Rasa sakit di kaki dan keseimbangan yang tak sempat dia pertahankan segera membuat Avanthe jatuh nyaris mencium lantai. Tatapannya lurus, setengah kosong mengamati kepergian Hores yang bahkan sama sekali tidak pernah peduli pada dirinya. Memangnya apa yang Avanthe harapkan akan terjadi? Hores tiba – tiba berbaik hati, lalu menyerahkan Hope kembali, begitu?Itu benar – benar seperti kebodohan paling kental. Hores-lah satu – satunya pria yang ingin melihat kehancurnya. Bahkan dengan sayup – sayup mesin mobil menyala, Hores telah berhasil, sekali lagi, membuat dunia Avanthe luluh lantak. Hope kekuatannya. Dia tidak tahu kapan Hores akan membawa Hope pulang. Perasaan Avanthe berdebar keras. Matanya terasa sangat pedih. Dia menangis di hadapan Shilom saat ini. Wanita itu telah mendekat. Mencoba membawanya bangun, dan ketika itu terjadi, punggung Avanthe langsung mengenyak di sandaran sofa. Menutup wajah dengan telapak tangan menghadapi perasaan penuh ketakutan.“Kau tenanglah, Ava. Aku ya
Selesai memompa asi dan membantu Shilom menyiapkan keperluan Hope, akhirnya Avanthe memutuskan membawa perkakas pertolongan pertama ke ruang tamu. Dia perlu mengganti perban pada luka tembak itu. Menarik napas sesaat untuk kemudian pelan – pelan mengangkat sebelah kaki yang masih diliputi perban lama supaya keduanya berselonjor di atas sofa.Karena Avanthe akan membuka lilitan kain dengan kedua tangan, dia perlu mengatur posisi sedikit menekuk pada kaki yang terluka. Setiap tindakan yang dia lakukan begitu tentatif. Rasa sakit sesekali muncul, benar – benar berdenyut, tetapi Avanthe berjuang supaya tidak terlihat lemah di mata siapa pun, bahkan saat ini, saat sedang sendirian di rumah.Hati – hati Avanthe menggunting perban. Mengulur bagian yang terasa sangat rekat. Dia mendapati bagian di sekitar luka tembak di kaki menimbulkan efek panas yang masih membakar. Hores luar biasa keji. Membayangkan sikap kejam pria itu, rasa cemas Avanthe tidak akan pernah redam.Dia mengusap wajah. Berp
“Sepertinya aku sangat membutuhkan-mu, Ava.”Luar biasa mengejutkan mendengar Kai bicara seperti itu; berbisik nyaris tanpa peringatan. Kesadaran melintas di benak Avanthe. Pasokan udara segera menyergap ke rongga dadanya. Kali ini Avanthe baru dapat mengendalikan diri. Dengan satu tangan dia mencegah keberadaan Kai. Menahan dada bidang pria itu. Menatap sangat ragu, lalu menunduk dalam.Jari – jari Avanthe gemetar. Perasaan terkejut itu mengguncang ketenangannya.“Maaf, Kai. Aku tidak bisa.”Didorong tekad membara untuk mengungkap kebenaran. Avanthe lantas mengangkat wajah. Keterdiaman Kai seperti meriwayatkan sesuatu. Tenggorokan pria itu bergerak, dan betapa pun Kai mencoba menyembunyikan sikap kecewanya. Avanthe bisa merasakan atmosfer di sekitar mereka sangat berbeda.Kai langsung bergeser. Tangan pria itu mengusap di pangkuan sendiri. Demikian pula Avanthe tak tahu harus bagaimana lagi. Keadaan mendadak absurd. Kecanggungan mencoba melampaui batas. Yang terjadi di sekitar mereka
“Tuan, semua perintah Anda telah dikerjakan. Mrs. Winter sudah menerima kiriman paket untuk Nona muda Hope.”Hores menatap salah seorang bawahan dengan sebelah alis terangkat tinggi. Dia sudah membayangkan bagaimana reaksi Avanthe ketika wanita itu akan tahu kebutuhan Hope telah disediakan utuh. Sekarang, secara ajaib kata – kata Nicky meluruskan segala sesuatu tanpa melibatkan drama sebagai dasar dari hubungan mereka.“Dia tidak menolak?” tanya Hores sedikit tidak tahan dengan rasa penasaran membludak. “Sempat menolak, Tuan. Tapi akhirnya Mrs. Winter bersedia.” “Bersedia kenapa?”“Kami tidak tahu, Tuan.”Nicky menunduk ragu. Bagaimanapun dia tak mungkin bersuara mengenai alasan paling masuk akal mengapa Avanthe mendadak tak memiliki pilihan. Semua orang tahu bahwa Hores tidak akan membiarkan keinginan pria itu tidak terpenuhi. Ada harga besar jika dan jika semua perlengkapan Hope dibawa kembali ke mansion besar ini. Sebagai seorang yang cukup terpercaya, Nicky tak ingin membuat kea
