Bagi Hores, rasa sakit dan kehancuran Avanthe adalah segalanya.
***“Aku akan membalaskan kematian ayahku, Ava.”Nada bicara Hores bergetar dikuasai dendam. Semula dia memiliki perasaan yang mendambakan, kemudian semua itu berbalik menjadi sebuah perasaan benci yang mengalir kental.Avanthe bisa memilih tidak merenggut nyawa Raja Vanderox, tetapi wanita itu melakukannya. Ntah atas dasar memerdekakan Aceli atau Pandora, Hores tidak begitu peduli. Dia pastikan Avanthe akan membayar kehilangan ini dengan mahal.Tidak apa – apa jika Avanthe memiliki pengetahuan yang hijau. Namun, wanita itu tahu, sangat tahu bagaimana Hores tidak bisa memihak salah satunya. Sekarang Hores tak punya alasan terus terngambang di antara dua pilihan.Cengkeramannya luar biasa kasar di tulang rahang Avanthe. Hanya perlu satu tindakan menyakitkan, maka kematian Avanthe segaris dengan batas kehidupan wanita itu.Hores menyeringai sinis. Ketakutan di mata Avanthe menjadi siraman asing dan menyenangkan. Dia mendapati dirinya puas melihat bagaimana bibir yang pernah menjadi kepunyaannya terlihat keluh.Avanthe yang terbata – bata menjadi satu kekuatan baru. Senang, Hores senang sekali melihat wanita di bawah cengkeraman tangannya seperti ini. Berpikir, mungkin dia-lah yang terlalu baik. Tetapi darah ayahnya—sikap kejam, dan bengis—adalah sesuatu yang merekat di bawah alam sadar—Hores hanya terlalu sering mengabaikan.“Kau ingin aku melakukan apa, Ava?”Hores berbisik di samping wajah Avanthe. Saat wanita itu semakin bergetar. Itulah keajaiban yang sesungguhnya.“Bunuh aku jika itu bisa membuatmu puas,” ucap Avanthe berani. Pria di hadapannya benar – benar bukan Hores yang pernah dia kenal. Semua berubah dalam sekejap. Kejernihan warna pria itu seperti telah dilimpahi hal yang tidak Avanthe tahu akan membludak secara beringas.“Jika aku membunuhmu, bukankah itu terlalu mudah? Bagaimana dengan anak kita?”Jantung Avanthe mencelus. Dia akan sangat memohon. Berharap kepada Hores; tolong, tidak dengan anak mereka.“Jangan lakukan apa pun kepadanya.”Avanthe mendengar suara sendiri begitu lirih. Dia melihat Hores diliputi percikan gembira. Sialnya pria itu tidak peduli. Sama sekali tidak peduli, selain membiarkan Avanthe jatuh terempas di atas medan peperangan.Hores melangkah terlalu cepat. Nyaris tak berjeda sampai pria itu berhasil menghentikan satu harta berharga lainnya bagi Avanthe. Terlalu mudah pria itu menjadikan ayah Avanthe sebagai tumbal, alih – alih menyelesaikan Avanthe sekarang. Tangan Hores begitu tak tertandingi, seolah ingin merenggut jantung yang berpotensi terampas di sana.“Perang ini akan berhenti, Ava. Jika kau ingin ayahmu kembali dengan keadaan utuh, segera temui aku. Hanya kau saja. Mengerti?”Hores mengingatkan dan langsung menghilang. Seperti yang pria itu katakan. Perang segera berhenti, tetapi perang baru, perang saling menyakiti baru saja dimulai. Tubuh Avanthe luruh mengamati pertumpahan yang luar biasa. Dia sungguh telah mengubah pria yang telah berada di ambang kejahatan, menjadi kejahatan sesungguhnya.***Sesuai permintaan Hores. Avanthe sudah berada di perbatasan yang menjembatani Kerajaan Ossoron dan Kerajaan bawah tanah. Akan tetapi dia tidak sendiri. Beberapa prajurit kerajaan bawah tanah datang menjemput. Rantai – rantai besar di tangan mereka; telah diputuskan untuk menjerat tubuh Avanthe seperti seorang tawanan.Tidak banyak yang bisa Avanthe katakan. Dia menelan ludah kasar mengikuti setiap langkah mengerikan; seperti menjemput kematian.Gerbang besar, condong dengan kesuraman berada di depan mata. Avanthe mengerti ini adalah waktu paling menyakitkan. Tubuhnya didorong kasar; dipaksa melangkah memasuki istana megah.Mata keunguan Avanthe berpendar, berusaha mencari – cari celah penting, barangkali dia bisa menemukan jalan keluar setelah ini. Sayangnya, apa pun yang coba dilakukan. Itu akan membuat Avanthe mendapat perlakuan buruk. Pukulan keras memaksa Avanthe menatap lurus – lurus ke depan.