DI sinilah dia sekarang, di sebuah hotel bintang lima yang pertama dia lihat dari dalam taksi. Tidur telentang menatap marah langit-langit kamar. Berkali-kali dia memukul ranjang empuk tak bersalah denga tangan terkepal. Jengah sendirian menahan emosi, dia menyambar ponsel. Mencari satu nama teman, lalu menelepon nama itu. Suara ingar-bingar entakan musik menyambutnya. Membuat Nayara bersemangat, langsung duduk bersila di ranjang.
“Woy, di menong?” tanyanya sambil berteriak.
“Tempat biasa. Lu ke sini ya.” Temannya balas berteriak dari seberang sana.
“Biasa yang mana, Nyong. Pangkalan lu banyak.”
“High Five.”
“Oke, gue ke sana sekarang.” Dia langsung melesat dengan hanya menyambar sling bag.
Tempat yang dia tuju adalah hiburan malam yang biasa dijadikan tempat mereka—dia dan teman-temannya—mencari hiburan. Dia sering ke tempat semacam ini. Baru mendekati lokasi saja adrenalinnya terasa melonjak. Dan ketika dia masuk disambut entakan musik, dia merasa inilah dunianya. Tak perlu lama mencari teman-temannya, dia tahu di mana mereka berkumpul di tiap tempat langganan mereka.
Melihat Nayara berusaha melewati tubuh-tubuh liat yang bergerak acak, tujuh tangan melambai bersemangat memanggil Nayara. Membuat Nayara mempercepat langkah meski itu berarti dia harus menerobos tubuh-tubuh orang lain.
Sebuah kursi sudah disiapkan untuknya. Nayara langsung membanting bokongnya ke kursi itu.
“Senep amat tu muka. Butuh setrika?” Seorang dari mereka menyambutnya.“Biasa deh. Bonyok bkin ulah.” Nayara mendengus kesal.
“Kan sudah biasa, kenapa harus dipikirin lagi?”
“Kali ini luar biasa. Gue kabur dari rumah.”
“Hah? Gimana ceritanya?”
“Sudah ah.” Nayara melambai mengusir angin, “Gue suntuk, nggak mau bahas itu.”
“Oke, Darla…” Seorang teman yang lain langsung memeluknya dari belakang. “Minum dulu,” dia langsung menempelkan gelas cocktail di depan bibir Nayara membuat Nayara memundurkan kepala, menjauhi gelas itu. “Minum, biar tenang.” Dia masih memaksa sambil terbahak diiringi tawa lepas temannya yang lain.
Tangan Nayara melambai ke arah pelayan yang lalu lalang. “Soju leci.”
Pesanan itu membuat semua temannya terbahak makin keras.
“Nay, malu sama umur. Masa masih minum soju sih. Coba ini dong.” Lagi-lagi gelas cocktail mendekat ke bibirnya.
“Sumpah, gue nggak sanggup hang over.”
“Lu harus latihan. Naikin dikit-dikit lah. Kalau soju terus kapan naiknya.”
Pesanannya datang dan dia langsung menyesap minuman itu. Aroma dan manis leci menggoda lidahnya. Dan kandungan alkohol di dalamnya tetap membuatnya sadar meski agak melayang. Isi gelasnya belum kosong ketika ada yang menarik tangannya.
“Turun yuk,” ajaknya sambil terus menarik tangan Nayara.
Nayara menyesap santai sojunya. “Duluan gih, gue habisin ini dulu.”
“Oke.”
Dia sendirian sekarang mengisi meja itu. Diam melihat gerakan liar teman dan semua isi ruang, dia tak sadar ketika seorang lelaki mendekat.
“Turun yuk,” ajak lelaki itu.
Seorang lelaki muda dengan tampilan menggoda dan tatapan mengundang langsung duduk di sampingnya.
Dan tanpa berpikir panjang, Nayara menandaskan isi gelas dengan satu tegukan lalu membanting gelasnya ke meja.
