TING
Denting notifikasi terdengar dari ponsel Nayara. Melirik sekilas, pop up message terbaca dari abangnya.
Satria Jayantaka : Di mana lu?
Bersemangat, Nayara langsung mengabarkan keberhasilannya hari ini.
Ph Nay : Gue sudah dapat kos, Bang. Lu tenang aja.
Satria Jayantaka : Lu serius mau kabur?
Ph Nay : Mati aja lu, Bang sama bapak lu.
Satria Jayantaka : :D
Kesal, Nayara membanting asal ponselnya yang ternyata jatuh ke lantai. Ketika ingat bagaimana kondisi keuangannya sekarang, dia langsung memeriksa kondisi ponsel. Untung saja dia tidak memakai ranjang. Ponselnya masih bisa diselamatkan. Tidak ada hal buruk yang terjadi, hanya bunyi dug yang tadi membuatnya segera siuman dari kealpaannya.
Fyuhhh...
Gia terkekeh melihat kelakuan teman sekamarnya yang baru. Lalu mereka melanjutkan cerita mereka yang terputus. Ini hanya cara mereka mendekatkan diri saja. Hari itu, Nayara menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya oleh Gia. Dia menuruti semua perintah temannya, dia mengangguk mengerti untuk semua aturannya. Dia juga mengekor ke mana Gia pergi termasuk membeli makan malam di warteg terdekat. Nayara antusias memilih menu malam itu. Tapi melihat Gia hanya memilih satu menu, dia akhirnya mengurangi menunya. Dia sadar, dananya sekarang sangat terbatas. Sekarang, semua pengeluaran harus dihitung cermat. Tidak ada yang boleh terbuang percuma. Bahkan makanan pun tidak boleh ada yang tersisa dan terbuang. Dia sangat takjub dengan harga makanan di sana. Tidak menyangka uang sebesar itu bisa membuat perut kenyang.
"Nay, kalau kita berdua gini, kayanya mending kita masak nasi kali ya?" ujar Gia ketika mereka makan malam di kamar kos.
"Hah?" Nayara menghentikan suapannya. "Gue nggak bisa masak." Dia tidak bisa menyembunyikan kekalutannya. Memasak adalah titik kritis yang susah dia lewati.
"Masak nasi aja, lauk tetap beli. Kan pakai rice cooker. Gue punya rice cooker kok. Tinggal cuci beras, colok, beres. Selama lu nggak lupa jetrekin, aman kita."
"Oohh..." Sepertinya aku bisa belajar cepat jika yang disebut memasak hanya seperti itu, pikirnya dalam hati. "Terserah lu aja. Gue ikut. Nanti ajarin aja cara masaknya."
"Kita bisa ceplok telur aja kalau sudah ada nasi. Goreng tempe juga gampang. Kalau mau pakai sayur, bikin sayur bening aja. Pokoknya yang simpel-sinpel aja. Gampang banget. Kan ada dapur. Alat masak lengkap kok."
"Lu ajarin gue aja. Gue ikut. Sumpah, gue nggak ngerti apa-apa."
Gia terkekeh.
"Kita bikin uang kas ya. Buat beli beras, beli telur, beli sayur. Kalau beli buat keperluan kamar kita pakai uang itu. Termasuk buat belanja makanan yang kita makan berdua. Bayar berapa aja. Asal nominalnya sama biar nggak ribet ngitungnya. Kalau habis baru isi lagi."
"Siap. Atur aja." Matanya berbinar, sepertinya hidupnya akan lebih berwarna.
Ini malam pertamanya di kamar kos. Tanpa AC, hanya blower dan kipas angin yang ada. Panas. Jika ingat pilihannya, di kamar nyaman pun dia sulit tidur, apalagi di kamar seperti ini. Semalam pun di kamar hotel dia tidak tidur. Menjelang pagi baru dia bisa tidur. Untung saja dia terbangun sebelum waktu check out. Jika tidak, dia harus membayar kamar untuk dua hari. Sesuatu yang dulu tidak dia hitung mendadak dia hitung baik-baik.
