Di benak Avanthe terus mengumamkan suatu pernyataan. Makhluk seperti Hores pasti menyesali keputusan untuk melenyapkan Laticia sekadar membelanya. Pria itu tak benar – benar melakukan perlindungan atas nama cinta, dan kemungkinan besar hanya suatu tujuan supaya segala sesuatu yang pernah dilakukan dapat kembali dipecaya.
Namun, itu adalah hal paling mustahil setelah hari ini, kemarin, dan mungkin di waktu yang akan datang. Avanthe duduk terpaku di pinggir ranjang. Dia tidak melakukan apa – apa setelah Hores meninggalkannya sendirian di kamar, sempat mengunci pintu, kemudian, di sini, Adriana muncul membawa beberapa perangkat untuk membersihkan sisa pecahan piring yang melayang jatuh dan berhamburan. Tidak ada minat mengawasi apa pun yang sedang wanita itu lakukan. Avanthe membiarkan iris matanya menatap lurus – lurus ke luar jendela. Tempat di mana kehijauan, alam asri, yang terkumpul menjadi satu keindahan di kejauhan. Di sana, kebebasan begitu liarAvanthe berada di balkon kamar, mengulurkan sebelah lengan ke udara sekadar mengambil drone yang terbang—diam—begitu dekat di hadapannya. Benda yang dikendalikan Kai dari jarak cukup jauh, tetapi pria itu masih bisa mengantisipasi kapan harus berhenti. Di sini, ketika tangan Avanthe sudah memisahkan dua jenis barang yang diikat di kaki drone, dan memasukkan ke saku celana, lalu dia membiarkan Kai membawa benda terbang tersebut menghilang. Samar – samar pandangan Avanthe menjadi titik hitam. Drone sudah bergerak cukup jauh, dia perlu kembali masuk ke dalam kamar, menutup pintu balkon, hingga bersikap seolah tidak pernah terjadi apa pun. Sambil melirik ke sekitar. Avanthe mengeluarkan kecoak hidup dari plastik, ya, hidup, untuk kemudian berjalan secara perlahan ke kamar mandi, melempar asal ke atas lantai yang lembab. Ini bagian dari rencana, hal yang telah dipikirkan matang – matang. Avanthe akan menunggu Adriana datang membawa sarapan, sementara itu,
“Sialan!”Hores mengumpat keras persis di halaman belakang rumah, menghadap pintu yang mencegah keputusannya untuk mengejar. Avanthe telah berani melakukan tindakan melarikan diri. Ingin menguji sejauh mana dia bisa lebih sabar, yang sebenarnya tidak sama sekali. Hores tidak pernah memiliki sedikitpun tentang hal itu. Tidak. Hanya kebetulan Hope terduga lebih rewel, menggeliat, sehingga dia berjalan ke dapur, berniat menitipkan si bayi sebentar kepada Shilom.Pada awalnya memang seperti itu. Hores sedikit berniat pergi ke kamar utama, menyusul Avanthe supaya mereka bisa berdamai, dan meminta agar wanita itu mau membujuk, tentunya tidak akan ada penolakan mengenai apa pun yang melibatkan Hope. Celakalah, keberanian Avanthe justru telah mengubah sedikit, setidaknya sesuatu yang telah Hores putuskan untuk lebih baik. Melarikan diri bersama pria tak diinginkan ....Hores berdecih sinis. Lewat langkah lebar memutuskan sekadar kembali ke dapur. Nicky di sana sudah me
“Sialan kau, Ava!” Hores mengumpat setelah menemukan ponsel di bawah ranjang. Kamar sudah hampir tak berupa, tetapi dia masih harus mengetahui percakapan di antara serentetan pesan di sana. Pelbagai rencana yang dibuat, dilakukan dengan mulus, dan akhirnya berhasil untuk melarikan diri, seperti memasak Hores ke dalam kemarahan lebih terjal. “Pelacur sialan!” Dia mengumpat lagi, lebih kasar sembari membanting ponsel di tangan hingga hancur secara sepesifik, menjadi beberapa keping dengan layar tidak layak diampuni. Luapan emosi harus ditanggung, dan satu – satunya yang paling diinginkan membayarnya adalah Avanthe. Rahang Hores bergemelatuk saat membayangkan kembali keputusan melarikan diri darinya. “Akan kubuat kau menyesali keputusan yang kau ambil, Ava. Percayalah.” Jemari tangan Hores mengetat keras. Sorot mata yang menyala – nyala tidak akan berhenti sampai kemudian langkah kaki seseorang datang secara terburu. “Tuan, ka