“Ayo.” Dia langsung berdiri dan lelaki itu langsung merangkulkan tangan ke bahunya. Lalu berdua mereka menikmati musik dengan caranya. Bergerak liar terbahak dan bergembira. Alhokol dalam tubuhnya memang rendah, tapi untuk Nayara yang rendah itu sudah membuatnya agak melayang.
Agak melayang saja. Dia masih sepenuhnya sadar ketika lelaki itu makin berani dengan tubuhnya. Tangannya tak hanya melekat di bahu atau di pinggul Nayara tapi berusaha menggapai bagian yang lain yang lebih pribadi. Gerakan tubuhnya pun mendekat dan mengundang. Awalnya Nayara memaklumi, ini memang tempat manusia-manusia liar yang bebas di alamnya. Tapi ketika gerakan itu makin tak sopan, dia semakin jengah. Dan ketika tangan lelaki itu jelas meraba bokongnya, Nayara tidak bisa diam lagi.
PLAK.
Sebuah tamparan mendarat di pipi lelaki yang langsung berjengit terkejut. Lebih terkejut lagi ketika Nayara meninggalkannya sendirian di tengah lantai. Nayara langsung kembali ke meja. Tatapannya sempat melihat tajam dan marah ke arah lelaki itu. Tapi yang ditatap hanya mengedikkan bahu lalu pergi. Mungkin mencari mangsa baru. Hal seperti itu biasa saja. Mereka hanya saling menebar jala. Jika ada yang terjerat, selanjutnya terserah mereka. Jika ada yang tidak setuju, semua bisa saja terjadi termasuk penolakan ala Nayara tadi. Kejadian itu tidak menjadi adegan serius yang bisa mengalihkan perhatian yang lain. Semua tetap bersemangat bergerak. Hanya satu dua orang yang menoleh ke sumber suara tamparan, tak lama, mereka kembali ke pasangan masing-masing, melanjutkan hidupnya sendiri.
Melihat kejadian itu, teman-temannya langsung mendatangi Nayara.
“Kenapa, Nay?”
“Biasa lah. Tangannya terlalu aktif. Dikasih semeter minta sehektar.”
Seluruh temannya terbahak. Masing-masing mereka sudah menemukan pasangannya. Meski beberapa dari mereka baru saling kenal, tapi mereka sudah santai saling melekatkan tubuh.
“Orang baru tuh. Dia nggak kenal lu, Nay. Perawan High Five.” Ucapan dari salah satu temannya itu berhadiah toyoran sadis di dahinya dari Nayara.
“Nay, lu susah dapat cowok bener di tempat kayak gini. Lu cari di masjid sana.” Temannya yang lain ikut menanggapi.
“Gue nggak cari cowok woy. Gue cuma mau senang-senang. Eh, tu cowok mikir yang lain kali.”
“Lah cowok mah lihat cewek enak aja diajak turun ya mikirnya nggak jauh-jauh dari selangkangan buat ganti oli. Itu senang-senang ala cowok dan cewek. Tapi lu kan bukan salah satu dari gender itu. Lu kan Nayara.”
“Ck.” Nayara berdecak.
Yang lain terbahak.
“Perawan expert. Perawan High Five.” Seorang menepuk keras bahu Nayara.
“Sampai kapan tu segel mau dilepas? Gue kepo pengin tau cowok kayak apa yang bisa nembus lu.” Teman yang lain bersuara.
“Apaan sih!” Nayara makin jengkel. “Gue nggak butuh.”
“Lu belum rasain aja nikmatnya, Darla. Kalau sudah, lu bakal ketagihan dan bisa aja nyamber sembarang tongkat.”
“Kalau nggak ada, dildo pun jadi,” sambar yang lain.
Koor tertawa kembali terdengar. Mereka memang sering mengganggu Nayara dengan prinsipnya ini. Mereka menganggap Nayara terlalu kolot untuk ukuran mausia milenial. Nayara terlambat lahir satu abad.
Yang mereka tidak tahu adalah alasan kenapa Nayara seperti anti pada lelaki. Mereka memang temannya, tapi teman untuk bersenang-senang saja. Nayara tidak menceritakan semuanya. Yang mereka tahu hanya lapisan luar saja. Di dalam diri Nayara, apa pun itu, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu. Nayara menyimpannya rapat. Dia menunggu seorang sahabat yang bisa menjadi tempatnya bercerita tentang gejolak jiwanya.