Dalam gelap, dia memperhatikan siluet Gia yang tidur nyenyak lengkap dengan dengkur halusnya. Tidur dengan celana pendek dan kaus tanpa lengan dan tanpa selimut. Kakinya terbuka lebar.
Ah, Nayara ingin tidur seperti itu. Segera dia mencari outfit seperti Gia. Lalu mengganti piyama sutra dengan kaus Balmain dan training pack pendek Puma. Lalu mulai menghibur diri.
Ini hanya belum terbiasa saja. Nanti aku pun bisa selelap Gia.
Dia terus mengulang-ulang kalimat itu sampai akhirnya dia bisa menyusul Gia memeluk nyenyak tanpa mimpi apa pun.
***
Nayara menggeliat ketika suara-suara pagi semakin riuh. Benar-benar suara pagi yang penuh keriuhan manusia. Suara yang baru buat Nayara. Di rumahnya tidak ada keriuhan pagi seperti ini. Jika ada suara, berarti tak lama kemudiaan akan disusul suara teriakan, makian, benda pecah berkelontangan lalu dilanjut dengan suara-suara neraka lain. Tak pernah ada suara terbahak lepas di sana. Mengingat di mana dia sekarang, geliatnya semakin bertenaga. Hari baru di kehidupan yang baru telah datang. Meski dia tahu hidupnya akan berat, tapi seulas senyum tetap hadir di wajahnya yang manis.
Matahari menyapa kamar dari lubang angin. Masih sangat jauh di cakrawala. Tak ada yang mengenai tubuhnya yang berada persis di bawah jendela. Gia ikut menggeliat ketika wajahnya terkena cahaya.
"Morning, Girl," sapa Nayara.
"Morning, Room mate," Gia tersenyum ramah sambil terus menggeliat dan mengucek mata. "Gimana rasanya ngekos?"
"I think I'm gonna get used to it. ASAP."
"Senalam lu tidur kan?"
"Like a baby trough the night."
"Oke. Itu tandanya lu bakal bisa ngekos."
Kembali mereka terbahak bersama.
Acara mereka hari ini nyaris sama. Gia yang mengambil kelas karyawan karena harus bekerja office hour. Sementara Nayara, sambil menunggu jadwal kuliah sore, dia memutuskan ke kantor Papyrus untuk meminta pekerjaan lebih banyak demi mengejar rupiah yang lebih banyak. Lalu sebagai sesama pemburu rupiah Gia mengajak Nayara mencuci baju bersama. Tanpa diberitahu, Gia tahu bahwa Nayara nol besar di banyak urusan domestik. Nayara berpikir dia cukup meniru cara Gia. Pikiran itu membuat Nayara santai saja menerima ajakan Gia.
Gia hanya bersiul melihat outfit yang Nayara jadikan baju tidur.
Dan terbukti, Nayara benar-benar tidak bisa mencuci baju. Tapi dia cepat belajar. Walau masih sangat kaku, akhirnya dia bisa menyelesaikan mencuci dua pasang baju kotor. Walau wajahnya basah keringat dan tubuhnya basah air. Dia tetap ceria memeras cucian. Ketika akan menjemur Gia berkata:
"Nay, lu jagain deh baik-baik jemuran lu."
"Kenapa?"
"Kalau maling kenal merk, baju lu bakal diambilin."
"Hah?"
"Jemur dekat dinding sini aja. Nggak terlalu kena matahari sih. Tapi masih ketutup cucian gue." Gia menunjuk tali jemuran yang dia maksud. "Sini gue bantuin peras. Kalau nggak bagus keringnya baju lu bakal apek." Gia mengajari cara memeras dengan bantuan tali jemuran. Sampirkan pakaian, lalu putar terus hingga maksimal. Tapi teknik ini hanya bisa untuk tali jemuran yang kuat. Batang besi satu inchi kalau perlu.
