya sudah penuh, tubuhnya penat. Dia benar-benar butuh hiburan.***Lagi-lagi dia disambut dengan kehangatan ala dunia malam. Pelukan rindu dan sebuah bibir gelas berisi minuman beralkohol langsung ada di depan bibirnya. Dia terkekeh mengetahui isi gelas itu. Dia mengambil dari tangan temannya lalu mereka bersulang. Isi gelas mulai berpindah ke lambungnya.“Gitu dong. Tau selera teman.”Kali ini beberapa teman lelaki
“GEE, jalan yuk.”“Ogah, capek.”“Ayo ah.” Nayara menarik tangan Gia. “Temenin jenguk pembimbing gue. Pulangnya kita ke Blok S.”“Traktir ye.”“Iye.” Nayara tertawa ketika melihat Gia langsung berdiri. Iya, sereceh itu menyogok Gia.Pernikahan adiknya sudah lama berlalu. Dia sudah melupakan pikiran-pikiran anehnya. Sebenarnya belum terlalu lama. Hanya minggu lalu. Tapi terasa sudah begitu lama karena memang dia tidak memikirkan lagi soal pernikahan dan pernak pernik ceritanya. Walau berat, dia menerima ucapan Gia sebagai sebuah kebenaran.“Banyak duit nih kayaknya,” ujar Gia ketika menemani Nayara berbelanja buah tangan yang memang berupa buah.“Sebagai mantan anak horang kayah, teman-teman gue juga pada tajir. Risikonya ya begini. Bagus sekarang gue beli di kaki lima, dulu mah ya beli aja di rumkit. Emejing harganya.&rdqu
MAHASISWA fakir tapi berkuliah di universitas mahal seperti Nayara tentu mengisi waktu luang dengan mengumpulkan keping rupiah. Termasuk akhir pekan. Tak ada waktu berkencan. Dulu begitu, apalagi sekarang. Akhir pekan adalah pesta. Pesta adalah jamuan berlimpah. Dan jamuan berlimpah butuh tenaga pelayan. Untuk itulah Nayara ada di sebuah pesta. Melayani. Termasuk membersihkan lantai, mengumpulkan piring kotor. Pekerjaan ini dia dapatkan dari Mak Tita. Hasilnya tak sebanding dengan lelah dan nominal SPP yang berusaha dia kumpulkan. Tapi Nayara tidak peduli. Yang penting tenaganya keluar dan menghasilkan uang.Seperti malam minggu ini.Malam ini dia bertugas di ballroom sebuah hotel bintang lima. Sambil bekerja, sesekali bayangan bahwa dulu dia ada di barisan para tamu yang sedang berpesta dan dilayani. Sekarang dia bekerja melayani mereka. Tapi kebebasan memang mahal. Apalagi kebahagiaan. Untuk mendapatkan dua hal itu Nayara merasa sudah membayar dengan harga y
SESUAI janjinya—memberikan laporan berkala pada Manggala—Nayara membuat janji temu dengan Manggala melalui sekertarisnya. Kali ini waktu yang diberikan lepas makan siang. Membuat Nayara bisa lebih santai. Dia sejak pagi ada di Papyrus. Dia tak tahu Manggala ada di dalam atau di mana. Dia hanya duduk di sofa menunggu dipanggil.Lift terbuka dan membawa keluar Manggala yang langsung melihat Nayara yang sedang memainkan ponsel.“Miss Nayara,” panggilnya.“Ya?” Nayara segera mendongak.“Ayo.”Nayara sigap berdiri dan mengekor di belakang Manggala.“Di sana aja. Meja gue berantakan.” Manggala menunjuk sofa. Nayara tentu menuruti saja walau dalam hati bersorak dengan pilihan penggunaaan kata ganti orang pertama tunggalnya. Semoga ini pertanda Manggala lebih jinak.Nayara duduk dan mengeluarkan draft skirpsi sementara Manggala mengerjakan entah apa di meja kerjanya.“Ka
