“Tuan, semua perintah Anda telah dikerjakan. Mrs. Winter sudah menerima kiriman paket untuk Nona muda Hope.”Hores menatap salah seorang bawahan dengan sebelah alis terangkat tinggi. Dia sudah membayangkan bagaimana reaksi Avanthe ketika wanita itu akan tahu kebutuhan Hope telah disediakan utuh. Sekarang, secara ajaib kata – kata Nicky meluruskan segala sesuatu tanpa melibatkan drama sebagai dasar dari hubungan mereka.“Dia tidak menolak?” tanya Hores sedikit tidak tahan dengan rasa penasaran membludak. “Sempat menolak, Tuan. Tapi akhirnya Mrs. Winter bersedia.” “Bersedia kenapa?”“Kami tidak tahu, Tuan.”Nicky menunduk ragu. Bagaimanapun dia tak mungkin bersuara mengenai alasan paling masuk akal mengapa Avanthe mendadak tak memiliki pilihan. Semua orang tahu bahwa Hores tidak akan membiarkan keinginan pria itu tidak terpenuhi. Ada harga besar jika dan jika semua perlengkapan Hope dibawa kembali ke mansion besar ini. Sebagai seorang yang cukup terpercaya, Nicky tak ingin membuat kea
“Kau mau ke mana, Ava?”“Menyusul Hope. Aku akan membawanya pulang.”Lengan Avanthe terus bergerak memutar kursi roda. Mengetahui Shilom pulang tanpa Hope bersama wanita itu, rasanya sesuatu dalam diri Avanthe memberontak. Dia tidak bisa membiarkan Hope berlarut lama di mansion yang mentereng. Hores berbahaya, akan selalu meninggalkan rasa takut tak terkendali. Bagaimana jika Hope menangis, dan Hores tidak memiliki kesabaran menghadapi putri kecilnya? Avanthe tidak dapat membayangkan apa yang akan pria itu lakukan.Mencekik. Mencampak. Atau melempar Hope ke dalam air .... Avanthe sempat melihat kolam besar di halaman mansion Hores.Itu semacam ancaman terjal yang bergolak liar dalam benak Avanthe. Tak ingin hal demikian terjadi, dia lebih baik mengejar kebutuhannya sekarang. Terima atau tidak, Hores harus mengembalikan Hope, tidak peduli meskipun pria itu seorang ayah biologis. Avanthe sama sekali tidak mengakui Hores memiliki hak mutlak atas putri mereka. Terserah jika Hores pernah
Hope masih menolak untuk disusui dengan botol. Tingkat kesabaran Hores teruji hingga dia meletakkan gadis kecilnya di atas ranjang, sengaja menjulang tinggi mengamati mata yag menatap ke arahnya begitu gelisah. “Yakin tidak mau susu, Kue Buntal? Kalau tidak mau biar aku yang minum.”Setelah beberapa saat, Hores akhirnya membuka penutup botol. Mencoba menggoda Hope sembari mendekatkan botol susu ke mulut sendiri. Hanya mencicip sedikit kemudian Hores berdecak. Rasanya lebih enak menyusu langsung dari pabrik.Hores kembali menjatuhkan perhatian ke arah Hope. Satu ide mendesak deras di benaknya. Mungkin dengan cara seperti ini Hope akan tertipu. Perlu menarik bayi lima bulan ini terdahulu. Membawa Hope pergi melihat lampu yang lebih terang. Di sana jauh lebih menarik. Paling tidak, keputusan Hores tidak terlalu buruk. Pelan – pelan, Hope mulai menyesap dengan sorot mata terpaku pada lampu gantung. Tetapi itu merupakan kebebasan sementara, karena selebihnya Hope kembali pada mode menyeba
“Di sini tiba – tiba menjadi sangat rakus,” ucap Hores berkomentar setelah mendengar bunyi menyesap dari mulut kecil Hope yang bergerak cepat. Mata gelap pria itu menatap tajam, alasan paling gila mengapa Avanthe tersentak menghadapinya.Avanthe segera menutup bagian tubuh yang terekspos. Hores tidak punya hak masuk tanpa izin. Apalagi sampai berlagak penting di sini. Perlu Avanthe garis bawahi sesuatu yang terucap dari bibir panas itu.Rakus. Adalah sesuatu yang mengerikan.Dia mengerti sekarang. Jadi Hope menolak untuk makan di gedung besar milik pria kurang ajar ini? Itu sebabnya Hores tak punya alasan, selain membawa Hope kembali? Hores berengsek. Hope dibuat kelaparan, dan dengan santai pria itu berkata mengejek.“Siapa yang mengizinkanmu ada di sini? Keluar!” Avanthe mengangkat satu tangan mengusir. Dia seperti melakukan hal percuma saat Hores bersikap santai, dan jsutru mendorong bahu bersandar di dinding kamar.“Aku tak perlu izin siapa pun untuk berada di tempat yang aku mau.
