Avanthe terdiam ketakutan. Dia memusatkan perhatian lurus – lurus menatap dinding suram. Sudah menunggu untuk waktu yang lama.
Sejujurnya, Avanthe sungguh tak berharap akan melayani Hores, tetapi jika hanya dengan cara itu bisa membebaskan ayahnya. Dia akan melakukan apa pun. Mungkin Hores hanya terlalu marah. Mungkin Hores akan kembali seperti semula setelah mereka bercinta.Oh ....Avanthe mendengkus kasar.Apa yang dia pikirkan?Keyakinannya tentang hubungan mereka telah mutlak. Avanthe tak akan bisa berbuat apa pun. Perlahan, dia mengedarkan pandangan pada sepetak penjara yang menyesakkan. Tidak ada secuil celah supaya bisa merangkak lari setelah urusannya selesai. Prospek menguntungkan seolah mengutuk keberadaan Avanthe di sini. Dia mengulurkan lengan secara tentantif memeluk kedua lutut yang ditekuk. Setiap pergerakan Avanthe diikuti bunyi rantai di pergelangan tangan dan kaki. Rantai itu mungkin masih tergolong panjang sehingga sekadar berjalan beberapa langkah. Sesekali Avanthe mencoba membuka rantai menyedihkan ini. Namun, rasa sakit itu tak bohong. Benar – benar menjerat. Ada sesuatu yang mengalir. Sesaat Avanthe merasakan tulang – tulangnya disengat begitu brutal.Dia langsung meringis, untuk keberkian kali mendapati golakan dahsyat tersebut. Bekasnya mungkin akan sangat terlihat. Avanthe mengamati setiap denyut di pergelangan tangannya. Terlalu buruk memaksakan diri terbebas.Beberapa waktu ketegangan menembus ke tulang punggung. Langkah kaki tegas menggema di lorong gelap. Avanthe beringsut hati – hati. Kecurigaannya jatuh pada kedatangan Hores.Harusnya dia menemukan pria itu menjulang tinggi di ambang gerbong penjara, tetapi seorang prajurit—menatap dengan cara merendahkan akhirnya mengambil satu langkah mendekat. Sebuah kain utuh terlempar sampai di pangkuan Avanthe. Dia menunduk ... tidak mengerti apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah dia dimintai mengenakan pakaian baru setelah yang saat ini membalut di tubuh, begitu lusuh dan kotor?Avanthe segera menengadah; Di tangan prajurit tersebut terdapat gemerincing anak kunci meliputi. Dia terpaku. Berdebar, ketika tindakan – tindakan kasar membuatnya terbebas dari ikatan menyakitkan.“Cepat ganti baju-mu. Raja sudah menunggu untuk ditemui.”Begitulah ....Avanthe gugup. Bagaimanapun itu, dia memberi sebuah isyarat kepada prajurit di hadapannya agar segera membalikkan tubuh untuk tak melihat apa pun. Sekujur tubuh Avanthe terasa sakit. Dia mencoba versi terbaik dari setiap tindakan yang dilakukan.Akhirnya itu memungkinkan sang prajurit menuntun sebuah jalan menuju rasa sakit yang lebih besar.Avanthe nyaris tidak percaya terhadap pengelihatan sendiri. Dia tak pernah mengenal Hores dengan pelbagai perangkat penyiksaan di belakang bahu pria itu. Ruangan ini dipenuhi warna merah yang pekat. Satu istilah di mana menggambarkan betapa Hores memiliki naluri ekstrimis.Mendadak kenangan bagaimana pria itu pernah bersikap begitu lembut mendesak ke dalam benak Avanthe. Tatapan Hores menyapunya secara intens. Dan kalau Avanthe tak salah lihat; itu jelas – jelas rasa benci yang berkamfluse sebagai gairah liar.Iris gelap Hores berlama – lama di bibirnya. Avanthe ingin marah. Kalau saja mereka adalah sepasang kekasih seperti dulu. Mungkin dia akan mengajukan protes. Sedikit perdebatan ringan akan terjadi, tetapi ini tak seperti yang dia lihat. Pria itu berbeda.“Kau boleh pergi.”Demikian yang dikatakan kepada prajurit. Secara ajaib rasa tunduk itu begitu besar, prajurit menghormati raja-nya, tetapi perbandingan yang kontras ketika masih berada di ruang penjara.Avanthe segera memindahkan sorot mata ketika Hores menembus jarak di antara mereka. Hanya berdua. Menyakitkan. Avanthe tak ingin melihat wajah keji yang tergambar runtut di sana. Dia gemetaran memalingkan wajah setelah tidak memiliki upaya lain menghindari kontak mata yang intim.Sulur – sulur geraman Hores terdengar mengerikan.