NAYARA duduk di halte dengan kepala menumpu di koper besarnya. Dia meninggalkan hotel di belakang halte menjelang detik-detik waktu check out. Tidur menjelang fajar membuatnya kesiangan. Mungkin jika tidak ingat tekat berhemat sampai titik sen penghabisan dia akan melanjutkan tidurnya di hotel mewah itu. Tekat yang tadi membuatnya bisa bergegas mandi sambil menikmati semua yang sebentar lagi akan menyedot rupiahnya yang mugkin akan menjadi kenikmatan terakhirnya hidup ala sultana.
Semua tas sudah siap di dekat pintu saat dia mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Kamarnya di rumah papa Jaya lebih bagus dari ini. Tapi kamar hotel ini tentu akan lebih bagus dari tempat tinggalnya nanti malam.
Dan di mana tempat itu?
Sampai selesai proses check out dia masih belum ada ide harus ke mana. Menggeret koper yang dinaiki travel bag, dia membuat concierges agak berkeryit ketika dia menolak dicarikan tumpangan. Dengan bawaan sebanyak itu, ke mana gadis ini akan pergi? Mungking begitu yang terlintas di kepala petugas. Nayara terus menggeret kopernya melewati semua petugas termasuk petugas parkir.
Panas menyengat. Polusi dari debu dan asap knalpot membuat hari semakin menyebalkan. Apalagi bagi Nayara yang terbiasa menjadi putri. Dia terus berjalan melewati batas gerbang hotel.
Aku harus ke mana?
Tapi dia bersikukuh tidak menyesali keputusannya. Seharusnya dia pergi sejak lama. Tadi saat check out dia melihat tagihan. Baru kali ini dia memperhatikan nominal di kertas sebelum dia menandatangani kertas itu. Dia sudah memberikan kartu kredit unlimited sebagai alat ganti pembayaran ketika teringat dia harus meninggalkan semua hal tentang papa Jaya termasuk hartanya.
Dia membayar dengan kartu debit. Well, isi kartu itu memang masih dari papa Jaya. Tapi itu jatah bulanannya. Sementara kartu kredit adalah ttambahan uang saku yang seperti tidak ada batasnya. Dia tidak tahu, isi kartu debit itu akan bertahan berapa lama, termasuk uang tunai yang dia sambar dari laci kamar di rumah papa Jaya. Tapi dia berjanji, ini adalah bulan terakhir dia mengambil isi kartu debit dan tidak akan lagi memakai kartu kredit. Setelah dia mengosongkan kartu debit, dia akan memotong kartu itu.
Dan melihat tagihan hotel, jantungnya mendadak berderap. Sepertinya itu nominal yang cukup lumayan untuk modal awal hidup mandiri. Dan dia baru saja membuangnya begitu saja untuk tidur semalam yang tidak membutuhkan hal mewah ketika orang tidak sadar.
Fyuh...
Sesal kemudian tidak berguna. Ini akan menjadi pelajaran pertama yang berharga untuknya. Saat ini yang penting adalah ke mana dia akan menuju? Tidak mungkin dia duduk di halte selamanya kan?
Hari makin di tengah. Atap halte seperti tidak bisa menahan panas matahari. Angin yng bertiup membawa serta panas matahri dan emisi gas buang kendaraan membuat kepala Nayara mulai berdenyut. Semakin berdenyut saat dia tidak tahu harus ke mana. Apa teman-temannya mau menampungnya? Dia mau kehidupan yang baru. Tapi untuk beberapa hari ke depan mungkin dia bisa bertahan di rumah temannya mengambil waktu berpikir lebih tenang.
Saat sedang melamun itulah seseorang menyapanya.
"Mbak, ikut duduk ya," izinnya sopan. Nayara bergegas memperbaiki duduknya, bergeser sedikit agar ada space untuk satu bokong lagi duduk di sampingnya. Tangannya tetap bersandar di koper besar.
