“Ini kunci gudang-nya, Shilom.”Lengan Avanthe terulur persis setelah dia turun dari mobil. Melangkahkan kaki berhadapan – hadapan bersama Shilom yang menghela napas lega.“Syukurlah kau datang tepat waktu. Freed sudah meraung – raung seperti kucing birahi. Pekerjaannya benar – benar tertunda.”Kata – kata Shilom membuat Avanthe tertawa lambat. Dia berusaha menghindari kekhawatirannya, tetapi pergerakan di perjalanan telanjur membangunkan Hope. Sesekali Avanthe menenangkan putri kecil-nya supaya tetap merasa nyaman, sementara Shilom terlihat mengernyit.“Kau datang bersama Kai?” Wajah Shilom melonggok ingin tahu ke arah mobil. Secara ajaib wanita itu langsung dibanjiri senyum Kai yang menurunkan kaca. Lengan Kai terangkat menyapa Shilom, sehingga lekuk bibir menjadi bahasa kritis ketika akhirnya Kai menjalankan mobil meninggalkan halaman luas, yang nyaris membuat Avanthe tak percaya.Dia masih ingat kata – kata Shilom kali pertama wanita itu mendapat tawaran kerja. Mansion sebesar ini
“Tuan, Anda pulang lebih awal?”Shilom mendeteksi golakan tidak nyaman saat berhadapan langsung dengan sang majikan. Wajah luar biasa tampan yang terlihat dingin, seolah menyerahkan dinding tinggi tak tersentuh, dan bagaimanapun, itu telah membuatnya begitu gugup.“Aku melihat sendal jepit seorang wanita di depan. Apa ada tamu di sini?”Suara berat dan dalam berdesir bagai kilat yang merambah di langit malam. Shilom menatap tuan-nya kemudian menunduk. Ada sesuatu dalam keraguan di benak Shilom mencoba untuk mengingatkan, tetapi dia tidak mungkin menyembunyikan keberadaan Avanthe sampai beberapa waktu ke depan. Halaman belakang juga bukan tempat yang aman sekadar bersembunyi. Setidaknya tiga bulan pertama ini, Shilom tahu apa yang sering menjadi kebiasaan tuan-nya.Tanpa dapat dicegah, Shilom segera mengangguk. “Ya, Tuan ... putri saya ada di sini. Jika Anda merasa keberatan, saya akan memintanya pulang.” Dia bahkan sama sekali tak berani menatap sampai suara sang majikan terdengar bert
“Kau lupa kau siapa, Ava? Apa perlu aku mengingatkanmu kalau kau masih istriku. Kau selir-ku.” Hores berbisik nyaris seperti tuduhan aneh dari seorang yang otoriter. Pria itu memiliki alasan ketika mengulang kegembiraan tak terjangkau. Kata ‘selir’ menjadi sebuah penghinaan besar. Avanthe mendeteksi Hores sedang berusaha mencemooh di wajah-nya. Dia membalas pria itu sengit.“Aku tidak pernah lupa. Tapi yang kutahu, di hari aku meninggalkan istanamu, kau dan aku sudah tidak memiliki hubungan. Sekarang biarkan aku pergi.”Bibir panas dan seksi milik Hores membentuk garis kedut yang sinis. “Itu menurutmu. Aku tidak pernah menganggap hubungan kita berakhir.”Mungkin perlu Avanthe tegaskan betapa Hores tidak membiarkan jarak di antara mereka mengambil peran. Pria itu semakin memojokkannya ke tembok. Otot di wajah Avanthe merasakan ketegangan. Hores menambahkan rasa sakit dengan sengaja menekan ujung jari pria itu.“Tidak ada hubungan yang bisa bertahan tanpa rasa cin
“Menurutmu, kau pikir aku mau mengandung anak dari pria kejam sepertimu? Itu tidak akan pernah terjadi.” Satu keputusan paling tepat dilakukan dengan tekad berani. Avanthe segera mendekap Hope setelah dia berjuang menjauhkan jari – jari mungil gadis kecil itu dari kancing kemeja di tubuh Hores. Dia tidak ingin melibatkan Hope lebih jauh di sini. Tidak ingin Hores mencium aroma kebohongannya. Tidak ingin semuanya. Yang Avanthe butuhkan adalah secepatnya meninggalkan tempat menyesakkan, yang sialnya menjadi ruang bagi Shilom mencari uang. “Siapa namanya?” Tiba – tiba pertanyaan Hores mengaburkan ketenangan Avanthe. “Bukan urusanmu,” jawabnya tak ingin terlihat putus asa. “Berapa usia-nya kalau begitu?” “Kau tidak berhak tahu.” Hores memang tidak berhak tahu. Avanthe akan mengusahakan apa saja asal Hores tak mengetahui sekecil informasi mengenai Hope. “Jika kau tidak ingin mengatakannya, artinya dia anakku.” “Dia bukan anakmu.” “Lalu anak siapa?” “Anakku.” Avanthe mendengar s