“Aku ingin tahu di mana Aceli.”Putri kecil mereka ....Tidak.Avanthe menipiskan bibir-nya yang kering. Hores akan tahu, tetapi dia tidak akan mengatakan apa pun.“Kita sudah sepakat tinggal bersamanya, bukan? Mengapa kau meninggalkan Aceli hanya untuk datang ke medan perang dan membunuh ayahku?”Pertanyaan Hores sarat nada menuduh. Pria itu dengan berani mengatakan sesuatu antara mereka yang kerasan buruk. Namun, melupakan fakta bahwa Hores-lah yang meninggalkan rencana indah tersebut.Perjalanan ke Peru ....Hores adalah dewa bawah tanah. Putra mahkota dari Kerajaan Faerox. Salah satu kemampuan yang pria itu miliki adalah membelah diri menjadi dua. Avanthe tahu yang bersamanya saat mengatur perjalanan ke Peru adalah Hores yang lain. Sementara Hores sesungguhnya, dia yakin ada di istana bawah. Betapa manipulatif. Malahan, Hores seharusnya mendapat apresiasi tinggi terhadap ingatannya yang begitu tumpul.“Kau lupa tentang semua yang kau lakukan?” tanya Avanthe sinis. Barangkali membawa Hores menyelam kembali ke tujuan pria itu sendiri bisa membuat Hores sadar.Lekuk suram di bibir Hores akan segera menuntut pria itu mengatakan sesuatu yang gamblang.“Aku tidak pernah lupa terhadap apa yang sudah aku lakukan. Bahkan yang pernah kau lakukan sekalipun, itu tidak akan pernah hilang.”Satu cengkeraman hebat di rahang Avanthe. Udara mendadak terasa sempit. Hores selalu menyudutkannya dari segi mana pun.“Sekarang katakan di mana Aceli? Bersama kakak sepupu-mu?”Itu benar. Sedari awal Hores sudah bisa menebaknya, dan memilih kejujuran yang tidak akan pernah Avanthe katakan.“Jangan lakukan apa pun padanya, Hores. Karena ayahmu-lah kau tahu Aceli tidak pernah merasa sangat dekat dengan kita.”Avanthe tidak mengerti mana yang salah. Apakah kata ‘kita’ terlalu sensitif sehingga pria itu memutuskan untuk berdecih sinis.“Aku sudah tidak peduli tentang apa pun itu.”Seringai Hores kejam. Avanthe menelan ludah menyaksikannya.“Mengapa kau masih bertanya keberadaannya?” Dia merasa keluh, tetapi tetap mencari kebenaran dari keinginan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan kalau Aceli tidak akan pernah tahu jika ibunya akan menjadi budak-ku.”Ntah kali ke berapa Hores mendorong wajah Avanthe dengan kasar. Tenaga pria itu besar. Avanthe melihat jelas kilatan marah di mata Hores. Kabut gelap menyelimuti wajah sang raja yang tampan, dan dengan itu, Hores mengubah dirinya menjadi asing.“Siapkan dirimu untuk pernikahan besok.”Avanthe terpaku lamat. Pria itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Pernikahan? Avanthe pikir ... dia sudah begitu takut kalau – kalau Hores akan melakukan bagian terburuk padanya. Beberapa waktu lalu pria itu meminta untuk dilayani. Sekarang. Avanthe nyaris tidak bisa percaya kata – kata yang dia terima.Tidak mungkin! Hores gila jika berpikir Avanthe ingin menikah setelah cara pria itu memperlakukannya. Dia berjuang mencari cara. Lurus – lurus menatap Hores tidak setuju. Ada satu keinginan yang ingin Avanthe katakan, tetapi Hores lebih dulu mencakar tenggorokannya dengan satu persyaratan tak lazim.“Kau tidak bisa menolak, karena aku hanya akan membebaskan ayahmu setelah pernikahan besok. Tapi, tetap harus kau ingat bagaimana posisi yang akan kau dapat. Wanita sepertimu hanya pantas menyandang status sebagai selir-ku.”Dulu, menjadi pengantin Hores adalah dambaan Avanthe paling nyata. Dia selalu berharap akan mengenakan gaun pernikahan yang indah, melangsungkan sebuah ikatan secara resmi di istana. Menikmati masa – masa paling mengesankan lewat peristiwa melegakan.Namun, sekarang, setelah pernikahan, setelah Hores memanfaatkan keberadaan ayahnya untuk mengikat mereka ke dalam hubungan yang utuh. Avanthe