Sekujur tubuh Avanthe begitu remuk. Dia mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan sisa – sisa pandangan yang nyaris tersapu hilang. Sebagian ingatan membawa Avanthe pada satu momen menyedihkan. Dia mengira masih di sana; mengira akan kembali melihat Hores dan segala kejutan keji yang akan pria itu berikan. Syukur bukan hal demikian yang kali pertama diterima setelah tersadar secara utuh. Sorot mata Avanthe berpendar. Sambil berjuang mengenali sudut – sudut asing di matanya, Avanthe berusaha bangun.Dia mengernyit, merasakan sakit tak terurus yang seolah ingin membombardir dirinya, tetapi tidak ingin menyerah demi menggapai keinginan terbebas dari neraka Hores. Dengan tertatih, Avanthe membiarkan pakaian terbuka yang sama terasa ganjil di benaknya. Dia menarik selimut tebal, itu yang terpenting.Kemudian berjalan tersaruk – saruk meninggalkan kamar megah. Betapa Avanthe nyaris tak percaya akan mendapati dirinya berada di satu tempat seperti ini. Dia sama sekali tak ingin tahu siapa
Satu informasi menggebu – gebu menyatakan Avanthe melakukan pemberontakkan di wilayah utara kerajaan. Ketika Hores pergi ke kamar untuk memastikan kebenaran tersebut. Reaksinya begitu spontan menggeram saat tak menemukan wania itu di sana. Kecantikan dan keberanian Avanthe memang dua hal paling sulit untuk tak diakui. Hores segera mengumpulkan pasukan, kemudian berjalan sendiri ke arah utara.“Apa yang kau pikirkan saat ingin lari dari cengkeraman-ku, Ava?” Seringai Hores tak pernah berubah. Kepuasan di mata gelap itu benar – benar kentara setelah mengukir titik lemah yang sedang berusaha keras Avanthe sembuyikan.Dengan segenap upaya besar. Avanthe gemetaran membawa tubuhnya beringsut mundur. Berada sekian jengkal meter bersama Hores sangat berbahaya. Avanthe tak berusaha menatap wajah kejam itu. Paling tidak dia bersyukur para prajurit akan berhenti mendekat ketika suara Hores terdengar marah.Avanthe mungkin menempatkan dirinya di antara segerombolan mangsa. Dia bukan domba yang l
13 bulan kemudian .... . . . Avanthe meletakkan semua keperluan Hope, putri kecilnya yang berusia lima bulan dengan hati – hati setelah cukup lelah berjalan – jalan pagi dengan gendongan bayi yang membantu. Dia senang bisa bersama – sama Hope menikmati udara segar sebelum nanti akan menitipkan putri kecil-nya kepada Shilom ketika wanita itu pulang. Sesuatu perlu Avanthe katakan; sejak kali pertama bertemu Shilom. Wanita itu telah mempersilakannya tinggal di sini, di rumah sederhana ini. Jelas Avanthe menyukai semua hal yang Shilom tawarkan. Wanita itu pernah menikah, ditinggal cerai suaminya, tanpa memiliki anak. Mungkin menjadi satu – satunya alasan mengapa Avanthe sering kali diperlakukan seperti anak sendiri. Bahkan Shilom dan Hope cenderung menunjukkan chemistri mereka yang begitu pas, cocok, sebagai nenek maupun cucu. Sebuah kebahagiaan yang sederhana. Hope menjadi bagian paling penting bagi Avanthe untuk bertahan sampai detik ini. Pada momen pendarahan itu, Avanthe pikir
“Ini kunci gudang-nya, Shilom.”Lengan Avanthe terulur persis setelah dia turun dari mobil. Melangkahkan kaki berhadapan – hadapan bersama Shilom yang menghela napas lega.“Syukurlah kau datang tepat waktu. Freed sudah meraung – raung seperti kucing birahi. Pekerjaannya benar – benar tertunda.”Kata – kata Shilom membuat Avanthe tertawa lambat. Dia berusaha menghindari kekhawatirannya, tetapi pergerakan di perjalanan telanjur membangunkan Hope. Sesekali Avanthe menenangkan putri kecil-nya supaya tetap merasa nyaman, sementara Shilom terlihat mengernyit.“Kau datang bersama Kai?” Wajah Shilom melonggok ingin tahu ke arah mobil. Secara ajaib wanita itu langsung dibanjiri senyum Kai yang menurunkan kaca. Lengan Kai terangkat menyapa Shilom, sehingga lekuk bibir menjadi bahasa kritis ketika akhirnya Kai menjalankan mobil meninggalkan halaman luas, yang nyaris membuat Avanthe tak percaya.Dia masih ingat kata – kata Shilom kali pertama wanita itu mendapat tawaran kerja. Mansion sebesar ini