"Mbaknya mau ke mana bawa-bawa koper segede lemari gini." Suaranya ceria sambil melihat ke koper, disamping travel bag, dan backpack yang saling bertindihan.
Ke mana?
Iya.
Ke mana ya?
Itu yang Nayara masih tidak tahu.
"Saya mau cari kos, Mbak," ujarnya setelah berpikir super cepat tentang penghematan.
Gadis di sampingnya menelisik penampilan Nayara.
"Saya sih lagi nyari teman sekamar, tapi apa Mbaknya mau?" ujarnya ragu masih tetap memperhatikan saksama penampilan Nayara. Meski outfit yang Nayara kenakan terlihat asal tapi tetap saja, dia merasa teman menunggunya kali ini bukan kali kalangannya.
Nayara memutar tubuhnya cepat. Sekarang dia nyaris berhadapan dengan gadis itu. "Mau, Mbak. Mau banget." Bersemangat.
"Tapi nggak di sini. Jauh. Terus kos-nya juga..."
"Nggak apa-apa, Mbak. Makin jauh dari sini makin bagus." Tempat ini masih dekat dengan rumah papa Jaya.
"Jauh beneran loh, Mbak. Di kampung pula." Gadis itu masih butuh diyakinkan.
"Nggak apa-apa. Asal dekat halte atau stasiun." Ingat tekat berhematnya, dia harus mulai terbiasa dengan moda transportasi umum kan?
"Lumayan dekat sih. Jalan kaki juga bisa. Tapi..."
"Ya sudah, cukup. Jauh nggak masalah. Makin jauh makin bagus."
"Lha?"
"Saya serius, Mbak."
"Ya sudah, gini aja deh, Mbak lihat dulu kosnya."
Nayara mengangguk mantap. Lalu berdua mereka menggotong koper besar itu menaiki mobil-taksi online yang dipesan Nayara. Membuat kening gadis itu semakin berkerut.
"Mbak serius naik taksi sampai kos saya?" tanyanya tak lama setelah mereka membanting tubuhnya di baris tengah. Nayara mengangguk mantap. "Mahal loh, Mbak. Mending kita ke stasiun aja. Naik CL."
"Memang boleh bawa barang sebesar ini naik kereta, Mbak?" Nayara hanya tahu dari membaca saja.
"Halah... masih bisa nego lah sama Walka. Kalau nggak ramai-ramai amat boleh kok. Ini kan Minggu. Ke arah Bogor agak sepi. Bisalah kita selipin ni lemari."
Nayara terbahak.
"Mbak, saya tuh nyari teman sekamar biar irit bayar kos. Kos saya juga nyelip di kampung."
"So?"
"Saya cari yang semurah mungkin."
"Bagus dong. Saya juga cari yang murah. Klop kan?" Dia memang berhemat, tapi membawa barang sebanyak ini dengan moda transportasi umum tentu sangat susah untuk orang baru belajar manjadi rakyat jelata.
"Tapi..." dia menggantung kalimatnya. "Kayaknya nggak cocok sama Mbak deh."
"Kenapa?"
"Mbak... orang kaya ya?"
Nayara terbahak semakin lepas.
"Bokapnya abang gue yang tajir, gue mah miskin, kere. Sebentar lagi fakir. Mungkin butuh sumbangan."
Pernyataan Nayara membuat mulut gadis itu membuka-menutup tanpa keluar suara. Yang langsung terlintas adalah seorang anak yang kabur dari istana ayah tirinya. Hhmm... Dongeng Bawang Putih era milenial? Bukan ibu tirinya yang jahat, mungkin bapak tirinya ingin-
"Oh, iya. Gue Prisha Nayara, Nay." Ajakan perjenalan dari Nayara membuat gadis itu menghentikan kehaluannya. Tangan kanan Nayara terjulur ke arah gadis itu. "Kita belum kenalan kan?" senyumnya lebar.