“Perhatikan langkahmu!”Salah satu prajurit istana bicara. Mereka kemudian melewati jalan berkelok. Avanthe merasakan kegugupan brutal menghadapi lorong yang dengan gelap-nya seolah sudah mengintai satu nyawa.Dia bahkan tak pernah menyadari kalau – kalau lorong itu merupakan arah menuju singgasana megah.Satu dorongan solid membuat tubuh Avanthe tersungkur ke depan. Jantungnya berdebar keras ketika jatuh dengan posisi nyaris terlihat akan mencium kaki dalam balutan sepatu, milik seseorang.Avanthe segera menengadah. Dia terpaku mendapati satu kenyataan serius.Hores masih sama tampannya, menjulang tinggi diliputi wajah menunduk tanpa ekspresi. Benar – benar berbeda dari yang terakhir Avanthe lihat di medan perang.Sekarang Hores telah menjadi raja. Penampilannya sangat mencolok, sehingga Avanthe merasa dia mungkin ... mungkin akan segera beringsut mundur.“Kau membuatku menunggu lama.”Suara berat dan dalam terdengar cenderung sedang mencemooh. Avanthe tiba – tiba merasa telah disergap oleh kebodohan. Rantai – rantai melilit di tubuhnya kerasan membuat dia dihantui ketakutan.“Kau membuat kesalahan, Ava. Aku tidak suka menunggu terlalu lama.” Bibir Hores mendesis sinis. Dengan keras menarik tulang rahang Avanthe untuk dicengkeram.Avanthe menatap pria itu dengan sisa harapan; berharap Hores kembali menjadi pria masa lalunya yang sempurna. Bukan seperti ini; tanpa ampun, tangan kasar Hores menjambak pangkal rambut Avanthe hingga seutuhnya wajah memesona itu terangkat tinggi menatap Hores yang dipenuhi sisi bengis.“Kau tahu aku datang kemari supaya kau membebaskan ayahku, Hores.”Lewat tekad paling berani. Avanthe akhirnya mengucapkan kata – kata di ujung dengan gamblang. Tidak bisakah Hores memberinya pengampunan? Avanthe sungguh tak ingin melihat seringai keji yang mendadak mengubah seluruh kebutuhannya. Ini bukan lagi cinta di antara mereka, tetapi bagaimana Hores telah menyingkirkan hal paling indah tersebut di kehidupan pria itu.“Kau ingin bertemu ayahmu?”Setiap detil dari suara yang berbisik seakan memberitahu bahwa Avanthe akan bertemu langsung terhadap rasa sakit.Avanthe mengangguk ragu. Jelas dia ingin bertemu ayahnya, adipati Kerajaan Ossoron, setelah Hores menggunakan cara keji untuk mengancam. Ini bukan perihal kisah cinta dan pertemuan. Benak Avanthe sungguh tidak meninggalkan hasrat terhadap simpatisan-nya tentang kehilangan pria itu.Telah begitu banyak kekacauan. Raja Vanderox pantas lenyap oleh senjata dwisula milik raja itu sendiri. Avanthe hanya menjalankan tugas. Perang memang memakan korban; bagaimana mungkin Hores berpikir terlalu dangkal! Pria itu marah atas sesuatu yang sudah menjadi konsekuensi di kehidupan mereka.“Aku tidak ingin kau melakukan sesuatu yang buruk kepada ayahku, Hores.”“Aku yang membunuh Raja Vanderox. Jika kau ingin membalaskan dendam, lakukan itu kepadaku. Jangan melibatkan yang lain.”Bibir Avanthe bergetar sekadar menyelesaikan setiap pernyataan barusan. Dia menatap ke dalam – dalam seringai Hores yang mematikan. Sungguh. Hores tidak memiliki belas kasih.“Kau tidak punya hak mengatakan perintah kepadaku.”Kilatan kebencian nyata – nyata menggulung Avanthe ke dasar jurang. Dia tak pernah ingin bertemu Hores yang penuh dengan kebencian terhadapnya.“Ayahmu akan selalu bersamaku. Jika kau ingin dia selamat, ada harga yang harus kau bayar.”Avante mendeteksi wajah Hores segera mendekat di samping pendengarannya. “Apa yang bisa kubayar?” Dia bertanya spontan, secara tidak langsung membuat pria itu berdecih sinis.“Menjadi selirku yang malang!”Hores melempar wajah Avanthe keras dan kasar. Cengkeraman mantap meninggalkan jejak dan rasa panas. Pria itu menatap para prajurit dengan tajam.