Ini jauh lebih baik dari pada berada di rumah mentereng itu. Avanthe mengembuskan napas lega setelah meletakkan Hope di keranjang bayi. Dia perlu bersiap kerja. Mulai menguncir rambut menjadi gulungan tebal. Tidak apa – apa meninggalkan Hope sendiri, sementara dia berjalan ke kamar mandi. Avanthe menyalakan keran untuk mengisi air ke dalam bak. Dia menumpahkan aroma terapi, mengaduk cairan berwarna tersebut hingga merata; menguarkan semerbak aroma wangi ke ke sekitar ruangan lembab. Sesekali membutuhkan sesuatu untuk menenangkan pikiran. Bayangan tentang Hores penting dilupakan. Avanthe tidak ingin jika bayangan terpuruk dari pria itu akan terbawa sampai ke lokasi dia kerja. Perlahan dia melucuti seluruh pakaian di tubuh. Menunduk. Menatap getir bekas pakaian yang telah teronggok menjadi gumpalan tebal di lantai. Sesuatu dalam dirinya berontak. Sisa sentuhan Hores benar – benar masih terasa panas. Avanthe membencinya. Benci mengingat kembali bagaimana mulut pria itu bergerak liar di
“Mommy berangkat kerja dulu, Hope-Hope. Kau jangan nakal – nakal saat bersama Shi-Shi, mengerti? Kita akan bertemu lagi nanti malam.”Avanthe menyingkir setelah mengecup pipi Hope gemas. Tangan mungil itu berusaha memukul di udara. Avanthe tertawa sayup. Sudah cukup rasanya nyaris membuat ekspresi di wajah luntur saat Shilom memberikan pertanyaan – pertanyaan tak terduga.Avanthe mungkin terkejut, tetapi kebenaran yang Shilom ketahui, telah dia jelaskan dengan utuh. Avanthe tidak akan menuntut wanita itu memberinya saran. Terpenting sekarang Shilom mengerti dan tidak akan mencecar-nya dengan tuduhan jahat atau barangkali sampai menghakiminya. Yang dia takutkan justru adalah Hores akan memecat Shilom, walau benar, Avanthe tidak ingin berurusan lebih panjang bersama pria itu. Membiarkan Shilom bekerja di tempat yang sama memang sama seperti meletakkan dua bom di bawah bantalnya. Avanthe hanya tak menyangka kalau Hores cukup gila dalam menawarkan bayaran. Dia tidak tahu pria itu bekerja
Sejak satu jam kedatangan pria yang tidak pernah Avanthe harapkan akan melihatnya ada di sini. Rasa takut dan cemas seolah menjadi satu desakan serius yang tidak bisa Avanthe tinggalkan. Dia selalu berdebar. Melakukan pekerjaan diliputi tingkat kewaspadaan meningkat. Avanthe tidak peduli ke mana Hores pergi ketika pria itu masuk dari pintu depan. Mungkin sudah berakhir ke antah berantah, yang dia pikirkan asal Hores tidak membuat situasi menjadi kacau. Atau barangkali pria itu memang tidak memiliki niat terselubung untuk ada di tempat yang sama mengingat malam sudah semakin larut; tidak ada tanda – tanda yang akan dilakukan. Beberapa tamu di bar mulai meninggalkan meja, walau beberapa yang lain masih sedang berdatangan. Avanthe berjalan ke meja nomor 11 untuk menyisihkan gelas bekas dan menerima sebuah tips besar untuknya. Ini kali kedua dia mendapat tips dengan nominal tak terduga. Sudut bibir Avanthe melekuk tipis. Memasukkan lembaran uang ke saku celana-nya, lalu membersihkan mej
Avanthe mengerjap terkejut.Tidak.Tentu saja tidak.Sesuatu dalam dirinya mungkin merasakan dampak buruk, tetapi Avanthe tidak akan pernah mau melakukan sentuhan fisik apa pun bersama pria ini. Hores menjijikkan. Yakin – yakin sudah begitu banyak wanita yang pria itu tiduri. Di sini Avanthe hanya melakukan pekerjaan. Dia rasa meja di samping ranjang cukup untuk meletakkan ember es sekaligus sampaye, lalu keharusnnya di tempat menyedihkan ini akan selesai.Avanthe tidak mengatakan apa – apa ketika berjalan mantap melakukan hal yang diperintahkan oleh isi kepala; menaruh dua komponen di tangan tersebut ke atas meja. “Pergilah.”Samar, suara berat dan dalam Hores menembus di sekitar pendengaran Avanthe. Perintah itu tidak ditujukan kepadanya. Namun, wanita yang menunduk di antara celah kaki pria itulah, yang akhirnya menyingkir. Bangun. Mengusap sudut bibir sebentar. Benar – benar memuakkan. Sebelum wanita itu menghilang, Avanthe segera berbalik badan untuk mengikuti setiap langkah me