"Gianne Jenggala. Gia."
"Kayaknya kita seumuran deh. Nggak usah mbak-mbok mbak-mbok lah ya. Gue lu aja. Tapi lu nggak usah gede rasa kalau gue panggil lu Jeng ya."
Mereka tertawa berdua.
Angin persahabatan tercium mengharum di sini.
***
Ternyata kos Gia mendekat ke kampusnya. Hal yang sangat Nayara syukuri. Kamar kos Gia sungguh sederhana. Ini lebih sederhana-baca: lebih buruk-dari kamar asisten rumahnya. Tapi Nay merasa puas. Itu cukup untuknya. Dan keramahan Gia membuatnya segera merasa memiliki teman.
Tanpa pikir panjang Nayara setuju tinggal di sana. Dia bahkan langsung menyerahkan uang pembayaran pada Gia yang diterima dengan senyum lebar. Dia langsung mengambil uang dari lemarinya lalu mengajak Nayara berkenalan dengan Ibu Kos. Setelah basa-basi singkat, mereka kembali ke kamar yang sekarang sudah menjadi kamar mereka berdua.
Hanya ada dua kasur dengan ranjang tanpa kaki. Gia melempar bantal ke arah kasur yang menjadi jatah Nayara.
Paling tidak setahun ke depan urusan tempat tinggal aman terkendali, ujarnya dalam hati sambil berharap dia betah di sana.
"Lu atur deh mau taruh di mana."
Tempat ini kecil. 3x3 meter. Tak mau bersusah payah, Nayara langsung merebahkan dirinya tanpa mengubah posisi ranjang. Di sisi jendela.
"Lu nggak masuk angin tidur di bawah jendela?"
"Nggak." Gia melempar sprei ke arah Nayara. "Eh, gue pakai sprei lu dulu ya. Gue belum punya sprei."
"Pakai aja. Gue punya tiga. Kalau kita nyuci gantian ya aman lah."
"Nyuci?" Pertanyaan Nayara direspons wajah heran Gia yang sampai menghentikan gerakannya memasang sarung bantal. "Oh, iya, iya. Nyuci. Nggak londri kan ya?"
"Ya terserah lu sih kalau mau londri. Gue mah daripada londri mending buat jajan cilok. Nyuci kan tinggal kucek-kucek dikit. Selama gue nggak habis ngobak, nggak perlu tenaga dalam biar bersih."
Oh, oke. Nayara segera mencatat dalam hati. Belajar mencuci. Googling. Di youtube pasti ada tutorialnya. Jangankan mencuci, tutorial memasak air saja ada. Selama ini mana pernah dia mengurus cucian. Tidak ada tugas domestik satu pun yang menjadi tugasnya. Bahkan membuka gerbang pun ada petugas khusus.
"Teman sekamar lu yang lama ke mana?"
"Pindah kerja. Berhubung dia sisa skripsi, sudah jarang ke kampus, jadi mending dia kejar kos dekat tempat kerjanya aja."
"Ohh... kalau lancar semester depan baru gue skripsi. Sekarang lagi nyari-nyari judul aja. Lu?"
"Belum. Paling cepat tiga semester lagi. Gue off dulu tahun ini."
"Kenapa?"
"Nggak ada duitnya, Darla." Gia terkekeh santai. "Lu kuliah di mana?"
"Buntara."
Gia menjawab dengan bersiul. Universitas yang Nayara sebut adalah kampus favorit bagi golongan the have. "As I thought..."
"Memang lu mikir apa?"
"Anak Universitas Bumi Nusantara mana cocok di sini. Noh di apartemen banyak."
"Iya sih, teman gue banyak di sana."
"Trus ngapain lu ke sini?"
"Gue kabur dari rumah."
"Duh, Tuan Putri, gue nggak tau lu bakal betah berapa lama di sini. Tapi uang yang tadi lu kasih itu untuk setahun. Jadi, setahun ini lu bebas deh."