"Tapi nggak semua bahan bisa lu giniin ya, Nay."
"Kenapa?"
"Sayang baju lu. Cepat rusak kalau terlalu diplintir. Yang tebal-tebal aja lu giniin. Macam jeans boleh lah. Sprei besar dan berat, masih oke lah. Handuk juga bisa. Kaus mah jangan. Lagian kalau tipis kan lu kuat peras pakai tangan."
Nayara mengangguk dengan mata berbinar. Merasa terberkati mendapat teman sekamar seperti Gia. Sampai detik ini Gia tidak bertanya kenapa dia kabur dari rumah. Tapi Nayara memastikan dia akan ceritakan semuanya pada Gia. Masih banyak waktu untuk itu. Saat ini, biarlah Gia membantunya beradaptasi dengan gaya hidup yang baru.
Sungguh, turun life style itu tidak menyenangkan. Nayara tahu itu. Tapi merasakannya langsung sungguh berat. Dan dia pun tahu, ini belum apa-apa.
Everything will be okay, Nay.
***
Bersambung
Author's note:
Jujur, Emak lebih kasihan lihat orang yang jatuh miskin daripada lihat orang yang tujuh turunan miskin.
Kenapa?
Yang tujuh turunan miskin, mereka sudah terbiasa hidup begitu. Ketika naik bis, dapat duduk aja sudah thx God. Dapat nasi berkat ya merasa terberkati banget. Alhamdulillah, nggak usah keluar uang beli makan. Hal-hal receh yang sering orang banyak duit remehin.
Bandingin sama orang kaya yang jatuh miskin. Nyetir mobil sendiri mereka masih ngeluh karena biasa disupirin. Dikasih nasi berkat mereasa terhina karena merasa terima sedekah. Naik taksi aja ngeluh apalagi naik metro, eh, sekarang nggak ada metro ya.
Intinya sih di rasa bersyukur.
Bahagia itu berbanding lurus dengan rasa bersyukur. Kalau ada resep bahagia yang lebih simpel dari ini, let me know ya. Selama ini saya hidup nyaman dengan formula ini.
Termasuk bahagia aja dikomen next atau bab kependekan. So far komen-komen kalian bikin Emak hepi. Makanya, rajin-rajin komen ye. Biar Emak hepi, pikiran tenang, lalu Emak bisa nyenyak. Eh, bisa nyaman ngetik bab baru.
Emak tunggu komen, love, subs, & followsnya ya... buat new comers, selamat datang. Di sini santuy aja. Emak suka bikin kalian baper tapi Emak sendiri nggak baperan kok.
Thanks and happy reading. Jangan lupa bahagia seperti Nayara ya. 😘😘😘
[Rabu, 28 Juli 2021]
ITU adalah kejadian setahun lalu. Saat ini Nayara sedang berusaha mengumpulkan uang kuliah setelah berhasil membayar uang kos tahun kedua. Satu tahun ini dia terpaksa cuti kuliah. Nayara benar-benar tak sanggup mengumpulkan uang semester kampusnya yang baru sekarang dia rasa sangat mencekik. Sepanjang satu semester kemarin, dia full bekerja. Apa pun dia kerjakan termasuk di katering hasil rekomendasi ibu angkatnya. Ah, dia yang menahbiskan dirinya sebagai anak angkat. *** Beberapa bulan setelah pergi DI pagi menjelang siang itu Nayara antara panik dan ketakutan. Dia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Dia merasa sudah amat sangat-sangat teramat berhemat sekali. Jumlah yang dia bawa dari rumah papa Jaya dulu hanya untuk bersenang-senang beberapa hari saja. Paling lambat seminggu. Kalau dia bisa bertahan tiga bulan dengan jumlah yang sama setelah dipotong biaya kos, itu adalah penghematan
TAPI ternyata tujuan mereka tidak sejauh yang Nayara kira. Tidak jauh dari perempatan, Gia masuk ke sebuah ruko.“Maakkk…” Gia tidak merasa harus menjaga suaranya agar terdengar anggun. Nayara yang masih kesal dan terengah-engah ternyata masih ada tenaga untuk menggerutu sambil membaca papan nama.Rumah Makan Tante Tita.Tu anak kapan warasnya sih? Mau makan gratis malah ke rumah makan gini.Sementara Nayara masih terengah dan menggerutu di luar, di dalam Gia sudah menyambar apron dan langsung dia pakai. Mendekati jam makan siang memang tempat ini semakin ramai. Setelah apronnya terpasang, dia mengambil apron satu lagi lalu langsung ke Nayara yang masih tercenung di teras ruko.“Eh, Bekicot Sawah, ngapain cengok di situ? Setan malas nyamber kalau siang gini. Panas.” Gia langsung menegakkan tubuh Nayara dan memasang apron yang dia bawa.