Jiwa yang tadi gelisah dan marah ternyata tidak menemukan ketenangan di tempat seramai ini. Membuat Nayara jengah.
“Gue cabut dulu ya.” Dia langsung berdiri.
“Lha, bentar amat. Lu tuh ke club, bukan ke toilet.”
“Gue ngantuk. Dagh.”
“Ya sudah, nanti gue yang traktir.”
Nayara melambai berterima kasih lalu pergi.
***
Kembali ke hotel, dia kembali melamun.
Now what?
Haruskah dia menyesali keputusan spontannya pergi dari rumah?
Bagaimana besok?
Pergi dari rumah berarti hidup sendiri dan itu berarti tidak boleh ada uang papa Jaya—Satria Jayantaka, abangnya—yang dia pakai. Bukankah selama ini dia membenci Mama yang tidak bisa lepas dari jerat suaminya hanya karena meteri?
Dia tidak mau menjadi seperti mamanya.
Dia harus bisa membuktikan dirinya bisa hidup tanpa uang dari papa Jaya
Bah!
Bahkan menyebutnya sebagai papanya sendiri pun dia enggan. Dia selalu menyebut Harsa dengan frasa itu, papa Jaya, papanya Jaya.
Alkohol yang dia minum memang berkadar rendah, dan itu membuat dia bisa tetap sadar memikirkan masa depannya di malam pertama dia memutuskna meninggalkan rumah papa Jaya.
Meninggalkan rumah berarti melepas kemewahan limpahan materi dari papa Jaya. Alangkah lucunya jika dia tetap menikmati harta papa Jaya sementara dia sudah keluar dari rumah itu tanpa izin.
Berarti tidak akan ada lagi kemewahan.
Menyadari itu, dia melayangkan pandangan ke seluruh ruang. Kamar mewah ini… harganya permalamnya bisa berarti makan berapa lama? Dia tidak tahu. Tapi dia yakin, harga kamar ini bisa ditukar ransum makan berhari-hari. Bahkan mungkin lebih lama jika dia bisa super berhemat. Dan bagaimana caranya berhemat jika seumur hidup dia tidak tahu bahwa kata itu diciptakan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Haruskah dia menyesali keputusannya? Lalu menggeret lagi kopernya melewati pintu rumah papa Jaya. Mendengar lagi suara-suara saling berteriak tak terkendali. Melihat lagi mamanya menangis seperti keledai bodoh yang jatuh berkali-kali di lubang yang sama. Merasai lagi atmosfer rumah yang penuh kehampaan dan terisi kekosongan. Hidup bersama dengan orang yang disebut keluarga dalam bangunan yang sama yang disebut rumah tapi saling abai nyaris tak mengenal satu sama lain.
Hidup yang seperti itu?
Kembali ke hidup yang seperti itu?
Sampai kapan?
Hah!
Mengingat itu, Nayara menegaskan hati. Itu tidak akan dia lakukan. Dia tidak akan kembali ke rumah dengan semua kemewahan yang ditawarkan papa Jaya. Dia lebih memilih berhemat sampai titik darah penghabisan daripada kembali ke neraka itu.
Lelah badan dan lelah berpikir dan merasai, Nayara jatuh tertidur saat menjelang pagi.