Nayara terbahak. Uang yang tadi dia serahkan senilai semalam di kamar hotel yang tadi dia tinggalkan. Ini awal yang baik untuk berhemat.
"Gue harus betah di sini, Gee. Mungkin gue juga harus cari kerja. Gue nggak yakin gaji gue cukup buat makan."
"Lu kerja?"
"Iya."
"Di mana?"
"Papyrus. Editor. Part time doang sih. Tadinya cuma ngisi waktu luang aja. Gue nggak peduli berapa yang mereka transfer. Kayanya sekarang harus gue seriusin deh. Termasuk nulis novel online."
"Lu penulis? Di Papyrus? Nama akun lu apa?"
"Ph Nay."
"Gue nggak kenal tu nama. Padahal gue sering nongkrong di Papyrus. Apa gue kelamaan nongkrong di WC ya?"
Nayara tergelak sangat lepas.
"Gue angot-angotan sih kalau update. Suka-suka aja. Jadi followers gue nggak banyak. Makanya gue harus seriusin nulis deh. Author gede di Papyrus komisinya bisa sampai ratusan juta loh."
"Serius?" Gia ternganga dan mendelik.
"Iya, serius. Kan gue bisa ngitung dari poin yang mereka dapet. Lu kalau mau nyari duit ya nulis aja." Dulu dia tidak peduli angka-angka itu. Angka yang bisa dia dapat cukup dengan menggesek salah satu kartu dari papa Jaya.
Ganti dia yang terkekeh. "Lah gue kalau chat aja sering dimaki-maki."
"Kenapa?"
"Banyak typo, nggak ada titik koma trus yang paling ngeselin mereka tuh karena gue hobi banget singkat-singkat tulisan."
"Itu mah gampang dibenerin. Yang penting lu ngayal dulu aja. Trus lu ketik deh hasil ngayalnya. Selama lu bisa ngerti tadi lu ngetik apa, ketikan lu masih bisa diselamatkan jadi tulisan."
"Malas sih, tapi berhubung gue matre akut, nanti gue coba ngayal deh. Toh sekarang gue sekamar sama editor. Gue bisa private nulis lah sama lu."
Kali ini mereka terbahak bersama.
***
Bersambung
Author's note:
Akhirnya Nayara ketemu teman juga nih. Teman yang kemarin kan cuma buat senang-senang aja. Kalau kalian bersenang-senang di sini, ajak teman yang lain ya. Sekarang sih masih senang-senang aja, tapi kalau yang sudah kenal Emak, pasti tau deh kebiasaan Emak ngacak-ngacak perasaan kalian. Nah, saat itu kalian akan butuh teman menggalau bersama. Atau boleh banget cari teman menggalau di sini. Kalian cukup rajin komen di bab manapun, lalu nyeletuk aja kalau ada komen. Nanti berbalas chat di sana.
Okeh?