“Kau sudah mendapatkanku, Hores. Mengapa tidak melepaskan Kai. Biarkan dia pergi.”Tanah bebatuan terkadang menjadi guncangan di tengah perjalanan. Avanthe menatap lurus ke penjuru hutan. Kekhawatiran mengenai Kai tidak pernah habis. Sisa bawahan Hores masih memburu, mengejar pria itu sesuai perintah dari sang majikan. Dia tak bisa membayangkan tindakan Hores yang paling mendasar dan cara pria itu yang telah memenangkan taruhan. Tidak. Tentunya akan begitu banyak rasa sakit, andai Kai, tak dapat berbuat apa pun terhadap usaha meninggalkan tempat bersemak, atau setidaknya pria itu dapat bersembunyi hingga orang – orang yang mengintainya hilang dari peradaban.Tidak ada respons apa pun. Wajah Avanthe berpaling untuk mengetahui seperti apa kemungkinan terbaik yang bisa dia terima dari kebutuhan bernegosiasi. Celakalah, wajah Hores terlalu suram untuk diajak kompromi. Ini akan menjadi keputusan terburuk, jika Avanthe masih ingin mencobanya. Dia tidak tahu sejauh mana Hores akan
“Kau yakin akan menitipkannya kepadaku?” Masih ada pelbagai perasaan ragu, tetapi Avanthe tidak pernah memiliki pilihan setelah untuk pertama kali melahirkan gadis kecil yang cantik, kemudian menyerahkannya kepada satu orang begitu dekat. Kingston. Hanya saudara sepupu-nya yang bisa Avanthe percayakan supaya dia bisa memastikan keadaan selalu dalam kendali. Kelahiran bayi mungil ini akan menjadi masalah besar bagi dua kerajaan yang bertentangan. Avanthe tidak ingin mengambil risiko yang terlalu riskan. Dia menatap wajah merah dan bulat—seluruh tubuh bayi-nya nyaris dibungkus dalam balutan kain sutra lembut. Sekarang, dengan perasaan hampir tak dapat ditembus, Avanthe harus memindahkan bayi dalam dekapan tangannya ke lengan Kingston. Pria itu, bagaimanapun harus berakhir siap. Lamat sekali Avanthe mengamati wajah mungil si bayi yang diliputi mata memejam. Dia tersenyum tipis, nyaris menyerupai getir ketika memutuskan untuk mencium aroma putri kecilnya. Ini yang terbaik. Akan sela
Avanthe mungkin mengatakan betapa dia menolak untuk menatap wajah Hores, atau apa pun yang berusah berikatan langsung tentang pria itu. Namun, saat Shilom akhirnya pergi menemui majikannya, hal tersebut tidak lagi memberi Avanthe pilihan. Dia ingin tahu bagaimana reaksi Hores, masihkah pria itu merasa paling berkuasa setelah peristiwa yang mereka alami terasa begitu menyedihkan? Sepertinya tidak untuk kali ini. Avanthe cukup terkejut menyaksikan percakapan yang dibatasi kaca rumah sakit. Sempat mengira akan mendapati ekspresi wajah Hores berubah kelam, tetapi itu ternyata jauh lebih buruk dari perbandingan. Penyesalan yang suram terlihat luar biasa nyata di sana, di garis mata gelap pria tersebut dan yang sungguh mengungkapkan segalanya. Avanthe berpaling ketika Hores menunjukkan gestur sekadar memindahkan perhatian ke arahnya. Tak perlu ada kontak mata. Dia tak pernah menginginkan akan terpaku, jatuh, atau apa pun mengenai pria itu la
Avanthe menjatuhkan perhatian lurus – lurus ke depan, ke arah kolam yang tenang dan pantulan pohon di permukaan air yang menarik perhatian. Angin sesekali berembus, saat itulah dia mendapati suara daun bersentuhan. Sedikit menenangkan, meski tidak sepenuhnya meninggalkan bagian terburuk di benak yang cenderung kelam. Dia masih belum bisa meninggalkan aroma keji Hores yang seolah telah melilit seluruh perasaan, tak akan hilang walau dia mungkin mengajukan pertanyaan bagaimana cara melenyapkan. Setelah sisa ingatan pulih kembali. Avanthe merasa sudah waktunya meminta jemputan. Sesekali dia akan berpaling ke sekitar, mencari keberadaan Hores, untungnya pria itu tak menyusul atau Hores akan tahu apa yang dilakukannya. Tidak ada ponsel, terutama barang – barang elektronik akan melepaskan jejak. Avanthe tak bisa menggunakan apa pun itu, milik Shilom, atau ponselnya yang tertinggal di bawah ranjang. Mimpi sebelum dia terseret kembali ke permukaan telah memberinya petunj
