MAK Tita bangun dari kursi lalu menuju dapur. Menyendok nasi dan beberapa jenis lauk dan sayur di piring-piring terpisah. Sudah malam. Lauk yang tersisa pun sudah sangat terbatas. Lalu dia menyusun semuanya di nampan lebar.
“Antar ke atas nih, Gee,” suruh Mak Tita sambil meletakkan sebotol air mineral di nampan. Gia bergerak gesit dan mengambil nampan dengan wajah cerah.
“Wah, langganan spesial, Mak?” sahut Nayara. “Diantar ke atas loh.”
“Soalnya dia nggak milih makan apa. Dikasih apa juga dia makan.”
Tak lama Gia datang.
“Ganteng sih, tapi sombong,” lapor Gia menyampaikan kesannya sambil mencebik.
“Kalau orang ganteng namanya cool. Kalau jelek namanya sombong. Gimana sih lu. Nggak ngerti-ngerti aja perbedaan orang ganteng dan orang jelek,” sahut Nayara.
“Dia memang begitu. Nggak banyak omong. Selalu ke sini sendiri. Katanya sih dia suka makan di sini karena menu makanan rumahan banget.” Mak Tita melirik jam, lalu
BAGI Manggala, malam itu sama seperti malam yang lain. Berusaha untuk bisa tertidur dengan berbagai cara. Lampu di kamarnya sangat temaram. Musik yang begitu lembut terdengar dari sound system. Asbaknya sudah penuh puntung rokok membuat harum aroma terapi terasa sangat sia-sia. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari tapi matanya tetap terbuka tanpa kantuk sedikit pun.Merasa sia-sia berusaha, putus asa, Manggala menyambar strip obat di nakas. Mengambil isinya sat u butir lalu menenggaknya malas. Lalu dia kembali memperbaiki posisi tidurnya. Menutup rapat-rapat selimut bahkan sampai menutupi seluruh kepala. Usahanya yang terakhir adalah memejamkan mata dan menghitung satu sampai seterusnya. Walau hitungannya sering terganggu kalimat dan wajah yang menyebutkan kalimat itu, dengan usaha keras, akhirnya Manggala bisa tertidur.***Bagi Manggala, pagi itu sama seperti pagi yang lain. Bangun tanpa rasa segar, menggeliatkan tubu
SEPENINGGALAN Nayara, kepala Manggala masih berdenyut. Mungkin sakit kepala yang membuat dia lebih gampang mengiyakan proposal itu. Biar urusan cepat selesai.Sebenarnya dia tidak akan rugi jika mengiyakan saja Nayara membahas apa pun di skirpsinya. Tapi ini adalah asas manfaat. Dia mau data yang dia keluarkan tidak sia-sia. Data yang keluar harus berguna bagi Papyrus.Memang kenapa harus berguna?Agar Sastra MediaNesia semakin besar.Kenapa harus membesarkan SasMen?Hanya sesingkat itu monolog Manggala. Berakhir dengan dia memejamkan mata rapat. Kepalanya semakin berdenyut. Ada yang mengganjal untuk urusan membersarkan SasMed. Dia sangat ingin perusahaannya membesar. Semua upaya dia
BUTUH dua hari untuk mereka menunggu Disty memenuhi janjinya. Sore itu dia meminta mereka menemuinya di sebuah rumah makan. Ketika mereka sampai dia sudah duduk sendirian di sebuah gazebo. Meja makan penuh makanan, dia bahkan sudah memesankan minuman fave kakak-kakaknya. Melihatnya baik-baik saja, Nayara merasa lega. Sungguh, Nayara mengerti jika dia mengambil jalan seperti jalannya. Tapi tidak sekarang. Dia masih di bawah umur. “Makan dulu aja, Kak, Bang.” Nayara memastikan kata hatinya, melihat Disty baik-baik saja, dia merasa lega. Tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Berusaha mengabaikan kelakuan adiknya, dan melihat makanan lezat, Nayara sedikit banyak terpengaruh dan mulai makan. Jaya pun demikian. Tapi entah kenapa, Nayara merasa ada yang terasa kurang tepat. Perasaannya tak enak. Terasa ada hal lain yang akan mengganggunya. Akibatnya, makanan lezat itu hanya dia nikmati alakadarnya saja. Ketika dia sudah berusaha santai, duduk bersandar di dinding ka
MEREKA—Disty dan lelakinya—berpamit ala kadarnya. Tak ada salam, tak ada pelukan. Hanya mengabarkan mereka akan pergi meninggalkan mereka berdua yang masih sibuk mencerna semua ini. Hari benar-benar sudah menjadi malam ketika Nayara merasa lelah berdiam diri saja bersama Jaya. Dia mengajak Jaya pulang. Mereka melangkah gontai meninggalkan gazebo. Ketika tidak ada yang menghentikan mereka, Nayara yakin semua kerusakan sudah diselesaikan dengan rupiah oleh Disty. “Lu mau nikahin mereka?” Di depan mobil Jaya, Nayara akhirnya bisa bertanya. Jaya tak jadi membuka pintu mobil. Dia hanya berdiri mematung menghadap Nayara yang melihat ke arahnya. Mereka dipisahkan mobil. Lalu Jaya berbalik membelakanginya. Tak lama Jaya menendang angin. Tak ingin ada kerusakan yang lain, Nayara bergegas ke arahnya. Mereka dipinggir jalan. Jika dia mengamuk dan tak sadar posisi, bisa saja dia menggelinding ke jalan raya. Lalu tergilas. Apa itu lebih baik?