“Kau mau ke mana, Ava?”“Menyusul Hope. Aku akan membawanya pulang.”Lengan Avanthe terus bergerak memutar kursi roda. Mengetahui Shilom pulang tanpa Hope bersama wanita itu, rasanya sesuatu dalam diri Avanthe memberontak. Dia tidak bisa membiarkan Hope berlarut lama di mansion yang mentereng. Hores berbahaya, akan selalu meninggalkan rasa takut tak terkendali. Bagaimana jika Hope menangis, dan Hores tidak memiliki kesabaran menghadapi putri kecilnya? Avanthe tidak dapat membayangkan apa yang akan pria itu lakukan.Mencekik. Mencampak. Atau melempar Hope ke dalam air .... Avanthe sempat melihat kolam besar di halaman mansion Hores.Itu semacam ancaman terjal yang bergolak liar dalam benak Avanthe. Tak ingin hal demikian terjadi, dia lebih baik mengejar kebutuhannya sekarang. Terima atau tidak, Hores harus mengembalikan Hope, tidak peduli meskipun pria itu seorang ayah biologis. Avanthe sama sekali tidak mengakui Hores memiliki hak mutlak atas putri mereka. Terserah jika Hores pernah
Hope masih menolak untuk disusui dengan botol. Tingkat kesabaran Hores teruji hingga dia meletakkan gadis kecilnya di atas ranjang, sengaja menjulang tinggi mengamati mata yag menatap ke arahnya begitu gelisah. “Yakin tidak mau susu, Kue Buntal? Kalau tidak mau biar aku yang minum.”Setelah beberapa saat, Hores akhirnya membuka penutup botol. Mencoba menggoda Hope sembari mendekatkan botol susu ke mulut sendiri. Hanya mencicip sedikit kemudian Hores berdecak. Rasanya lebih enak menyusu langsung dari pabrik.Hores kembali menjatuhkan perhatian ke arah Hope. Satu ide mendesak deras di benaknya. Mungkin dengan cara seperti ini Hope akan tertipu. Perlu menarik bayi lima bulan ini terdahulu. Membawa Hope pergi melihat lampu yang lebih terang. Di sana jauh lebih menarik. Paling tidak, keputusan Hores tidak terlalu buruk. Pelan – pelan, Hope mulai menyesap dengan sorot mata terpaku pada lampu gantung. Tetapi itu merupakan kebebasan sementara, karena selebihnya Hope kembali pada mode menyeba
“Di sini tiba – tiba menjadi sangat rakus,” ucap Hores berkomentar setelah mendengar bunyi menyesap dari mulut kecil Hope yang bergerak cepat. Mata gelap pria itu menatap tajam, alasan paling gila mengapa Avanthe tersentak menghadapinya.Avanthe segera menutup bagian tubuh yang terekspos. Hores tidak punya hak masuk tanpa izin. Apalagi sampai berlagak penting di sini. Perlu Avanthe garis bawahi sesuatu yang terucap dari bibir panas itu.Rakus. Adalah sesuatu yang mengerikan.Dia mengerti sekarang. Jadi Hope menolak untuk makan di gedung besar milik pria kurang ajar ini? Itu sebabnya Hores tak punya alasan, selain membawa Hope kembali? Hores berengsek. Hope dibuat kelaparan, dan dengan santai pria itu berkata mengejek.“Siapa yang mengizinkanmu ada di sini? Keluar!” Avanthe mengangkat satu tangan mengusir. Dia seperti melakukan hal percuma saat Hores bersikap santai, dan jsutru mendorong bahu bersandar di dinding kamar.“Aku tak perlu izin siapa pun untuk berada di tempat yang aku mau.
Hope baru saja tertidur dan jari – jari mungil gadis kecil itu segera mengendur. Avanthe tersenyum tipis mengamati setiap detil hal yang ada pada putri kecilnya. Daging di tangan Hope yang padat melipat – lipat menambah aksen menggemaskan, membuat Avanthe tidak akan pernah sedikitpun meninggalkan perhatian di sana.Tadinya dia senang Hope menolak keberadaan Hores, tetapi sepertinya Hope akan segera terbiasa oleh keberadaan makhluk tukang memaksa itu. Hores bisa melakukan apa saja. Termasuk merampas Hope dengan mudah.Sorot mata Avanthe terpaku pada rantai putih di pergelangan tangan dan kaki Hope. Hati – hati dia menyentuh bandul yang bergelantungan. Setidaknya Avanthe mengakui, memang terlihat sangat pas di tangan Hope, meskipun dia masih tidak rela jika Hores mencoba melibatkan kontribusi besar. Efek dari cengkeraman pria itu masih meninggalkan rasa sakit. Avanthe harus berjuang menahan golakan demikian saat dia bergerak melakukan aktivitas.Mulutnya terbuka lebar, menguap. Mulai m