Memalukan sekali bahwa Hores melakukan segala cara untuk tetap mengetahui nama Hope. Sekarang pria itu sedang memanfaatkan ketidakberdayaan Shilom, menunggu wanita itu mengatakan sesuatu yang menguntungkan.Avanthe tidak ingin hal tersebut terjadi. Ujung jarinya bergerak, menyentuh punggung tangan Shilom beberapa kali, berharap wanita itu akan mengerti, tetapi Avanthe harus mendapati caranya tidak berhasil.Hores berhasil membuat kegugupan Shilom kentara di sekitar mereka. Membuat simpati apa pun yang mungkin wanita itu rasakan menguap. Rasa takut Shilom jauh lebih besar, meski beberapa pertimbangan sedang coba diputuskan.Avanthe mendapati tubuh Shilom pelan – pelan gemetar. Wanita itu menatapnya sesaat, lalu menunduk dalam.“Namanya Hope, Tuan. A—ada apa memangnya?”“Hope?” Dengan mata dan tenggorokan pedih. Avanthe merasakan antusiasme dalam diri Hores mengencang. Suara pria itu sarat nada tertarik. Mata gelap yang menyipit bahkan di waktu bersamaan membuat golakan di perut Avanth
Ketegangan di bahu Avanthe membuat Hores semakin penasaran. Mungkin ada sesuatu yang salah. Mungkin ada sesuatu yang tidak pernah dia duga sebelumnya. Lubang hitam menyerap seluruh kemampuan Avanthe. Mengambil energi wanita itu untuk tidak terikat dengan dunia mereka yang sesungguhnya, dan bagian terburuk adalah mengambil separuh ingatan Avanthe; kalau benar – benar itulah yang terjadi.Akan tetapi mengapa hal tersebut tak sama seperti Elden yang di sisi lain ditemukan terdampar di Negara Eropa tengah? Pria itu memiliki ingatan utuh, meski untuk kembali ke dunia bawah tanah akan membutuhkan sesuatu yang lebih besar dari lubang hitam itu sendiri. Hores belum menemukan kekuatan tersebut untuk membawa Elden atau barangkali Avanthe kembali sebagai selir-nya. Dan sesuatu yang mengejutkan; dia suka bagaimana sikap berani Avanthe yang semakin liar.Satu tangan Hores menyentuh garis bahu yang ditutup oleh rambut panjang. Avanthe berusaha mengelak, menolak batas apa pun. Demikian menjadi alasa
Ini jauh lebih baik dari pada berada di rumah mentereng itu. Avanthe mengembuskan napas lega setelah meletakkan Hope di keranjang bayi. Dia perlu bersiap kerja. Mulai menguncir rambut menjadi gulungan tebal. Tidak apa – apa meninggalkan Hope sendiri, sementara dia berjalan ke kamar mandi. Avanthe menyalakan keran untuk mengisi air ke dalam bak. Dia menumpahkan aroma terapi, mengaduk cairan berwarna tersebut hingga merata; menguarkan semerbak aroma wangi ke ke sekitar ruangan lembab. Sesekali membutuhkan sesuatu untuk menenangkan pikiran. Bayangan tentang Hores penting dilupakan. Avanthe tidak ingin jika bayangan terpuruk dari pria itu akan terbawa sampai ke lokasi dia kerja. Perlahan dia melucuti seluruh pakaian di tubuh. Menunduk. Menatap getir bekas pakaian yang telah teronggok menjadi gumpalan tebal di lantai. Sesuatu dalam dirinya berontak. Sisa sentuhan Hores benar – benar masih terasa panas. Avanthe membencinya. Benci mengingat kembali bagaimana mulut pria itu bergerak liar di
“Mommy berangkat kerja dulu, Hope-Hope. Kau jangan nakal – nakal saat bersama Shi-Shi, mengerti? Kita akan bertemu lagi nanti malam.”Avanthe menyingkir setelah mengecup pipi Hope gemas. Tangan mungil itu berusaha memukul di udara. Avanthe tertawa sayup. Sudah cukup rasanya nyaris membuat ekspresi di wajah luntur saat Shilom memberikan pertanyaan – pertanyaan tak terduga.Avanthe mungkin terkejut, tetapi kebenaran yang Shilom ketahui, telah dia jelaskan dengan utuh. Avanthe tidak akan menuntut wanita itu memberinya saran. Terpenting sekarang Shilom mengerti dan tidak akan mencecar-nya dengan tuduhan jahat atau barangkali sampai menghakiminya. Yang dia takutkan justru adalah Hores akan memecat Shilom, walau benar, Avanthe tidak ingin berurusan lebih panjang bersama pria itu. Membiarkan Shilom bekerja di tempat yang sama memang sama seperti meletakkan dua bom di bawah bantalnya. Avanthe hanya tak menyangka kalau Hores cukup gila dalam menawarkan bayaran. Dia tidak tahu pria itu bekerja