MANGGALA sudah memasuki jalan kampung dan Nayara belum terbangun. Jalanan yang sempit, mendaki, dan berbatu memang tidak terasa di mobil ini. Tapi selelap itukah tidurnya? pikir Manggala lagi.Kembali dia melirik ke samping. Mungkin kali ini sedikit lama sampai dia tak sempat melihat jalan. Dan tiba-tiba dia tersentak menghantam sebuah gundukan.Sentakan itu berhasil membuat Nayara menggeliat. Manggala kembali berkonsentrasi pada jalan di depannya. Sebentar lagi mereka sampai di tujuan.Manggala melirik ke samping dan melihat Nayara sudah bangun. Nayara sedikit tersentak melihat kondisi sekitar, dia menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat situasi. Tapi untuk ukuran orang yang baru bangun tidur dan bersama orang asing, dia tidak terlalu terkejut apalagi ketakutan.Hhmm…Gadis yang berani, pikir Manggala.“Kita di mana ini, Pak?” tanya Nayara sambil kepalanya menoleh ke segala arah.“Seb
MALAM semakin larut. Udara semakin dingin. Nayara semakin mengeratkan duduknya. Dia hanya memakai apa yang sejak tadi dia pakai. Yang jika tadi dia gunakan sebagai handuk berarti bajunya pun agak basah. Tapi dia tidak mengeluh sama sekali. Dia terus mengetik, hanya sesekali berhenti, entah untuk berpikir atau untuk menggosok kedua tangannya. Atau untuk keduanya sekalian.Malam semakin larut lagi, Nayara terus asyik dengan laptopnya. Tak peduli suara TV yang menyala, apalagi pada orang yang duduk di depan TV tapi tidak menonton. Manggala melirik jam di dinding, sudah nyaris pukul dua dan tamunya terlihat masih sangat segar. Tapi tak heran, dia tidur sepanjang perjalanan. Sementara Manggala nyaris 48 jam tidak tidur.Sampai akhirnya Manggala memutuskan ke kamar, entah untuk apa. Dia melirik Nayara yang abai dengan semua gerakannya. Tanpa perlu berpamit, Manggala meninggalkan Nayara. Mungkin dia bukan tuan rumah yang ramah. Tapi dia memang bukan manusia yang ramah. Mangga
MANGGALA belum tidur sama sekali ketika menyadari malam tergelap sudah terlewati. Sebentar lagi fajar. Dia memang biasa tak tidur sepanjang malam. Rasa badan yang tak keruan tak jelas sudah biasa dia rasakan. Menggeliat, dia berusaha meregangkan otot-otot yang kaku. Saat itulah dia teringat tamunya.Sedang apa dia sekarang? ujarnya dalam hati sambil bergerak dan duduk di tepi ranjang. Dia hanya menyambar yukata[1] yang tersampir di ujung ranjang lalu perlahan membuka pintu.Gadis itu sudah tidak ada di sofa tempatnya terakhir terlihat.Secarik kertas terlihat mencolok di meja. Dia ambil lalu dia baca.Pak, terima kasih tumpangannya. Tumpangan mobil dan rumah. Sudah fajar, saya pamit. Maaf merepotkan dan mengganggu. -Nayara-Ah, dia benar-benar pergi ketika fajar sudah datang meski dunia masih sangat gelap. Berarti dia baru saja pergi, pikirnya lagi. Mangg
AKHIRNYA pergelangan kakinya berakhir di dokter dan tradisional. Demi menghindari dibungkus gips dan memakai kruk, dia mencari tukang urut. Setelah terasa agak lentur dan sakitnya berkurang, dia pergi ke dokter. Kali ini demi rongent dan obat anti nyeri. Cukup berhasil sehingga pagi ini dia bisa ke kantor tanpa kruk walau masih tertatih untuk keberhati-hatian saja. Dulu, sebagai editor paruh waktu semua pekerjaan dia kerjakan melalui internet. Tapi sesekali dia tetap ke kantor Papyrus. Di area Papyrus ada space bebas yang benar-benar bebas dipakai untuk keperluan apa pun. Dua meja panjang berjajar yang bisa dipakai berhadap-hadapan di samping kubikel staf permanen. Sering juga dipakai staf yang bosan di mejanya. Atau dipakai untuk meeting santai atau bergunjing seru. Tempat itulah yang akhirnya menjadi meja kerjanya ketika dia di Papyrus. Dia nyaman di ruangan yang menurutnya menyenangkan itu. Atmosfernya pun demikian. Sejak kabur dari rumah, bersamaan deng