“Kau lupa kau siapa, Ava? Apa perlu aku mengingatkanmu kalau kau masih istriku. Kau selir-ku.” Hores berbisik nyaris seperti tuduhan aneh dari seorang yang otoriter. Pria itu memiliki alasan ketika mengulang kegembiraan tak terjangkau. Kata ‘selir’ menjadi sebuah penghinaan besar. Avanthe mendeteksi Hores sedang berusaha mencemooh di wajah-nya. Dia membalas pria itu sengit.“Aku tidak pernah lupa. Tapi yang kutahu, di hari aku meninggalkan istanamu, kau dan aku sudah tidak memiliki hubungan. Sekarang biarkan aku pergi.”Bibir panas dan seksi milik Hores membentuk garis kedut yang sinis. “Itu menurutmu. Aku tidak pernah menganggap hubungan kita berakhir.”Mungkin perlu Avanthe tegaskan betapa Hores tidak membiarkan jarak di antara mereka mengambil peran. Pria itu semakin memojokkannya ke tembok. Otot di wajah Avanthe merasakan ketegangan. Hores menambahkan rasa sakit dengan sengaja menekan ujung jari pria itu.“Tidak ada hubungan yang bisa bertahan tanpa rasa cin
“Menurutmu, kau pikir aku mau mengandung anak dari pria kejam sepertimu? Itu tidak akan pernah terjadi.” Satu keputusan paling tepat dilakukan dengan tekad berani. Avanthe segera mendekap Hope setelah dia berjuang menjauhkan jari – jari mungil gadis kecil itu dari kancing kemeja di tubuh Hores. Dia tidak ingin melibatkan Hope lebih jauh di sini. Tidak ingin Hores mencium aroma kebohongannya. Tidak ingin semuanya. Yang Avanthe butuhkan adalah secepatnya meninggalkan tempat menyesakkan, yang sialnya menjadi ruang bagi Shilom mencari uang. “Siapa namanya?” Tiba – tiba pertanyaan Hores mengaburkan ketenangan Avanthe. “Bukan urusanmu,” jawabnya tak ingin terlihat putus asa. “Berapa usia-nya kalau begitu?” “Kau tidak berhak tahu.” Hores memang tidak berhak tahu. Avanthe akan mengusahakan apa saja asal Hores tak mengetahui sekecil informasi mengenai Hope. “Jika kau tidak ingin mengatakannya, artinya dia anakku.” “Dia bukan anakmu.” “Lalu anak siapa?” “Anakku.” Avanthe mendengar s
Memalukan sekali bahwa Hores melakukan segala cara untuk tetap mengetahui nama Hope. Sekarang pria itu sedang memanfaatkan ketidakberdayaan Shilom, menunggu wanita itu mengatakan sesuatu yang menguntungkan.Avanthe tidak ingin hal tersebut terjadi. Ujung jarinya bergerak, menyentuh punggung tangan Shilom beberapa kali, berharap wanita itu akan mengerti, tetapi Avanthe harus mendapati caranya tidak berhasil.Hores berhasil membuat kegugupan Shilom kentara di sekitar mereka. Membuat simpati apa pun yang mungkin wanita itu rasakan menguap. Rasa takut Shilom jauh lebih besar, meski beberapa pertimbangan sedang coba diputuskan.Avanthe mendapati tubuh Shilom pelan – pelan gemetar. Wanita itu menatapnya sesaat, lalu menunduk dalam.“Namanya Hope, Tuan. A—ada apa memangnya?”“Hope?” Dengan mata dan tenggorokan pedih. Avanthe merasakan antusiasme dalam diri Hores mengencang. Suara pria itu sarat nada tertarik. Mata gelap yang menyipit bahkan di waktu bersamaan membuat golakan di perut Avanth
Ketegangan di bahu Avanthe membuat Hores semakin penasaran. Mungkin ada sesuatu yang salah. Mungkin ada sesuatu yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Lubang hitam menyerap seluruh kemampuan Avanthe. Mengambil energi wanita itu untuk tidak terikat dengan dunia mereka yang sesungguhnya, dan bagian terburuk adalah mengambil separuh ingatan Avanthe; kalau benar – benar itulah yang terjadi.Akan tetapi mengapa hal tersebut tak sama seperti Elden yang di sisi lain ditemukan terdampar di Negara Eropa tengah? Pria itu memiliki ingatan utuh, meski untuk kembali ke dunia bawah tanah akan membutuhkan sesuatu yang lebih besar dari lubang hitam itu sendiri. Hores belum menemukan kekuatan tersebut untuk membawa Elden atau barangkali Avanthe kembali sebagai selir-nya. Dan sesuatu yang mengejutkan; dia suka bagaimana sikap berani Avanthe yang semakin liar.Satu tangan Hores menyentuh garis bahu yang ditutup oleh rambut panjang. Avanthe berusaha mengelak, menolak batas apa pun. Demikian menjadi alasa