GIMANA proposal lu?” tanya Gia ketika Nayara masuk dan langsung rebah di ranjangnya dengan muka lusuh tertekuk-tekuk.“Papyrus nggak mau ngeluarin data kalau belum ada izin dari big boss,” jawabnya menggerutu.“Kan tinggal minta sama Pak Wirya aja.”“Itu boss Papyrus. I said big boss, founder Sastra MediaNesia. Manggala Abipraya Sastradinata.”“Ohh…” Gia mengerucutkan bibirnya. “Terus masalahnya apa lagi?”“Ya gue harus ketemu langsung sama si Mamang.”Hah? Mamang?”“Manggala itu.”“Panggilannya Mamang?”“Katanya dia marah kalau dipanggil Mang, Mamang, tapi ya kalau nggak ketauan kan bodo amat.”“Memang sudah kakek-kakek marah dipanggil Mamang?”“Nggak tau. G
SETELAH ditinggalkan semena-mena oleh Manggala, Nayara merasa pikirannya kosong. Lelah semakin terasa. Tak peduli panas matahari menjelang tengah hari yang menusuk kulit, dia berjalan lunglai di trotoar. Perutnya berbunyi hebat. Nayara memang begitu, semua lari ke lapar dan tidur. Jika sedih, dia lapar, dia makan, lalu tidur. Marah dan stres pun begitu. Mungkin aktifitas hariannya yang padat memang membutuhkan energi sebanyak itu.Dia melangkah tak tentu arah. Hanya berpikir kapan waktu yang tepat untuk bertemu founder Sastra MediaNesia. Maksudnya, kapan jengkelnya hilang sampai dia sanggup beramah tamah dan bersopan santun pada Manggala. Butuh waktu berapa lama sampai dia merasa sikap Manggala yang sok sibuk itu adalah wajar mengingat founder itu sibuk dan dia yang salah datang terlambat.Tanpa sadar dia sudah jauh dari jalan arteri.Perutnya benar-benar minta diisi. Dia melirik jam
SETELAH berbalas email beberapa kali akhirnya Nayara berhasil bersepakat dengan Lydia urusan janji temu dengan Manggala. Dan di sanalah Nayara sekarang. Duduk santai di sofa menunggu Manggala datang. Kedatangannya yang lima belas menit lebih awal disambut senyum ramah Lydia. Proposal sudah dia serahkan sejak awal. Tapi dia tetap membawa hard copy proposal juga. Lima menit menuju jam 9, Manggala datang. Nayara berdiri menyambutnya dan menganggukkan sedikit kepalanya. Lalu ketika Manggala masuk ke ruangannya, dia kembali duduk. Menunggu diizinkan masuk. Kali ini penampilan Nayara tidak sekacau sebelumnya. Meski style-nya masih sama tapi Nayara jelas terlihat lebih rapi. Tidak ada tragedi berlari dari halte yang membuatnya mandi keringat, terengah, dan kejadian-kejadian lain termasuk mengiba. Intinya, pagi ini semua aman terkendali. Sambil menunggu dipanggil, Nayara membaca kembali proposalnya. Berusaha menebak-nebak apa yang kira-kira akan dit