“Apa yang kau mau, Hores? Lepaskan aku.” Suara Avanthe terbata. Jantungnya berdebar keras. Usaha membebaskan diri menjadi sia – sia saat Hores masih mengintai kejam. Betapa kacau. Beberapa kali Avanthe berusaha menarik lepas borgol yang menjerat pergelangan tangan dan kakinya. Tetapi, sekali lagi, dia tidak berdaya. Berjuang keras memikirkan sesuatu yang lebih serius daripada menyerah di sini. “Kau tidak bisa menahanku terus seperti ini. Rekan kerjaku akan mencariku.” Akhirnya itu yang mendesak dari ujung tenggorokan. Sesaat Avanthe menyadari Hores tidak melakukan apa pun. Diam. Menatap serius, kemudian secara perlahan wajah Hores bergerak miring, mengamati sesuatu secara intim. Iris gelap pria itu menyipit. “Seragam kerjamu basah.” Ada begitu banyak hal yang bisa Hores lihat. Kemarahan, derai kebencian di mata Avanthe, atau batasan – batasan terjal di antara mereka. Namun, pria itu justru memperhatikan satu bagian yang tidak pernah Avanthe ingin terungkap di sini. Ironi sekali,
Kepergian Hores membuat waktu berjalan hening. Avanthe mengerjap, mencoba mengembalikan situasi kacau di sekitarnya. Dia merasakan pedih di kaki; tembakan Hores benar – benar menyakitkan. Timah panas yang masih menancap ikut bergeser acapkali Avanthe berusaha bergerak. Dan itu semacam menambah garam di luka terbuka. Benar - benar pedih tak tertahan.Sisa – sisa gemerincing borgol menembus di udara ketika dia bangun. Avanthe mendesis, berusaha memperbaiki kain – kain yang terenggut di tubuhnya. Dia tertatih memperbaiki kepala celana kain untuk membalut di pinggul. Kemudian menyeka rambut panjang yang menjuntai berantakan. Terakhir, jari – jari tangan Avanthe gemetaran saat merekatkan kancing – kancing dari seragam kerja.Dia harus keluar meminta bantuan. Tetapi untuk melangkah, butuh usaha lebih keras. Avanthe menjadikan dinding ruang VVIP dan lorong di sepanjang bar sebagai pegangan. Dia meraba masih diliputi kondisi tubuh yang bergetar. Berjalan tersaruk – saruk hingga beberapa kali
“Nah, sekarang, baru kau boleh pulang.”Suara Kai muncul meliputi pintu ruang rawat yang terbuka. Meskipun Avanthe cukup terkejut Kai akan datang dengan kursi roda. Tetapi dia tidak menolak saat pria itu menawarkan bantuan. Avanthe menyambut tangan Kai pelan. Lengan hangat pria itu memeluk di punggulnya. Membantu Avanthe melangkah tertatih untuk kemudian duduk atas kursi roda. Semalam, setelah tiba di rumah sakit. Dokter langsung mengambil tindakan serius. Luka sobek di betis Avanthe sangat besar. Peluru menancap dalam; benar – benar sebuah kenyataan paling menyakitkan. Dokter memberikan banyak saran dan dengan Kai yang setuju tinggal di sini selama satu malam ... Avanthe tidak memiliki pilihan mengapa akhirnya dia akan sangat merindukan Hope di rumah.“Kau dapat ini dari mana?” tanya Avanthe. Iris keunguan di matanya berpendar, menatap takjub pada beberapa bagian kursi yang terlihat berkilauan. Jemari Avanthe mengusap ringan. Dia segera menengadah mengamati Kai sedang tersenyum lem
Tidak banyak pembicaraan selama dalam perjalanan. Avanthe memiringkan wajah menghadap ke luar jendela. Mobil bergerak lambat. Sementara Kai sepertinya sangat hati – hati tetapi pria itu belum mengatakan apa pun. Avanthe juga tidak berusaha mendesak Kai bicara. Hanya sesekali akan mendengar embusan napas kasar itu merambat ke udara.Hening untuk beberapa saat. Avanthe memikirkan Hope. Waktu – waktu seperti ini biasanya dia akan membawa Hope bermain ke taman atau di mana pun putri kecilnya suka. Berpikir bahwa setelah ini dia akan lebih sering bersama Hope di rumah. Avanthe sudah memberitahu Shilom mengenai kondisinya. Wanita itu mungkin sedang menunggu di rumah.“Kau masih mencintainya?”Tiba – tiba suara Kai muncul ke permukaan. Avanthe tersentak. Kemudian dia mengatur posisi lebih baik mengenyak di sandaran jok.“Maksudmu?” tanyanya mencoba memastikan pertanyaan pembuka Kai.“Aku yakin kau tahu maksudku, Ava.”Mencintainya? Hores? Begitukah?Avanthe nyaris tertawa getir memikirkan ha