Jangan lupa subs & follows ya. Thanks & happy reading. *ketjup basyah*
TING Denting notifikasi terdengar dari ponsel Nayara. Melirik sekilas, pop up message terbaca dari abangnya. Satria Jayantaka : Di mana lu? Bersemangat, Nayara langsung mengabarkan keberhasilannya hari ini. Ph Nay : Gue sudah dapat kos, Bang. Lu tenang aja. Satria Jayantaka : Lu serius mau kabur? Ph Nay : Mati aja lu, Bang sama bapak lu. Satria Jayantaka : :D Kesal, Nayara membanting asal ponselnya yang ternyata jatuh ke lantai. Ketika ingat bagaimana kondisi keuangannya sekarang, dia langsung memeriksa kondisi ponsel. Untung saja dia tidak memakai ranjang. Ponselnya masih bisa diselamatkan. Tidak ada hal buruk yang terjadi, hanya bunyi dug yang tadi membuatnya segera siuman dari kealpaannya. Fyuhhh... Gia terkekeh melihat kelakuan teman sekamarnya ya
ITU adalah kejadian setahun lalu. Saat ini Nayara sedang berusaha mengumpulkan uang kuliah setelah berhasil membayar uang kos tahun kedua. Satu tahun ini dia terpaksa cuti kuliah. Nayara benar-benar tak sanggup mengumpulkan uang semester kampusnya yang baru sekarang dia rasa sangat mencekik. Sepanjang satu semester kemarin, dia full bekerja. Apa pun dia kerjakan termasuk di katering hasil rekomendasi ibu angkatnya. Ah, dia yang menahbiskan dirinya sebagai anak angkat. *** Beberapa bulan setelah pergi DI pagi menjelang siang itu Nayara antara panik dan ketakutan. Dia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Dia merasa sudah amat sangat-sangat teramat berhemat sekali. Jumlah yang dia bawa dari rumah papa Jaya dulu hanya untuk bersenang-senang beberapa hari saja. Paling lambat seminggu. Kalau dia bisa bertahan tiga bulan dengan jumlah yang sama setelah dipotong biaya kos, itu adalah penghematan
TAPI ternyata tujuan mereka tidak sejauh yang Nayara kira. Tidak jauh dari perempatan, Gia masuk ke sebuah ruko.“Maakkk…” Gia tidak merasa harus menjaga suaranya agar terdengar anggun. Nayara yang masih kesal dan terengah-engah ternyata masih ada tenaga untuk menggerutu sambil membaca papan nama.Rumah Makan Tante Tita.Tu anak kapan warasnya sih? Mau makan gratis malah ke rumah makan gini.Sementara Nayara masih terengah dan menggerutu di luar, di dalam Gia sudah menyambar apron dan langsung dia pakai. Mendekati jam makan siang memang tempat ini semakin ramai. Setelah apronnya terpasang, dia mengambil apron satu lagi lalu langsung ke Nayara yang masih tercenung di teras ruko.“Eh, Bekicot Sawah, ngapain cengok di situ? Setan malas nyamber kalau siang gini. Panas.” Gia langsung menegakkan tubuh Nayara dan memasang apron yang dia bawa.
GIMANA proposal lu?” tanya Gia ketika Nayara masuk dan langsung rebah di ranjangnya dengan muka lusuh tertekuk-tekuk.“Papyrus nggak mau ngeluarin data kalau belum ada izin dari big boss,” jawabnya menggerutu.“Kan tinggal minta sama Pak Wirya aja.”“Itu boss Papyrus. I said big boss, founder Sastra MediaNesia. Manggala Abipraya Sastradinata.”“Ohh…” Gia mengerucutkan bibirnya. “Terus masalahnya apa lagi?”“Ya gue harus ketemu langsung sama si Mamang.”Hah? Mamang?”“Manggala itu.”“Panggilannya Mamang?”“Katanya dia marah kalau dipanggil Mang, Mamang, tapi ya kalau nggak ketauan kan bodo amat.”“Memang sudah kakek-kakek marah dipanggil Mamang?”“Nggak tau. G