“Tuan, Anda pulang lebih awal?”Shilom mendeteksi golakan tidak nyaman saat berhadapan langsung dengan sang majikan. Wajah luar biasa tampan yang terlihat dingin, seolah menyerahkan dinding tinggi tak tersentuh, dan bagaimanapun, itu telah membuatnya begitu gugup.“Aku melihat sendal jepit seorang wanita di depan. Apa ada tamu di sini?”Suara berat dan dalam berdesir bagai kilat yang merambah di langit malam. Shilom menatap tuan-nya kemudian menunduk. Ada sesuatu dalam keraguan di benak Shilom mencoba untuk mengingatkan, tetapi dia tidak mungkin menyembunyikan keberadaan Avanthe sampai beberapa waktu ke depan. Halaman belakang juga bukan tempat yang aman sekadar bersembunyi. Setidaknya tiga bulan pertama ini, Shilom tahu apa yang sering menjadi kebiasaan tuan-nya.Tanpa dapat dicegah, Shilom segera mengangguk. “Ya, Tuan ... putri saya ada di sini. Jika Anda merasa keberatan, saya akan memintanya pulang.” Dia bahkan sama sekali tak berani menatap sampai suara sang majikan terdengar bert
“Kau lupa kau siapa, Ava? Apa perlu aku mengingatkanmu kalau kau masih istriku. Kau selir-ku.” Hores berbisik nyaris seperti tuduhan aneh dari seorang yang otoriter. Pria itu memiliki alasan ketika mengulang kegembiraan tak terjangkau. Kata ‘selir’ menjadi sebuah penghinaan besar. Avanthe mendeteksi Hores sedang berusaha mencemooh di wajah-nya. Dia membalas pria itu sengit.“Aku tidak pernah lupa. Tapi yang kutahu, di hari aku meninggalkan istanamu, kau dan aku sudah tidak memiliki hubungan. Sekarang biarkan aku pergi.”Bibir panas dan seksi milik Hores membentuk garis kedut yang sinis. “Itu menurutmu. Aku tidak pernah menganggap hubungan kita berakhir.”Mungkin perlu Avanthe tegaskan betapa Hores tidak membiarkan jarak di antara mereka mengambil peran. Pria itu semakin memojokkannya ke tembok. Otot di wajah Avanthe merasakan ketegangan. Hores menambahkan rasa sakit dengan sengaja menekan ujung jari pria itu.“Tidak ada hubungan yang bisa bertahan tanpa rasa cin
“Menurutmu, kau pikir aku mau mengandung anak dari pria kejam sepertimu? Itu tidak akan pernah terjadi.” Satu keputusan paling tepat dilakukan dengan tekad berani. Avanthe segera mendekap Hope setelah dia berjuang menjauhkan jari – jari mungil gadis kecil itu dari kancing kemeja di tubuh Hores. Dia tidak ingin melibatkan Hope lebih jauh di sini. Tidak ingin Hores mencium aroma kebohongannya. Tidak ingin semuanya. Yang Avanthe butuhkan adalah secepatnya meninggalkan tempat menyesakkan, yang sialnya menjadi ruang bagi Shilom mencari uang. “Siapa namanya?” Tiba – tiba pertanyaan Hores mengaburkan ketenangan Avanthe. “Bukan urusanmu,” jawabnya tak ingin terlihat putus asa. “Berapa usia-nya kalau begitu?” “Kau tidak berhak tahu.” Hores memang tidak berhak tahu. Avanthe akan mengusahakan apa saja asal Hores tak mengetahui sekecil informasi mengenai Hope. “Jika kau tidak ingin mengatakannya, artinya dia anakku.” “Dia bukan anakmu.” “Lalu anak siapa?” “Anakku.” Avanthe mendengar s
