SETELAH berbalas email beberapa kali akhirnya Nayara berhasil bersepakat dengan Lydia urusan janji temu dengan Manggala. Dan di sanalah Nayara sekarang. Duduk santai di sofa menunggu Manggala datang. Kedatangannya yang lima belas menit lebih awal disambut senyum ramah Lydia. Proposal sudah dia serahkan sejak awal. Tapi dia tetap membawa hard copy proposal juga. Lima menit menuju jam 9, Manggala datang. Nayara berdiri menyambutnya dan menganggukkan sedikit kepalanya. Lalu ketika Manggala masuk ke ruangannya, dia kembali duduk. Menunggu diizinkan masuk. Kali ini penampilan Nayara tidak sekacau sebelumnya. Meski style-nya masih sama tapi Nayara jelas terlihat lebih rapi. Tidak ada tragedi berlari dari halte yang membuatnya mandi keringat, terengah, dan kejadian-kejadian lain termasuk mengiba. Intinya, pagi ini semua aman terkendali. Sambil menunggu dipanggil, Nayara membaca kembali proposalnya. Berusaha menebak-nebak apa yang kira-kira akan dit
NAYARA butuh ide untuk skripsinya. Juga untuk novelnya. Tapi jengah membuatnya buntu otak. Sehingga dia berakhir di Rumah Makan Tante Tita. Melalui pesan WA Nayara mengajak Gia ke sana. Tapi ajakannya baru bisa dipenuhi ketika Gia sudah pulang kerja. Di sana Nayara menghabiskan energi dan kesalnya dengan menggosok meja. Bahkan ketika Mak Tita meledeknya untuk menggosok kamar mandi Nayara mengiyakan saja. Dia sudah ahli menggosok kamar mandi berkat didikan Gia dan latihan setahun lebih di kos. Dia merapikan nyaris semua hal di sana. Mak Tita membiarkan saja Nayara begitu. Malah menyemangatinya. Lepas maghrib, Nayara mulai kehabisan tenaga, tapi pengunjung justru semakin ramai. Lalu bala bantuan datang. Gia langsung bergabung dengan kesibukan kedai. Nyaris jam sembilan tapi pengunjung belum juga putus. Nayara dan Gia sudah menyerah sejak jam delapan. Mereka berakhir di meja kasir, menemani Mak Tita menerima pembayaran. “Sudah puas?” tanya Mak Tita yang jelas di
MAK Tita bangun dari kursi lalu menuju dapur. Menyendok nasi dan beberapa jenis lauk dan sayur di piring-piring terpisah. Sudah malam. Lauk yang tersisa pun sudah sangat terbatas. Lalu dia menyusun semuanya di nampan lebar. “Antar ke atas nih, Gee,” suruh Mak Tita sambil meletakkan sebotol air mineral di nampan. Gia bergerak gesit dan mengambil nampan dengan wajah cerah. “Wah, langganan spesial, Mak?” sahut Nayara. “Diantar ke atas loh.” “Soalnya dia nggak milih makan apa. Dikasih apa juga dia makan.” Tak lama Gia datang. “Ganteng sih, tapi sombong,” lapor Gia menyampaikan kesannya sambil mencebik. “Kalau orang ganteng namanyacool. Kalau jelek namanya sombong. Gimana sih lu. Nggak ngerti-ngerti aja perbedaan orang ganteng dan orang jelek,” sahut Nayara. “Dia memang begitu. Nggak banyak omong. Selalu ke sini sendiri. Katanya sih dia suka makan di sini karena menu makanan rumahan banget.” Mak Tita melirik jam, lalu
BAGI Manggala, malam itu sama seperti malam yang lain. Berusaha untuk bisa tertidur dengan berbagai cara. Lampu di kamarnya sangat temaram. Musik yang begitu lembut terdengar dari sound system. Asbaknya sudah penuh puntung rokok membuat harum aroma terapi terasa sangat sia-sia. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari tapi matanya tetap terbuka tanpa kantuk sedikit pun.Merasa sia-sia berusaha, putus asa, Manggala menyambar strip obat di nakas. Mengambil isinya sat u butir lalu menenggaknya malas. Lalu dia kembali memperbaiki posisi tidurnya. Menutup rapat-rapat selimut bahkan sampai menutupi seluruh kepala. Usahanya yang terakhir adalah memejamkan mata dan menghitung satu sampai seterusnya. Walau hitungannya sering terganggu kalimat dan wajah yang menyebutkan kalimat itu, dengan usaha keras, akhirnya Manggala bisa tertidur.***Bagi Manggala, pagi itu sama seperti pagi yang lain. Bangun tanpa rasa segar, menggeliatkan tubu