Tubuh Avanthe tersentak kaget begitu tangan dingin Hores bersentuhan langsung dengan kulit lengannya. Pria itu ingin menggenggam lembut ... Avanthe segera menepis, cukup kasar diliputi amarah yang menatap tegas ke dalam mata gelap—hampa—nyaris tidak ada ruang menatap pantulan sendiri di sana. “Pergilah. Aku tidak pernah mau menatap wajahmu seumur hidupku. Pengecut. Kau adalah pengecut. Aku membencimu, Hores. Sangat – sangat membencimu.” Suara Avanthe bahkan terlalu sulit dikendalikan. Dia bicara dan gemetar. Berusaha menahan diri. Tidak bisa. Itu tidak dapat dicegah. “Aku cemburu, Ava. Kemarahan membuatku gelap mata. Maaf ....” “Permintaan maaf-mu tidak akan pernah mengembalikan nyawa anakku yang kau bunuh.” Mengingatnya lagi makin menambah rasa sakit. Wajah Hores yang menunduk membuat semua menjadi abu – abu. Penyesalan tidak akan mengakhiri semua dalam sekejap. “Sekarang enyalah dari hadapanku, Hores. Kembalikan Hope, ka
“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh kebutuhan untuk memulai. Dia menatap Raja V
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan. “Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah
“Hores?” Seperti ada gemuruh besar dengan segala bentuk sambaran mengerikan. Avanthe menatap wajah Ellordi penuh tanda tanya. Dia tak ingin percaya terhadap apa pun itu. Tidak ada penjelasan gamblang mengenai keadaan Hores saat ini, tetapi mengapa rasanya seperti telah membawa dia menghadapi pendekatan yang jelas, di mana kekhawatiran berakhir sebagai rayuan tidak masuk akal. Hores baik – baik saja ... akan selalu begitu. Pria itu harus kembali untuk anak – anaknya. Bukankah Aceli sudah menunggu? Meminta supaya Avanthe membangunkan ketika Hores datang? Sekarang apa yang bisa dilakukan setelah semua terasa mengejutkan? Avanthe menatap ayahnya sambil menggeleng samar. Bagian paling penting adalah menyingkirkan tumpukan air yang membentuk percikan kaca. Dia melihat semua dengan buram, sama seperti berjuang keras meyakinkan perasaannya, meski tidak ada harapan tersisa. “Jangan katakan itu, Papa,“ ucap Avanthe mendeteksi akan ada suatu informasi u
Pernyataan Hores mengenai perang di wilayah pria itu menjadi suatu bagian paling nyata, bahwa mereka ... meski tidak terlibat; juga mengalami dampak serius. Suara – suara ledakan hingga guncangan yang sesekali terasa begitu keras merupakan prospek terburuk. Avanthe bertanya – tanya pertempuran seperti apa, atau barangkali perebutan hak dari mana sehingga nyaris tidak ada damai di Kerajaan Bawah Tanah. Dia khawatir mengenai Hores, takut jika akan terjadi suatu hal tak diinginkan dan berakibat fatal. Rasanya sesuatu di dalam diri Avanthe seakan ingin memberi petunjuk. Dia tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, hanya tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu apakah seharus ini mendambakan Hores baik – baik saja, maka pria itu akan kembali mendatangi anak – anak, apalagi ... jika secara ajaib mereka bisa berdamai. Membayangkan andai perasaan mereka kembali utuh. Anak – anak juga akan menyukainya; tidak ada pemisahan dan pelbagai hal lain yang menjadi masalah besar.“Mommy,
Pernyataan Hores terdengar penuh pengalihan serius. Perkara pancake itu lagi dan permasalahan yang selalu sama ....Avanthe diam beberapa saat, terpaku, memikirkan kembali pengajuan Hores sebagai berikut;Apa yang dia ingin pria itu katakan?Tidak banyak, tetapi Hores telah mengatakannya. Ya, setidaknya Avanthe mengerti ... betapa dia perlu menyadari bentuk kesalahpahaman yang menyemat di sana dengan suatu pengakuan nyata. “Dan kau percaya aku akan melakukannya?” tanyanya sarat ekspresi nanar. Ini lebih buruk dari membayangkan Hores telah sadar dari setiap tindakan buruk. Avanthe ingin tahu, adakah cara ampuh untuk menarik Hores ke permukaan, memberi pria itu petunjuk, atau sejenis lainnya, tetapi bagaimana? Dia belum menemukan cara. Dengan desakan putus asa dalam dirinya, reaksi Avanthe yang paling murni adalah menunduk saat Hores seperti tidak memiliki niat menanggapi. Pria itu selalu percaya terhadap apa yang menurutnya benar, tetapi lupa bahwa logika juga h