Memalukan sekali bahwa Hores melakukan segala cara untuk tetap mengetahui nama Hope. Sekarang pria itu sedang memanfaatkan ketidakberdayaan Shilom, menunggu wanita itu mengatakan sesuatu yang menguntungkan.Avanthe tidak ingin hal tersebut terjadi. Ujung jarinya bergerak, menyentuh punggung tangan Shilom beberapa kali, berharap wanita itu akan mengerti, tetapi Avanthe harus mendapati caranya tidak berhasil.Hores berhasil membuat kegugupan Shilom kentara di sekitar mereka. Membuat simpati apa pun yang mungkin wanita itu rasakan menguap. Rasa takut Shilom jauh lebih besar, meski beberapa pertimbangan sedang coba diputuskan.Avanthe mendapati tubuh Shilom pelan – pelan gemetar. Wanita itu menatapnya sesaat, lalu menunduk dalam.“Namanya Hope, Tuan. A—ada apa memangnya?”“Hope?” Dengan mata dan tenggorokan pedih. Avanthe merasakan antusiasme dalam diri Hores mengencang. Suara pria itu sarat nada tertarik. Mata gelap yang menyipit bahkan di waktu bersamaan membuat golakan di perut Avanth
“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh kebutuhan untuk memulai. Dia menatap Raja V
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan. “Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah
“Hores?” Seperti ada gemuruh besar dengan segala bentuk sambaran mengerikan. Avanthe menatap wajah Ellordi penuh tanda tanya. Dia tak ingin percaya terhadap apa pun itu. Tidak ada penjelasan gamblang mengenai keadaan Hores saat ini, tetapi mengapa rasanya seperti telah membawa dia menghadapi pendekatan yang jelas, di mana kekhawatiran berakhir sebagai rayuan tidak masuk akal. Hores baik – baik saja ... akan selalu begitu. Pria itu harus kembali untuk anak – anaknya. Bukankah Aceli sudah menunggu? Meminta supaya Avanthe membangunkan ketika Hores datang? Sekarang apa yang bisa dilakukan setelah semua terasa mengejutkan? Avanthe menatap ayahnya sambil menggeleng samar. Bagian paling penting adalah menyingkirkan tumpukan air yang membentuk percikan kaca. Dia melihat semua dengan buram, sama seperti berjuang keras meyakinkan perasaannya, meski tidak ada harapan tersisa. “Jangan katakan itu, Papa,“ ucap Avanthe mendeteksi akan ada suatu informasi u
Pernyataan Hores mengenai perang di wilayah pria itu menjadi suatu bagian paling nyata, bahwa mereka ... meski tidak terlibat; juga mengalami dampak serius. Suara – suara ledakan hingga guncangan yang sesekali terasa begitu keras merupakan prospek terburuk. Avanthe bertanya – tanya pertempuran seperti apa, atau barangkali perebutan hak dari mana sehingga nyaris tidak ada damai di Kerajaan Bawah Tanah. Dia khawatir mengenai Hores, takut jika akan terjadi suatu hal tak diinginkan dan berakibat fatal. Rasanya sesuatu di dalam diri Avanthe seakan ingin memberi petunjuk. Dia tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, hanya tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu apakah seharus ini mendambakan Hores baik – baik saja, maka pria itu akan kembali mendatangi anak – anak, apalagi ... jika secara ajaib mereka bisa berdamai. Membayangkan andai perasaan mereka kembali utuh. Anak – anak juga akan menyukainya; tidak ada pemisahan dan pelbagai hal lain yang menjadi masalah besar.“Mommy,
Pernyataan Hores terdengar penuh pengalihan serius. Perkara pancake itu lagi dan permasalahan yang selalu sama ....Avanthe diam beberapa saat, terpaku, memikirkan kembali pengajuan Hores sebagai berikut;Apa yang dia ingin pria itu katakan?Tidak banyak, tetapi Hores telah mengatakannya. Ya, setidaknya Avanthe mengerti ... betapa dia perlu menyadari bentuk kesalahpahaman yang menyemat di sana dengan suatu pengakuan nyata. “Dan kau percaya aku akan melakukannya?” tanyanya sarat ekspresi nanar. Ini lebih buruk dari membayangkan Hores telah sadar dari setiap tindakan buruk. Avanthe ingin tahu, adakah cara ampuh untuk menarik Hores ke permukaan, memberi pria itu petunjuk, atau sejenis lainnya, tetapi bagaimana? Dia belum menemukan cara. Dengan desakan putus asa dalam dirinya, reaksi Avanthe yang paling murni adalah menunduk saat Hores seperti tidak memiliki niat menanggapi. Pria itu selalu percaya terhadap apa yang menurutnya benar, tetapi lupa bahwa logika juga h