SEPENINGGALAN Nayara, kepala Manggala masih berdenyut. Mungkin sakit kepala yang membuat dia lebih gampang mengiyakan proposal itu. Biar urusan cepat selesai.Sebenarnya dia tidak akan rugi jika mengiyakan saja Nayara membahas apa pun di skirpsinya. Tapi ini adalah asas manfaat. Dia mau data yang dia keluarkan tidak sia-sia. Data yang keluar harus berguna bagi Papyrus.Memang kenapa harus berguna?Agar Sastra MediaNesia semakin besar.Kenapa harus membesarkan SasMen?Hanya sesingkat itu monolog Manggala. Berakhir dengan dia memejamkan mata rapat. Kepalanya semakin berdenyut. Ada yang mengganjal untuk urusan membersarkan SasMed. Dia sangat ingin perusahaannya membesar. Semua upaya dia
BUTUH dua hari untuk mereka menunggu Disty memenuhi janjinya. Sore itu dia meminta mereka menemuinya di sebuah rumah makan. Ketika mereka sampai dia sudah duduk sendirian di sebuah gazebo. Meja makan penuh makanan, dia bahkan sudah memesankan minuman fave kakak-kakaknya. Melihatnya baik-baik saja, Nayara merasa lega. Sungguh, Nayara mengerti jika dia mengambil jalan seperti jalannya. Tapi tidak sekarang. Dia masih di bawah umur. “Makan dulu aja, Kak, Bang.” Nayara memastikan kata hatinya, melihat Disty baik-baik saja, dia merasa lega. Tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Berusaha mengabaikan kelakuan adiknya, dan melihat makanan lezat, Nayara sedikit banyak terpengaruh dan mulai makan. Jaya pun demikian. Tapi entah kenapa, Nayara merasa ada yang terasa kurang tepat. Perasaannya tak enak. Terasa ada hal lain yang akan mengganggunya. Akibatnya, makanan lezat itu hanya dia nikmati alakadarnya saja. Ketika dia sudah berusaha santai, duduk bersandar di dinding ka
MEREKA—Disty dan lelakinya—berpamit ala kadarnya. Tak ada salam, tak ada pelukan. Hanya mengabarkan mereka akan pergi meninggalkan mereka berdua yang masih sibuk mencerna semua ini. Hari benar-benar sudah menjadi malam ketika Nayara merasa lelah berdiam diri saja bersama Jaya. Dia mengajak Jaya pulang. Mereka melangkah gontai meninggalkan gazebo. Ketika tidak ada yang menghentikan mereka, Nayara yakin semua kerusakan sudah diselesaikan dengan rupiah oleh Disty. “Lu mau nikahin mereka?” Di depan mobil Jaya, Nayara akhirnya bisa bertanya. Jaya tak jadi membuka pintu mobil. Dia hanya berdiri mematung menghadap Nayara yang melihat ke arahnya. Mereka dipisahkan mobil. Lalu Jaya berbalik membelakanginya. Tak lama Jaya menendang angin. Tak ingin ada kerusakan yang lain, Nayara bergegas ke arahnya. Mereka dipinggir jalan. Jika dia mengamuk dan tak sadar posisi, bisa saja dia menggelinding ke jalan raya. Lalu tergilas. Apa itu lebih baik?
MANGGALA sudah memasuki jalan kampung dan Nayara belum terbangun. Jalanan yang sempit, mendaki, dan berbatu memang tidak terasa di mobil ini. Tapi selelap itukah tidurnya? pikir Manggala lagi.Kembali dia melirik ke samping. Mungkin kali ini sedikit lama sampai dia tak sempat melihat jalan. Dan tiba-tiba dia tersentak menghantam sebuah gundukan.Sentakan itu berhasil membuat Nayara menggeliat. Manggala kembali berkonsentrasi pada jalan di depannya. Sebentar lagi mereka sampai di tujuan.Manggala melirik ke samping dan melihat Nayara sudah bangun. Nayara sedikit tersentak melihat kondisi sekitar, dia menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat situasi. Tapi untuk ukuran orang yang baru bangun tidur dan bersama orang asing, dia tidak terlalu terkejut apalagi ketakutan.Hhmm…Gadis yang berani, pikir Manggala.“Kita di mana ini, Pak?” tanya Nayara sambil kepalanya menoleh ke segala arah.“Seb
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,