***
Bersambung
Author’s note
Ahayyy… ternyata Nayara anak ajeb-ajeb ya. Cerita ini masih panjang. Masih mau anteng di sini kan? Ditunggu komennya ya. Semangatin Emak dong, jangan Nayara aja disemangatin. Love, subscribe, dan follows biar Bang Notif segera sampai di ponsel kalian. Thx & happy reading. 😍😍😘😘NAYARA duduk di halte dengan kepala menumpu di koper besarnya. Dia meninggalkan hotel di belakang halte menjelang detik-detik waktu check out. Tidur menjelang fajar membuatnya kesiangan. Mungkin jika tidak ingat tekat berhemat sampai titik sen penghabisan dia akan melanjutkan tidurnya di hotel mewah itu. Tekat yang tadi membuatnya bisa bergegas mandi sambil menikmati semua yang sebentar lagi akan menyedot rupiahnya yang mugkin akan menjadi kenikmatan terakhirnya hidup ala sultana. Semua tas sudah siap di dekat pintu saat dia mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Kamarnya di rumah papa Jaya lebih bagus dari ini. Tapi kamar hotel ini tentu akan lebih bagus dari tempat tinggalnya nanti malam. Dan di mana tempat itu? Sampai selesai proses check out dia masih belum ada ide harus ke mana. Menggeret koper yang dinaiki travel bag, dia membuat concierges agak berkeryit ketika dia menolak
TING Denting notifikasi terdengar dari ponsel Nayara. Melirik sekilas, pop up message terbaca dari abangnya. Satria Jayantaka : Di mana lu? Bersemangat, Nayara langsung mengabarkan keberhasilannya hari ini. Ph Nay : Gue sudah dapat kos, Bang. Lu tenang aja. Satria Jayantaka : Lu serius mau kabur? Ph Nay : Mati aja lu, Bang sama bapak lu. Satria Jayantaka : :D Kesal, Nayara membanting asal ponselnya yang ternyata jatuh ke lantai. Ketika ingat bagaimana kondisi keuangannya sekarang, dia langsung memeriksa kondisi ponsel. Untung saja dia tidak memakai ranjang. Ponselnya masih bisa diselamatkan. Tidak ada hal buruk yang terjadi, hanya bunyi dug yang tadi membuatnya segera siuman dari kealpaannya. Fyuhhh... Gia terkekeh melihat kelakuan teman sekamarnya ya
ITU adalah kejadian setahun lalu. Saat ini Nayara sedang berusaha mengumpulkan uang kuliah setelah berhasil membayar uang kos tahun kedua. Satu tahun ini dia terpaksa cuti kuliah. Nayara benar-benar tak sanggup mengumpulkan uang semester kampusnya yang baru sekarang dia rasa sangat mencekik. Sepanjang satu semester kemarin, dia full bekerja. Apa pun dia kerjakan termasuk di katering hasil rekomendasi ibu angkatnya. Ah, dia yang menahbiskan dirinya sebagai anak angkat. *** Beberapa bulan setelah pergi DI pagi menjelang siang itu Nayara antara panik dan ketakutan. Dia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Dia merasa sudah amat sangat-sangat teramat berhemat sekali. Jumlah yang dia bawa dari rumah papa Jaya dulu hanya untuk bersenang-senang beberapa hari saja. Paling lambat seminggu. Kalau dia bisa bertahan tiga bulan dengan jumlah yang sama setelah dipotong biaya kos, itu adalah penghematan
TAPI ternyata tujuan mereka tidak sejauh yang Nayara kira. Tidak jauh dari perempatan, Gia masuk ke sebuah ruko.“Maakkk…” Gia tidak merasa harus menjaga suaranya agar terdengar anggun. Nayara yang masih kesal dan terengah-engah ternyata masih ada tenaga untuk menggerutu sambil membaca papan nama.Rumah Makan Tante Tita.Tu anak kapan warasnya sih? Mau makan gratis malah ke rumah makan gini.Sementara Nayara masih terengah dan menggerutu di luar, di dalam Gia sudah menyambar apron dan langsung dia pakai. Mendekati jam makan siang memang tempat ini semakin ramai. Setelah apronnya terpasang, dia mengambil apron satu lagi lalu langsung ke Nayara yang masih tercenung di teras ruko.“Eh, Bekicot Sawah, ngapain cengok di situ? Setan malas nyamber kalau siang gini. Panas.” Gia langsung menegakkan tubuh Nayara dan memasang apron yang dia bawa.