merasakan jantungnya berdebar keras. Dia melihat para prajurit membawa Ellordi yang terluka parah. Itu tidak adil. Ayahnya bahkan, dengan segala rasa tidak setuju terhadap pernikahan ini, nyatanya tidak bisa membuat sebuah keputusan mutlak. Avanthe telah terikat. Secara tidak langsung telah menyandang gelar ratu, tetapi Hores telah menjanjikan bahwa Avanthe tidak akan pernah menjadi ratu utama. Selir. Perlu garis tambahan. Dia adalah selir. Tidak akan berarti apa pun bagi sang raja; kecuali dipaksa untuk berbagi kebutuhan dan saling bergairah, ntah dia setuju atau bahkan bagian terburuknya; tak per
“No!”Avanthe berontak hebat. Darah keemasan menciprat, merembes deras dari pangkal leher yang terputus. Kepala ayahnya baru saja bergelinding sampai ke sudut ruangan. Bagaimana mungkin itu terjadi secepat kilat menyambar. Avanthe tak menyangka Hores dengan keji melakukan tindakan demikian setelah menipu berkali – kali dan memberi harapan yang begitu sia – sia.Otot kaki Avanthe melemah. Dia segera bersimpuh. Air di mata telah berurai. Bunyi gemerincing rantai menghias isakan tangis, tetapi itu tidak memberi Hores pengaruh. Kerapuhannya adalah gersang yang tersiram oleh tumpukan es bagi pria itu. Hanya seringai puas dan hasrat membara berkilat di mata gelap Hores.“Bawa sampah – sampah ini pergi.”Perintah tersebut ditujukan kepada sang prajurit supaya segera membebaskan dua tubuh Ellordi yang terpisah. Tidak!Avanthe tersaruk – saruk berusaha merangkak mendapati tubuh ayahnya. Dia nyaris menyentuh bagian pergelangan yang terikat. Namun, Hores yang kejam menghentikan tindakan tersebu
Dicambuk dengan besi panas setelah disentuh secara paksa. Mana lagi yang lebih hina?Sesaat lalu, beberapa prajurit datang menggebrak sepetak ruangan kosong. Avanthe dilempari pakaian baru. Dia dipaksa mengenakan kain hitam terbuka; menampilkan setiap lekuk di tubuhnya dengan cara paling menyedihkan. Kemudian, sebuah perintah untuk merangkak di atas pijakan berduri telah membuatnya terdampar di sini.Di satu tempat di mana Hores duduk bersandar dengan segala kepuasan tergambar utuh di wajah itu. Avanthe memejam kesakitan. Setiap gerakan cambuk sangat - sangat melukai punggungnya, menciptakan bunyi – bunyi rantai yang menjerat untuk saling bersinggungan. Dia berjuang menahan erangan, tetapi itu lebih sumbang dari pada membiarkan udara berembus lewat celah bibir.Sepenggal – penggal pertanyaan bersarang di benak Avanthe. Dia mencoba memahami kolerasi terhadap dendam Hores yang seharusnya telah usai dan keputusan pria itu yang mendadak menjadi makin kejam.“Aku ingin matamu tetap terbuk
Sekujur tubuh Avanthe begitu remuk. Dia mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan sisa – sisa pandangan yang nyaris tersapu hilang. Sebagian ingatan membawa Avanthe pada satu momen menyedihkan. Dia mengira masih di sana; mengira akan kembali melihat Hores dan segala kejutan keji yang akan pria itu berikan. Syukur bukan hal demikian yang kali pertama diterima setelah tersadar secara utuh. Sorot mata Avanthe berpendar. Sambil berjuang mengenali sudut – sudut asing di matanya, Avanthe berusaha bangun.Dia mengernyit, merasakan sakit tak terurus yang seolah ingin membombardir dirinya, tetapi tidak ingin menyerah demi menggapai keinginan terbebas dari neraka Hores. Dengan tertatih, Avanthe membiarkan pakaian terbuka yang sama terasa ganjil di benaknya. Dia menarik selimut tebal, itu yang terpenting.Kemudian berjalan tersaruk – saruk meninggalkan kamar megah. Betapa Avanthe nyaris tak percaya akan mendapati dirinya berada di satu tempat seperti ini. Dia sama sekali tak ingin tahu siapa