NAYARA butuh ide untuk skripsinya. Juga untuk novelnya. Tapi jengah membuatnya buntu otak. Sehingga dia berakhir di Rumah Makan Tante Tita. Melalui pesan WA Nayara mengajak Gia ke sana. Tapi ajakannya baru bisa dipenuhi ketika Gia sudah pulang kerja. Di sana Nayara menghabiskan energi dan kesalnya dengan menggosok meja. Bahkan ketika Mak Tita meledeknya untuk menggosok kamar mandi Nayara mengiyakan saja. Dia sudah ahli menggosok kamar mandi berkat didikan Gia dan latihan setahun lebih di kos. Dia merapikan nyaris semua hal di sana. Mak Tita membiarkan saja Nayara begitu. Malah menyemangatinya. Lepas maghrib, Nayara mulai kehabisan tenaga, tapi pengunjung justru semakin ramai. Lalu bala bantuan datang. Gia langsung bergabung dengan kesibukan kedai. Nyaris jam sembilan tapi pengunjung belum juga putus. Nayara dan Gia sudah menyerah sejak jam delapan. Mereka berakhir di meja kasir, menemani Mak Tita menerima pembayaran. “Sudah puas?” tanya Mak Tita yang jelas di
MAK Tita bangun dari kursi lalu menuju dapur. Menyendok nasi dan beberapa jenis lauk dan sayur di piring-piring terpisah. Sudah malam. Lauk yang tersisa pun sudah sangat terbatas. Lalu dia menyusun semuanya di nampan lebar. “Antar ke atas nih, Gee,” suruh Mak Tita sambil meletakkan sebotol air mineral di nampan. Gia bergerak gesit dan mengambil nampan dengan wajah cerah. “Wah, langganan spesial, Mak?” sahut Nayara. “Diantar ke atas loh.” “Soalnya dia nggak milih makan apa. Dikasih apa juga dia makan.” Tak lama Gia datang. “Ganteng sih, tapi sombong,” lapor Gia menyampaikan kesannya sambil mencebik. “Kalau orang ganteng namanyacool. Kalau jelek namanya sombong. Gimana sih lu. Nggak ngerti-ngerti aja perbedaan orang ganteng dan orang jelek,” sahut Nayara. “Dia memang begitu. Nggak banyak omong. Selalu ke sini sendiri. Katanya sih dia suka makan di sini karena menu makanan rumahan banget.” Mak Tita melirik jam, lalu
BAGI Manggala, malam itu sama seperti malam yang lain. Berusaha untuk bisa tertidur dengan berbagai cara. Lampu di kamarnya sangat temaram. Musik yang begitu lembut terdengar dari sound system. Asbaknya sudah penuh puntung rokok membuat harum aroma terapi terasa sangat sia-sia. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari tapi matanya tetap terbuka tanpa kantuk sedikit pun.Merasa sia-sia berusaha, putus asa, Manggala menyambar strip obat di nakas. Mengambil isinya sat u butir lalu menenggaknya malas. Lalu dia kembali memperbaiki posisi tidurnya. Menutup rapat-rapat selimut bahkan sampai menutupi seluruh kepala. Usahanya yang terakhir adalah memejamkan mata dan menghitung satu sampai seterusnya. Walau hitungannya sering terganggu kalimat dan wajah yang menyebutkan kalimat itu, dengan usaha keras, akhirnya Manggala bisa tertidur.***Bagi Manggala, pagi itu sama seperti pagi yang lain. Bangun tanpa rasa segar, menggeliatkan tubu
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,