“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan.
“Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh
Bagi Hores, rasa sakit dan kehancuran Avanthe adalah segalanya. ***“Aku akan membalaskan kematian ayahku, Ava.”Nada bicara Hores bergetar dikuasai dendam. Semula dia memiliki perasaan yang mendambakan, kemudian semua itu berbalik menjadi sebuah perasaan benci yang mengalir kental. Avanthe bisa memilih tidak merenggut nyawa Raja Vanderox, tetapi wanita itu melakukannya. Ntah atas dasar memerdekakan Aceli atau Pandora, Hores tidak begitu peduli. Dia pastikan Avanthe akan membayar kehilangan ini dengan mahal. Tidak apa – apa jika Avanthe memiliki pengetahuan yang hijau. Namun, wanita itu tahu, sangat tahu bagaimana Hores tidak bisa memihak salah satunya. Sekarang Hores tak punya alasan terus terngambang di antara dua pilihan.Cengkeramannya luar biasa kasar di tulang rahang Avanthe. Hanya perlu satu tindakan menyakitkan, maka kematian Avanthe segaris dengan batas kehidupan wanita itu. Hores menyeringai sinis. Ketakutan di mata Avanthe menjadi siraman asing dan menyenangkan. Dia mend
Batapa pun Avanthe berusaha berontak terhadap kekejaman Hores. Dia telah menemukan bahwa pria itu satu – satunya yang paling membencinya. Tidak ada ruang untuk melarikan diri. Avanthe dikurung, diperbudak seperti wanita tak berguna. Nyaris dengan waktu yang begitu panjang Hores hanya membiarkan Avanthe terpekur; bertanya – tanya bagaimana kondisi ayahnya?Sepanjang lorong penjara, Avanthe tak menemukan, atau barangkali mencium keberadaan ayahnya, Ellordi. Dia tak peduli apabila Hores akan melakukan penyiksaan paling brutal. Akan tetapi satu; Avanthe hanya ingin pria itu memenuhi permintaan sederhana.Tidak apa – apa jika dia harus menanggung semua kesakitan. Tidak ada lagi hal yang bisa Avanthe harapkan dari kecintaannya kepada pria, yang pula menjadi ayah kandung Aceli, gadis kecil mereka, termasuk janin dalam kandungan Avanthe.Dia tak mungkin mengatakan kepada Hores tentang kehamilan ini. Kebencian Hores akan semakin runyam. Bahkan menemukan cara dan menganggap kandungan Avanthe ad
Avanthe terdiam ketakutan. Dia memusatkan perhatian lurus – lurus menatap dinding suram. Sudah menunggu untuk waktu yang lama. Sejujurnya, Avanthe sungguh tak berharap akan melayani Hores, tetapi jika hanya dengan cara itu bisa membebaskan ayahnya. Dia akan melakukan apa pun. Mungkin Hores hanya terlalu marah. Mungkin Hores akan kembali seperti semula setelah mereka bercinta. Oh ....Avanthe mendengkus kasar.Apa yang dia pikirkan? Keyakinannya tentang hubungan mereka telah mutlak. Avanthe tak akan bisa berbuat apa pun. Perlahan, dia mengedarkan pandangan pada sepetak penjara yang menyesakkan. Tidak ada secuil celah supaya bisa merangkak lari setelah urusannya selesai. Prospek menguntungkan seolah mengutuk keberadaan Avanthe di sini. Dia mengulurkan lengan secara tentantif memeluk kedua lutut yang ditekuk. Setiap pergerakan Avanthe diikuti bunyi rantai di pergelangan tangan dan kaki. Rantai itu mungkin masih tergolong panjang sehingga sekadar berjalan beberapa langkah. Sesekali A