“Apa yang kau mau, Hores? Lepaskan aku.” Suara Avanthe terbata. Jantungnya berdebar keras. Usaha membebaskan diri menjadi sia – sia saat Hores masih mengintai kejam. Betapa kacau. Beberapa kali Avanthe berusaha menarik lepas borgol yang menjerat pergelangan tangan dan kakinya. Tetapi, sekali lagi, dia tidak berdaya. Berjuang keras memikirkan sesuatu yang lebih serius daripada menyerah di sini. “Kau tidak bisa menahanku terus seperti ini. Rekan kerjaku akan mencariku.” Akhirnya itu yang mendesak dari ujung tenggorokan. Sesaat Avanthe menyadari Hores tidak melakukan apa pun. Diam. Menatap serius, kemudian secara perlahan wajah Hores bergerak miring, mengamati sesuatu secara intim. Iris gelap pria itu menyipit. “Seragam kerjamu basah.” Ada begitu banyak hal yang bisa Hores lihat. Kemarahan, derai kebencian di mata Avanthe, atau batasan – batasan terjal di antara mereka. Namun, pria itu justru memperhatikan satu bagian yang tidak pernah Avanthe ingin terungkap di sini. Ironi sekali,
Kepergian Hores membuat waktu berjalan hening. Avanthe mengerjap, mencoba mengembalikan situasi kacau di sekitarnya. Dia merasakan pedih di kaki; tembakan Hores benar – benar menyakitkan. Timah panas yang masih menancap ikut bergeser acapkali Avanthe berusaha bergerak. Dan itu semacam menambah garam di luka terbuka. Benar - benar pedih tak tertahan.Sisa – sisa gemerincing borgol menembus di udara ketika dia bangun. Avanthe mendesis, berusaha memperbaiki kain – kain yang terenggut di tubuhnya. Dia tertatih memperbaiki kepala celana kain untuk membalut di pinggul. Kemudian menyeka rambut panjang yang menjuntai berantakan. Terakhir, jari – jari tangan Avanthe gemetaran saat merekatkan kancing – kancing dari seragam kerja.Dia harus keluar meminta bantuan. Tetapi untuk melangkah, butuh usaha lebih keras. Avanthe menjadikan dinding ruang VVIP dan lorong di sepanjang bar sebagai pegangan. Dia meraba masih diliputi kondisi tubuh yang bergetar. Berjalan tersaruk – saruk hingga beberapa kali
“Nah, sekarang, baru kau boleh pulang.”Suara Kai muncul meliputi pintu ruang rawat yang terbuka. Meskipun Avanthe cukup terkejut Kai akan datang dengan kursi roda. Tetapi dia tidak menolak saat pria itu menawarkan bantuan. Avanthe menyambut tangan Kai pelan. Lengan hangat pria itu memeluk di punggulnya. Membantu Avanthe melangkah tertatih untuk kemudian duduk atas kursi roda. Semalam, setelah tiba di rumah sakit. Dokter langsung mengambil tindakan serius. Luka sobek di betis Avanthe sangat besar. Peluru menancap dalam; benar – benar sebuah kenyataan paling menyakitkan. Dokter memberikan banyak saran dan dengan Kai yang setuju tinggal di sini selama satu malam ... Avanthe tidak memiliki pilihan mengapa akhirnya dia akan sangat merindukan Hope di rumah.“Kau dapat ini dari mana?” tanya Avanthe. Iris keunguan di matanya berpendar, menatap takjub pada beberapa bagian kursi yang terlihat berkilauan. Jemari Avanthe mengusap ringan. Dia segera menengadah mengamati Kai sedang tersenyum lem
Tidak banyak pembicaraan selama dalam perjalanan. Avanthe memiringkan wajah menghadap ke luar jendela. Mobil bergerak lambat. Sementara Kai sepertinya sangat hati – hati tetapi pria itu belum mengatakan apa pun. Avanthe juga tidak berusaha mendesak Kai bicara. Hanya sesekali akan mendengar embusan napas kasar itu merambat ke udara.Hening untuk beberapa saat. Avanthe memikirkan Hope. Waktu – waktu seperti ini biasanya dia akan membawa Hope bermain ke taman atau di mana pun putri kecilnya suka. Berpikir bahwa setelah ini dia akan lebih sering bersama Hope di rumah. Avanthe sudah memberitahu Shilom mengenai kondisinya. Wanita itu mungkin sedang menunggu di rumah.“Kau masih mencintainya?”Tiba – tiba suara Kai muncul ke permukaan. Avanthe tersentak. Kemudian dia mengatur posisi lebih baik mengenyak di sandaran jok.“Maksudmu?” tanyanya mencoba memastikan pertanyaan pembuka Kai.“Aku yakin kau tahu maksudku, Ava.”Mencintainya? Hores? Begitukah?Avanthe nyaris tertawa getir memikirkan ha