NAYARA kembali ke kubikelnya. Berusaha berkonsentrasi dengan naskah yang harus dia edit. Bahkan demi mengejar deadline, denting-denting notifikasi di ponsel dia abaikan. Sampai merasa jenuh, dia bersandar dan menyambar ponsel. Sebuah pesan dari nomor tak terdaftar di phonebook berada di tengah list. Sepotong pesan yang terbaca membuatnya bergegas membuka chat itu.+62 811-xxxx-xxx : Nanti malam di Mak, would you? [M]Hanya itu isi chat-nya. Tentu dia langsung tahu itu siapa. Dia langsung mendengus dan membalas singkat.Ph Nay : OksSebenarnya Nayara malas ke sana. Gia sedang pulang ke rumahnya. Bukan karena akan sendirian di sana, tapi banyak yang mau dia kerjakan di kamar kos. Tapi baiklah, pun Manggala bukan fo
“MANGGALA…” panggil Nayara tapi matanya tetap menatap lurus ke depan. “Lu mau gue pergi apa stay?” Suaranya pelan dan lembut.Manggala masih diam.Meski lugas dalam bisnisnya dan tetap bisa akrab dengan teman-temannya tapi Manggala adalah pribadi yang tertutup. Dia hanya mengizinkan orang-orang di sekitarnya untuk melihat kulit luarnya saja. Manggala, pengusaha muda yang mulai menanjak. Tertutup sejak kecil membuatnya terbiasa sendiri. Menguliti dirinya sendiri untuk melihat dirinya sendiri. Lalu sakit sendiri.“Maaf kalau omongan gue tadi salah. Apalagi sampai nyakitin lu. Gue nggak maksud begitu,” lanjut Nayara lagi.“Lu nggak salah. Gue yang salah,” balas Manggala cepat. Nayara langsung menoleh ke arah Manggala. “Kalau lu mau pulang, gue antar.”“Gue tanya, lu mau gue pergi? Bukan artinya gue mau pergi.” Nayara menjelaskanManggala diam. Bukan tidak ma
SEAKAN baru kemarin dia menemani Manggala menggalau di pantai. Tapi ternyata sudah seminggu berlalu. Kesibukan membuat mereka tidak pernah bertemu walau hanya dipisahkan dua lantai. Kesibukan pula yang membuat Nayara tidak pernah lagi memikirkan Manggala. Tapi malam ini, saat dia terbaring sambil menatap langit-langit kamar kosnya dengan backsound dengkur halus Gia, tiba-tiba dia teringat sosok itu. Nayara yakin, semua orang melihat Manggala sebagai sosok yang sempurna. Dikarunia fisik yang berlebih, otak yang cemerlang, dan karir yang menapak mantap. Tapi setelah kebersamaan mereka minggu lalu, Nayara yakin, Manggala juga memiliki luka. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Entah itu dirinya mau pun kehidupannya. Nayara pun yakin luka dia dan luka Manggala berasal dari goresan yang sama. Walau mungkin beda cerita, tapi sepertinya Manggala sampai sekarang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia terluka. Atau dia tahu ada luka tapi tidak dia obati? Atau dia
DI tempat yang baru mereka tinggalkan, dua pengurus rumah tangga membenarkan pernyataan Nayara tentang pemilik mobil yang dia tabrak sekaligus menceritakan kronologis lengkap. Dari mereka membantu Lily sampai akhinya mereka tiba di rumah sakit.Perjalanan itu tidak jauh. Nayara yang masih penuh emosi tidak tahu ke mana Manggala membawanya. Dia hanya ikut saja ketika Manggala menariknya memasuki lobby, menaiki lift, meniti lorong, dan melewati sebuah pintu. Di depan sebuah sofa baru Manggala melepas cengkeramannya lalu membiarkan Nayara terpental jatuh di atas sofa ketika dia membanting tubuhnya.Manggala duduk di samping Nayara, tangannya terjulur menyentuh ujung bibir Nayara.“Lu berdarah.” Nayara mengabaikan info itu. “Tunggu sebentar. Gue cari obat. Lu nggak boleh ke mana-mana jadi gue kunciin lu di sini.”Nayara mendelik ke arah Manggala yang hanya dihadiahi kedikan bahu saja.“Kalau mau bersih-bersih, sok atuh