Satu informasi menggebu – gebu menyatakan Avanthe melakukan pemberontakkan di wilayah utara kerajaan. Ketika Hores pergi ke kamar untuk memastikan kebenaran tersebut. Reaksinya begitu spontan menggeram saat tak menemukan wania itu di sana. Kecantikan dan keberanian Avanthe memang dua hal paling sulit untuk tak diakui. Hores segera mengumpulkan pasukan, kemudian berjalan sendiri ke arah utara.“Apa yang kau pikirkan saat ingin lari dari cengkeraman-ku, Ava?” Seringai Hores tak pernah berubah. Kepuasan di mata gelap itu benar – benar kentara setelah mengukir titik lemah yang sedang berusaha keras Avanthe sembuyikan.Dengan segenap upaya besar. Avanthe gemetaran membawa tubuhnya beringsut mundur. Berada sekian jengkal meter bersama Hores sangat berbahaya. Avanthe tak berusaha menatap wajah kejam itu. Paling tidak dia bersyukur para prajurit akan berhenti mendekat ketika suara Hores terdengar marah.Avanthe mungkin menempatkan dirinya di antara segerombolan mangsa. Dia bukan domba yang l
13 bulan kemudian .... . . . Avanthe meletakkan semua keperluan Hope, putri kecilnya yang berusia lima bulan dengan hati – hati setelah cukup lelah berjalan – jalan pagi dengan gendongan bayi yang membantu. Dia senang bisa bersama – sama Hope menikmati udara segar sebelum nanti akan menitipkan putri kecil-nya kepada Shilom ketika wanita itu pulang. Sesuatu perlu Avanthe katakan; sejak kali pertama bertemu Shilom. Wanita itu telah mempersilakannya tinggal di sini, di rumah sederhana ini. Jelas Avanthe menyukai semua hal yang Shilom tawarkan. Wanita itu pernah menikah, ditinggal cerai suaminya, tanpa memiliki anak. Mungkin menjadi satu – satunya alasan mengapa Avanthe sering kali diperlakukan seperti anak sendiri. Bahkan Shilom dan Hope cenderung menunjukkan chemistri mereka yang begitu pas, cocok, sebagai nenek maupun cucu. Sebuah kebahagiaan yang sederhana. Hope menjadi bagian paling penting bagi Avanthe untuk bertahan sampai detik ini. Pada momen pendarahan itu, Avanthe pikir
“Ini kunci gudang-nya, Shilom.”Lengan Avanthe terulur persis setelah dia turun dari mobil. Melangkahkan kaki berhadapan – hadapan bersama Shilom yang menghela napas lega.“Syukurlah kau datang tepat waktu. Freed sudah meraung – raung seperti kucing birahi. Pekerjaannya benar – benar tertunda.”Kata – kata Shilom membuat Avanthe tertawa lambat. Dia berusaha menghindari kekhawatirannya, tetapi pergerakan di perjalanan telanjur membangunkan Hope. Sesekali Avanthe menenangkan putri kecil-nya supaya tetap merasa nyaman, sementara Shilom terlihat mengernyit.“Kau datang bersama Kai?” Wajah Shilom melonggok ingin tahu ke arah mobil. Secara ajaib wanita itu langsung dibanjiri senyum Kai yang menurunkan kaca. Lengan Kai terangkat menyapa Shilom, sehingga lekuk bibir menjadi bahasa kritis ketika akhirnya Kai menjalankan mobil meninggalkan halaman luas, yang nyaris membuat Avanthe tak percaya.Dia masih ingat kata – kata Shilom kali pertama wanita itu mendapat tawaran kerja. Mansion sebesar ini
“Tuan, Anda pulang lebih awal?”Shilom mendeteksi golakan tidak nyaman saat berhadapan langsung dengan sang majikan. Wajah luar biasa tampan yang terlihat dingin, seolah menyerahkan dinding tinggi tak tersentuh, dan bagaimanapun, itu telah membuatnya begitu gugup.“Aku melihat sendal jepit seorang wanita di depan. Apa ada tamu di sini?”Suara berat dan dalam berdesir bagai kilat yang merambah di langit malam. Shilom menatap tuan-nya kemudian menunduk. Ada sesuatu dalam keraguan di benak Shilom mencoba untuk mengingatkan, tetapi dia tidak mungkin menyembunyikan keberadaan Avanthe sampai beberapa waktu ke depan. Halaman belakang juga bukan tempat yang aman sekadar bersembunyi. Setidaknya tiga bulan pertama ini, Shilom tahu apa yang sering menjadi kebiasaan tuan-nya.Tanpa dapat dicegah, Shilom segera mengangguk. “Ya, Tuan ... putri saya ada di sini. Jika Anda merasa keberatan, saya akan memintanya pulang.” Dia bahkan sama sekali tak berani menatap sampai suara sang majikan terdengar bert