SETELAH ditinggalkan semena-mena oleh Manggala, Nayara merasa pikirannya kosong. Lelah semakin terasa. Tak peduli panas matahari menjelang tengah hari yang menusuk kulit, dia berjalan lunglai di trotoar. Perutnya berbunyi hebat. Nayara memang begitu, semua lari ke lapar dan tidur. Jika sedih, dia lapar, dia makan, lalu tidur. Marah dan stres pun begitu. Mungkin aktifitas hariannya yang padat memang membutuhkan energi sebanyak itu.Dia melangkah tak tentu arah. Hanya berpikir kapan waktu yang tepat untuk bertemu founder Sastra MediaNesia. Maksudnya, kapan jengkelnya hilang sampai dia sanggup beramah tamah dan bersopan santun pada Manggala. Butuh waktu berapa lama sampai dia merasa sikap Manggala yang sok sibuk itu adalah wajar mengingat founder itu sibuk dan dia yang salah datang terlambat.Tanpa sadar dia sudah jauh dari jalan arteri.Perutnya benar-benar minta diisi. Dia melirik jam
SETELAH berbalas email beberapa kali akhirnya Nayara berhasil bersepakat dengan Lydia urusan janji temu dengan Manggala. Dan di sanalah Nayara sekarang. Duduk santai di sofa menunggu Manggala datang. Kedatangannya yang lima belas menit lebih awal disambut senyum ramah Lydia. Proposal sudah dia serahkan sejak awal. Tapi dia tetap membawa hard copy proposal juga. Lima menit menuju jam 9, Manggala datang. Nayara berdiri menyambutnya dan menganggukkan sedikit kepalanya. Lalu ketika Manggala masuk ke ruangannya, dia kembali duduk. Menunggu diizinkan masuk. Kali ini penampilan Nayara tidak sekacau sebelumnya. Meski style-nya masih sama tapi Nayara jelas terlihat lebih rapi. Tidak ada tragedi berlari dari halte yang membuatnya mandi keringat, terengah, dan kejadian-kejadian lain termasuk mengiba. Intinya, pagi ini semua aman terkendali. Sambil menunggu dipanggil, Nayara membaca kembali proposalnya. Berusaha menebak-nebak apa yang kira-kira akan dit
NAYARA butuh ide untuk skripsinya. Juga untuk novelnya. Tapi jengah membuatnya buntu otak. Sehingga dia berakhir di Rumah Makan Tante Tita. Melalui pesan WA Nayara mengajak Gia ke sana. Tapi ajakannya baru bisa dipenuhi ketika Gia sudah pulang kerja. Di sana Nayara menghabiskan energi dan kesalnya dengan menggosok meja. Bahkan ketika Mak Tita meledeknya untuk menggosok kamar mandi Nayara mengiyakan saja. Dia sudah ahli menggosok kamar mandi berkat didikan Gia dan latihan setahun lebih di kos. Dia merapikan nyaris semua hal di sana. Mak Tita membiarkan saja Nayara begitu. Malah menyemangatinya. Lepas maghrib, Nayara mulai kehabisan tenaga, tapi pengunjung justru semakin ramai. Lalu bala bantuan datang. Gia langsung bergabung dengan kesibukan kedai. Nyaris jam sembilan tapi pengunjung belum juga putus. Nayara dan Gia sudah menyerah sejak jam delapan. Mereka berakhir di meja kasir, menemani Mak Tita menerima pembayaran. “Sudah puas?” tanya Mak Tita yang jelas di
MAK Tita bangun dari kursi lalu menuju dapur. Menyendok nasi dan beberapa jenis lauk dan sayur di piring-piring terpisah. Sudah malam. Lauk yang tersisa pun sudah sangat terbatas. Lalu dia menyusun semuanya di nampan lebar. “Antar ke atas nih, Gee,” suruh Mak Tita sambil meletakkan sebotol air mineral di nampan. Gia bergerak gesit dan mengambil nampan dengan wajah cerah. “Wah, langganan spesial, Mak?” sahut Nayara. “Diantar ke atas loh.” “Soalnya dia nggak milih makan apa. Dikasih apa juga dia makan.” Tak lama Gia datang. “Ganteng sih, tapi sombong,” lapor Gia menyampaikan kesannya sambil mencebik. “Kalau orang ganteng namanyacool. Kalau jelek namanya sombong. Gimana sih lu. Nggak ngerti-ngerti aja perbedaan orang ganteng dan orang jelek,” sahut Nayara. “Dia memang begitu. Nggak banyak omong. Selalu ke sini sendiri. Katanya sih dia suka makan di sini karena menu makanan rumahan banget.” Mak Tita melirik jam, lalu