Ini jauh lebih baik dari pada berada di rumah mentereng itu. Avanthe mengembuskan napas lega setelah meletakkan Hope di keranjang bayi. Dia perlu bersiap kerja. Mulai menguncir rambut menjadi gulungan tebal. Tidak apa – apa meninggalkan Hope sendiri, sementara dia berjalan ke kamar mandi. Avanthe menyalakan keran untuk mengisi air ke dalam bak. Dia menumpahkan aroma terapi, mengaduk cairan berwarna tersebut hingga merata; menguarkan semerbak aroma wangi ke ke sekitar ruangan lembab. Sesekali membutuhkan sesuatu untuk menenangkan pikiran. Bayangan tentang Hores penting dilupakan. Avanthe tidak ingin jika bayangan terpuruk dari pria itu akan terbawa sampai ke lokasi dia kerja. Perlahan dia melucuti seluruh pakaian di tubuh. Menunduk. Menatap getir bekas pakaian yang telah teronggok menjadi gumpalan tebal di lantai. Sesuatu dalam dirinya berontak. Sisa sentuhan Hores benar – benar masih terasa panas. Avanthe membencinya. Benci mengingat kembali bagaimana mulut pria itu bergerak liar di
“Mommy berangkat kerja dulu, Hope-Hope. Kau jangan nakal – nakal saat bersama Shi-Shi, mengerti? Kita akan bertemu lagi nanti malam.”Avanthe menyingkir setelah mengecup pipi Hope gemas. Tangan mungil itu berusaha memukul di udara. Avanthe tertawa sayup. Sudah cukup rasanya nyaris membuat ekspresi di wajah luntur saat Shilom memberikan pertanyaan – pertanyaan tak terduga.Avanthe mungkin terkejut, tetapi kebenaran yang Shilom ketahui, telah dia jelaskan dengan utuh. Avanthe tidak akan menuntut wanita itu memberinya saran. Terpenting sekarang Shilom mengerti dan tidak akan mencecar-nya dengan tuduhan jahat atau barangkali sampai menghakiminya. Yang dia takutkan justru adalah Hores akan memecat Shilom, walau benar, Avanthe tidak ingin berurusan lebih panjang bersama pria itu. Membiarkan Shilom bekerja di tempat yang sama memang sama seperti meletakkan dua bom di bawah bantalnya. Avanthe hanya tak menyangka kalau Hores cukup gila dalam menawarkan bayaran. Dia tidak tahu pria itu bekerja
Sejak satu jam kedatangan pria yang tidak pernah Avanthe harapkan akan melihatnya ada di sini. Rasa takut dan cemas seolah menjadi satu desakan serius yang tidak bisa Avanthe tinggalkan. Dia selalu berdebar. Melakukan pekerjaan diliputi tingkat kewaspadaan meningkat. Avanthe tidak peduli ke mana Hores pergi ketika pria itu masuk dari pintu depan. Mungkin sudah berakhir ke antah berantah, yang dia pikirkan asal Hores tidak membuat situasi menjadi kacau. Atau barangkali pria itu memang tidak memiliki niat terselubung untuk ada di tempat yang sama mengingat malam sudah semakin larut; tidak ada tanda – tanda yang akan dilakukan. Beberapa tamu di bar mulai meninggalkan meja, walau beberapa yang lain masih sedang berdatangan. Avanthe berjalan ke meja nomor 11 untuk menyisihkan gelas bekas dan menerima sebuah tips besar untuknya. Ini kali kedua dia mendapat tips dengan nominal tak terduga. Sudut bibir Avanthe melekuk tipis. Memasukkan lembaran uang ke saku celana-nya, lalu membersihkan mej