GIMANA proposal lu?” tanya Gia ketika Nayara masuk dan langsung rebah di ranjangnya dengan muka lusuh tertekuk-tekuk.“Papyrus nggak mau ngeluarin data kalau belum ada izin dari big boss,” jawabnya menggerutu.“Kan tinggal minta sama Pak Wirya aja.”“Itu boss Papyrus. I said big boss, founder Sastra MediaNesia. Manggala Abipraya Sastradinata.”“Ohh…” Gia mengerucutkan bibirnya. “Terus masalahnya apa lagi?”“Ya gue harus ketemu langsung sama si Mamang.”Hah? Mamang?”“Manggala itu.”“Panggilannya Mamang?”“Katanya dia marah kalau dipanggil Mang, Mamang, tapi ya kalau nggak ketauan kan bodo amat.”“Memang sudah kakek-kakek marah dipanggil Mamang?”“Nggak tau. G
SETELAH ditinggalkan semena-mena oleh Manggala, Nayara merasa pikirannya kosong. Lelah semakin terasa. Tak peduli panas matahari menjelang tengah hari yang menusuk kulit, dia berjalan lunglai di trotoar. Perutnya berbunyi hebat. Nayara memang begitu, semua lari ke lapar dan tidur. Jika sedih, dia lapar, dia makan, lalu tidur. Marah dan stres pun begitu. Mungkin aktifitas hariannya yang padat memang membutuhkan energi sebanyak itu.Dia melangkah tak tentu arah. Hanya berpikir kapan waktu yang tepat untuk bertemu founder Sastra MediaNesia. Maksudnya, kapan jengkelnya hilang sampai dia sanggup beramah tamah dan bersopan santun pada Manggala. Butuh waktu berapa lama sampai dia merasa sikap Manggala yang sok sibuk itu adalah wajar mengingat founder itu sibuk dan dia yang salah datang terlambat.Tanpa sadar dia sudah jauh dari jalan arteri.Perutnya benar-benar minta diisi. Dia melirik jam
SETELAH berbalas email beberapa kali akhirnya Nayara berhasil bersepakat dengan Lydia urusan janji temu dengan Manggala. Dan di sanalah Nayara sekarang. Duduk santai di sofa menunggu Manggala datang. Kedatangannya yang lima belas menit lebih awal disambut senyum ramah Lydia. Proposal sudah dia serahkan sejak awal. Tapi dia tetap membawa hard copy proposal juga. Lima menit menuju jam 9, Manggala datang. Nayara berdiri menyambutnya dan menganggukkan sedikit kepalanya. Lalu ketika Manggala masuk ke ruangannya, dia kembali duduk. Menunggu diizinkan masuk. Kali ini penampilan Nayara tidak sekacau sebelumnya. Meski style-nya masih sama tapi Nayara jelas terlihat lebih rapi. Tidak ada tragedi berlari dari halte yang membuatnya mandi keringat, terengah, dan kejadian-kejadian lain termasuk mengiba. Intinya, pagi ini semua aman terkendali. Sambil menunggu dipanggil, Nayara membaca kembali proposalnya. Berusaha menebak-nebak apa yang kira-kira akan dit
NAYARA butuh ide untuk skripsinya. Juga untuk novelnya. Tapi jengah membuatnya buntu otak. Sehingga dia berakhir di Rumah Makan Tante Tita. Melalui pesan WA Nayara mengajak Gia ke sana. Tapi ajakannya baru bisa dipenuhi ketika Gia sudah pulang kerja. Di sana Nayara menghabiskan energi dan kesalnya dengan menggosok meja. Bahkan ketika Mak Tita meledeknya untuk menggosok kamar mandi Nayara mengiyakan saja. Dia sudah ahli menggosok kamar mandi berkat didikan Gia dan latihan setahun lebih di kos. Dia merapikan nyaris semua hal di sana. Mak Tita membiarkan saja Nayara begitu. Malah menyemangatinya. Lepas maghrib, Nayara mulai kehabisan tenaga, tapi pengunjung justru semakin ramai. Lalu bala bantuan datang. Gia langsung bergabung dengan kesibukan kedai. Nyaris jam sembilan tapi pengunjung belum juga putus. Nayara dan Gia sudah menyerah sejak jam delapan. Mereka berakhir di meja kasir, menemani Mak Tita menerima pembayaran. “Sudah puas?” tanya Mak Tita yang jelas di
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,