Setidaknya sekarang sudah jauh lebih baik. Avanthe mendorong kursi roda keluar dari kamar. Sesaat dia mengambil keputusan menuju dapur. Kerongkongannya begitu kering, dia ingin minum. Masih dengan hati – hati memutar roda supaya tidak menyikut apa pun yang ada di dalam rumah. Benar – benar harus membiaskan diri sampai dokter memastikan untuk bisa berjalan seperti biasanya.Pelan sekali Avanthe telah mencapai ambang pintu. Dia terkejut akan menemukan Shilom disibukkan dengan kegiatan menyeduh kopi hitam pekat tanpa gula. Wanita itu sama terkejutnya saat mendapati kedatangannya di dapur. Avanthe tidak mengerti. Yang dia tahu Shilom tidak pernah meminum kopi tanpa gula, dan Hope ... di mana gadis kecil itu saat sementara Shilom ada di sini, menatapnya dengan keraguan besar seolah sesuatu yang menakutkan baru, baru saja terjadi. Atau barangkali Shilom sudah menidurkan putri kecilnya di kamar wanita itu?Avanthe tidak berusaha menaruh kecurigaan. Memutuskan tetap mendorong kursi roda hing
Rasa sakit di kaki dan keseimbangan yang tak sempat dia pertahankan segera membuat Avanthe jatuh nyaris mencium lantai. Tatapannya lurus, setengah kosong mengamati kepergian Hores yang bahkan sama sekali tidak pernah peduli pada dirinya. Memangnya apa yang Avanthe harapkan akan terjadi? Hores tiba – tiba berbaik hati, lalu menyerahkan Hope kembali, begitu?Itu benar – benar seperti kebodohan paling kental. Hores-lah satu – satunya pria yang ingin melihat kehancurnya. Bahkan dengan sayup – sayup mesin mobil menyala, Hores telah berhasil, sekali lagi, membuat dunia Avanthe luluh lantak. Hope kekuatannya. Dia tidak tahu kapan Hores akan membawa Hope pulang. Perasaan Avanthe berdebar keras. Matanya terasa sangat pedih. Dia menangis di hadapan Shilom saat ini. Wanita itu telah mendekat. Mencoba membawanya bangun, dan ketika itu terjadi, punggung Avanthe langsung mengenyak di sandaran sofa. Menutup wajah dengan telapak tangan menghadapi perasaan penuh ketakutan.“Kau tenanglah, Ava. Aku ya
Selesai memompa asi dan membantu Shilom menyiapkan keperluan Hope, akhirnya Avanthe memutuskan membawa perkakas pertolongan pertama ke ruang tamu. Dia perlu mengganti perban pada luka tembak itu. Menarik napas sesaat untuk kemudian pelan – pelan mengangkat sebelah kaki yang masih diliputi perban lama supaya keduanya berselonjor di atas sofa.Karena Avanthe akan membuka lilitan kain dengan kedua tangan, dia perlu mengatur posisi sedikit menekuk pada kaki yang terluka. Setiap tindakan yang dia lakukan begitu tentatif. Rasa sakit sesekali muncul, benar – benar berdenyut, tetapi Avanthe berjuang supaya tidak terlihat lemah di mata siapa pun, bahkan saat ini, saat sedang sendirian di rumah.Hati – hati Avanthe menggunting perban. Mengulur bagian yang terasa sangat rekat. Dia mendapati bagian di sekitar luka tembak di kaki menimbulkan efek panas yang masih membakar. Hores luar biasa keji. Membayangkan sikap kejam pria itu, rasa cemas Avanthe tidak akan pernah redam.Dia mengusap wajah. Berp
“Sepertinya aku sangat membutuhkan-mu, Ava.”Luar biasa mengejutkan mendengar Kai bicara seperti itu; berbisik nyaris tanpa peringatan. Kesadaran melintas di benak Avanthe. Pasokan udara segera menyergap ke rongga dadanya. Kali ini Avanthe baru dapat mengendalikan diri. Dengan satu tangan dia mencegah keberadaan Kai. Menahan dada bidang pria itu. Menatap sangat ragu, lalu menunduk dalam.Jari – jari Avanthe gemetar. Perasaan terkejut itu mengguncang ketenangannya.“Maaf, Kai. Aku tidak bisa.”Didorong tekad membara untuk mengungkap kebenaran. Avanthe lantas mengangkat wajah. Keterdiaman Kai seperti meriwayatkan sesuatu. Tenggorokan pria itu bergerak, dan betapa pun Kai mencoba menyembunyikan sikap kecewanya. Avanthe bisa merasakan atmosfer di sekitar mereka sangat berbeda.Kai langsung bergeser. Tangan pria itu mengusap di pangkuan sendiri. Demikian pula Avanthe tak tahu harus bagaimana lagi. Keadaan mendadak absurd. Kecanggungan mencoba melampaui batas. Yang terjadi di sekitar mereka