Avanthe mengerjap terkejut.Tidak.Tentu saja tidak.Sesuatu dalam dirinya mungkin merasakan dampak buruk, tetapi Avanthe tidak akan pernah mau melakukan sentuhan fisik apa pun bersama pria ini. Hores menjijikkan. Yakin – yakin sudah begitu banyak wanita yang pria itu tiduri. Di sini Avanthe hanya melakukan pekerjaan. Dia rasa meja di samping ranjang cukup untuk meletakkan ember es sekaligus sampaye, lalu keharusnnya di tempat menyedihkan ini akan selesai.Avanthe tidak mengatakan apa – apa ketika berjalan mantap melakukan hal yang diperintahkan oleh isi kepala; menaruh dua komponen di tangan tersebut ke atas meja. “Pergilah.”Samar, suara berat dan dalam Hores menembus di sekitar pendengaran Avanthe. Perintah itu tidak ditujukan kepadanya. Namun, wanita yang menunduk di antara celah kaki pria itulah, yang akhirnya menyingkir. Bangun. Mengusap sudut bibir sebentar. Benar – benar memuakkan. Sebelum wanita itu menghilang, Avanthe segera berbalik badan untuk mengikuti setiap langkah me
“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh kebutuhan untuk memulai. Dia menatap Raja V
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan. “Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah
“Hores?” Seperti ada gemuruh besar dengan segala bentuk sambaran mengerikan. Avanthe menatap wajah Ellordi penuh tanda tanya. Dia tak ingin percaya terhadap apa pun itu. Tidak ada penjelasan gamblang mengenai keadaan Hores saat ini, tetapi mengapa rasanya seperti telah membawa dia menghadapi pendekatan yang jelas, di mana kekhawatiran berakhir sebagai rayuan tidak masuk akal. Hores baik – baik saja ... akan selalu begitu. Pria itu harus kembali untuk anak – anaknya. Bukankah Aceli sudah menunggu? Meminta supaya Avanthe membangunkan ketika Hores datang? Sekarang apa yang bisa dilakukan setelah semua terasa mengejutkan? Avanthe menatap ayahnya sambil menggeleng samar. Bagian paling penting adalah menyingkirkan tumpukan air yang membentuk percikan kaca. Dia melihat semua dengan buram, sama seperti berjuang keras meyakinkan perasaannya, meski tidak ada harapan tersisa. “Jangan katakan itu, Papa,“ ucap Avanthe mendeteksi akan ada suatu informasi u
Pernyataan Hores mengenai perang di wilayah pria itu menjadi suatu bagian paling nyata, bahwa mereka ... meski tidak terlibat; juga mengalami dampak serius. Suara – suara ledakan hingga guncangan yang sesekali terasa begitu keras merupakan prospek terburuk. Avanthe bertanya – tanya pertempuran seperti apa, atau barangkali perebutan hak dari mana sehingga nyaris tidak ada damai di Kerajaan Bawah Tanah. Dia khawatir mengenai Hores, takut jika akan terjadi suatu hal tak diinginkan dan berakibat fatal. Rasanya sesuatu di dalam diri Avanthe seakan ingin memberi petunjuk. Dia tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, hanya tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu apakah seharus ini mendambakan Hores baik – baik saja, maka pria itu akan kembali mendatangi anak – anak, apalagi ... jika secara ajaib mereka bisa berdamai. Membayangkan andai perasaan mereka kembali utuh. Anak – anak juga akan menyukainya; tidak ada pemisahan dan pelbagai hal lain yang menjadi masalah besar.“Mommy,
Pernyataan Hores terdengar penuh pengalihan serius. Perkara pancake itu lagi dan permasalahan yang selalu sama ....Avanthe diam beberapa saat, terpaku, memikirkan kembali pengajuan Hores sebagai berikut;Apa yang dia ingin pria itu katakan?Tidak banyak, tetapi Hores telah mengatakannya. Ya, setidaknya Avanthe mengerti ... betapa dia perlu menyadari bentuk kesalahpahaman yang menyemat di sana dengan suatu pengakuan nyata. “Dan kau percaya aku akan melakukannya?” tanyanya sarat ekspresi nanar. Ini lebih buruk dari membayangkan Hores telah sadar dari setiap tindakan buruk. Avanthe ingin tahu, adakah cara ampuh untuk menarik Hores ke permukaan, memberi pria itu petunjuk, atau sejenis lainnya, tetapi bagaimana? Dia belum menemukan cara. Dengan desakan putus asa dalam dirinya, reaksi Avanthe yang paling murni adalah menunduk saat Hores seperti tidak memiliki niat menanggapi. Pria itu selalu percaya terhadap apa yang menurutnya benar, tetapi lupa bahwa logika juga h