Hope baru saja tertidur dan jari – jari mungil gadis kecil itu segera mengendur. Avanthe tersenyum tipis mengamati setiap detil hal yang ada pada putri kecilnya. Daging di tangan Hope yang padat melipat – lipat menambah aksen menggemaskan, membuat Avanthe tidak akan pernah sedikitpun meninggalkan perhatian di sana.Tadinya dia senang Hope menolak keberadaan Hores, tetapi sepertinya Hope akan segera terbiasa oleh keberadaan makhluk tukang memaksa itu. Hores bisa melakukan apa saja. Termasuk merampas Hope dengan mudah.Sorot mata Avanthe terpaku pada rantai putih di pergelangan tangan dan kaki Hope. Hati – hati dia menyentuh bandul yang bergelantungan. Setidaknya Avanthe mengakui, memang terlihat sangat pas di tangan Hope, meskipun dia masih tidak rela jika Hores mencoba melibatkan kontribusi besar. Efek dari cengkeraman pria itu masih meninggalkan rasa sakit. Avanthe harus berjuang menahan golakan demikian saat dia bergerak melakukan aktivitas.Mulutnya terbuka lebar, menguap. Mulai m
“Jika kau lapar, Mommy akan ke dapur memanaskan susu untukmu, Hope-Hope ....”Avanthe bergumam setengah sadar saat masih dalam keadaan mengantuk. Dia tak langsung bangun. Mencoba terpejam lebih dalam, tetapi tangan – tangan yang meremas di dadanya, tangan – tangan yang sempat terhenti, sekarang kembali melanjutkan. Avanthe sedikit bergeser mencari posisi lebih baik. Wajahnya miring menghadap samping. Sama sekali tidak memikiran hal lain, dia memang tidak sadar kalau – kalau telah membiarkan Hores bermain – main di dadanya. Masih mencoba kembali tidur selama tak mendengar suara Hope.Sementara, Hores sendiri tidak mengerti mengapa dia harus menahan diri sesaat begitu suara Avanthe sayup – sayup menembus di pendengaran. Menahan diri seperti kucing yang sedang mencuri ikan. Barangkali Hores tak ingin membangunkan Hope, begitu yakin jika Avanthe akan menunjukkan histeria tak terbendung ketika wanita itu sadar apa yang sedang dia lakukan.Hores menggeram samar, meremas gumpalan dada Avanth
Tidak ada yang lebih indah dari suara ocehan Hope di pagi hari. Avanthe duduk di atas ranjang. Memainkan tangan mungil putri kecilnya yang akan bersiap untuk mandi. Dia masih mengajak Hope berbincang sembari menunggu Shilom kembali masuk ke kamar. Beberapa saat lalu wanita itu berpamitan sekadar memastikan keberadaan Hores. Sekalian Avanthe sepakat meminta Shilom mengusir pria itu pulang. Tidak tahu berita seperti apa yang akan Shilom bawa pulang. Ketika pintu tiba – tiba terbuka, keputusan serius yang Avanthe lakukan adalah menatap Shilom yang menderap pelan mendekati ranjang.“Tuan Roarke baru bangun, Ava. Aku tak berani langsung memintanya pulang.”Tarikan napas Avanthe cukup dalam. Dia mengerti bagaimana posisi Shilom sebenarnya. Tidak akan terlalu memaksa. Kembali menatap Hope yang hanya ditutup dengan handuk kecil melilit di tubuh.Sementara waktu ini Shilom akan selalu membantu memandikan Hope, karena Avanthe sendiri kesulitan sekadar berjongkok atau melipat kakinya untuk mene
“Kau boleh pergi. Untuk kali ini jangan menyentuh apa pun di ruang kerjaku, termasuk membersihkannya.”Hores menatap dingin setelah Shilom mengatakan jawaban mengenai Avanthe dan bagaiaman wanita itu final menolak permintaannya. Kebetulan supir yang biasa menjemput, baru saja tiba; menghentikan mobil di halaman depan, dan merupakan waktu yang tepat bagi Hores mengeksekusi sendiri. Dia berjalan masuk ke dalam kamar diliputi gerakan tangan membanting pintu setelah Shilom meninggalkan rumah. Menyenangkan melihat Avanthe terkejut, tetapi Hores tidak pernah berniat melibatkan Hope yang nyaris menangis, sebelum ibunya dengan sigap menanggapi.Avanthe mendekap Hope. Gadis kecil yang sedang takut karena suara pintu, masih membutuhkan waktu untuk benar – benar bersikap tenang. Dia menatap Hores tajam. Pria itu menjulang dengan wajah tidak berdosa.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya meski sudah mengetahui apa yang Hores inginkan. Memaksanya memakaikan kostum kelinci kepada Hope, begitu k