“Bawa dia ke penjara bawah!”Batapa pun Avanthe berusaha berontak terhadap kekejaman Hores. Dia telah menemukan bahwa pria itu satu – satunya yang paling membencinya. Tidak ada ruang untuk melarikan diri. Avanthe dikurung, diperbudak seperti wanita tak berguna. Nyaris dengan waktu yang begitu panjang Hores hanya membiarkan Avanthe terpekur; bertanya – tanya bagaimana kondisi ayahnya?Sepanjang lorong penjara, Avanthe tak menemukan, atau barangkali mencium keberadaan ayahnya, Ellordi. Dia tak peduli apabila Hores akan melakukan penyiksaan paling brutal. Akan tetapi satu; Avanthe hanya ingin pria itu memenuhi permintaan sederhana.Tidak apa – apa jika dia harus menanggung semua kesakitan. Tidak ada lagi hal yang bisa Avanthe harapkan dari kecintaannya kepada pria, yang pula menjadi ayah kandung Aceli, gadis kecil mereka, termasuk janin dalam kandungan Avanthe.Dia tak mungkin mengatakan kepada Hores tentang kehamilan ini. Kebencian Hores akan semakin runyam. Bahkan menemukan cara dan menganggap kandungan Avanthe ad
Avanthe terdiam ketakutan. Dia memusatkan perhatian lurus – lurus menatap dinding suram. Sudah menunggu untuk waktu yang lama. Sejujurnya, Avanthe sungguh tak berharap akan melayani Hores, tetapi jika hanya dengan cara itu bisa membebaskan ayahnya. Dia akan melakukan apa pun. Mungkin Hores hanya terlalu marah. Mungkin Hores akan kembali seperti semula setelah mereka bercinta. Oh ....Avanthe mendengkus kasar.Apa yang dia pikirkan? Keyakinannya tentang hubungan mereka telah mutlak. Avanthe tak akan bisa berbuat apa pun. Perlahan, dia mengedarkan pandangan pada sepetak penjara yang menyesakkan. Tidak ada secuil celah supaya bisa merangkak lari setelah urusannya selesai. Prospek menguntungkan seolah mengutuk keberadaan Avanthe di sini. Dia mengulurkan lengan secara tentantif memeluk kedua lutut yang ditekuk. Setiap pergerakan Avanthe diikuti bunyi rantai di pergelangan tangan dan kaki. Rantai itu mungkin masih tergolong panjang sehingga sekadar berjalan beberapa langkah. Sesekali A
Dulu, menjadi pengantin Hores adalah dambaan Avanthe paling nyata. Dia selalu berharap akan mengenakan gaun pernikahan yang indah, melangsungkan sebuah ikatan secara resmi di istana. Menikmati masa – masa paling mengesankan lewat peristiwa melegakan.Namun, sekarang, setelah pernikahan, setelah Hores memanfaatkan keberadaan ayahnya untuk mengikat mereka ke dalam hubungan yang utuh. Avanthe merasakan jantungnya berdebar keras. Dia melihat para prajurit membawa Ellordi yang terluka parah. Itu tidak adil. Ayahnya bahkan, dengan segala rasa tidak setuju terhadap pernikahan ini, nyatanya tidak bisa membuat sebuah keputusan mutlak. Avanthe telah terikat. Secara tidak langsung telah menyandang gelar ratu, tetapi Hores telah menjanjikan bahwa Avanthe tidak akan pernah menjadi ratu utama. Selir. Perlu garis tambahan. Dia adalah selir. Tidak akan berarti apa pun bagi sang raja; kecuali dipaksa untuk berbagi kebutuhan dan saling bergairah, ntah dia setuju atau bahkan bagian terburuknya; tak per
“No!”Avanthe berontak hebat. Darah keemasan menciprat, merembes deras dari pangkal leher yang terputus. Kepala ayahnya baru saja bergelinding sampai ke sudut ruangan. Bagaimana mungkin itu terjadi secepat kilat menyambar. Avanthe tak menyangka Hores dengan keji melakukan tindakan demikian setelah menipu berkali – kali dan memberi harapan yang begitu sia – sia.Otot kaki Avanthe melemah. Dia segera bersimpuh. Air di mata telah berurai. Bunyi gemerincing rantai menghias isakan tangis, tetapi itu tidak memberi Hores pengaruh. Kerapuhannya adalah gersang yang tersiram oleh tumpukan es bagi pria itu. Hanya seringai puas dan hasrat membara berkilat di mata gelap Hores.“Bawa sampah – sampah ini pergi.”Perintah tersebut ditujukan kepada sang prajurit supaya segera membebaskan dua tubuh Ellordi yang terpisah. Tidak!Avanthe tersaruk – saruk berusaha merangkak mendapati tubuh ayahnya. Dia nyaris menyentuh bagian pergelangan yang terikat. Namun, Hores yang kejam menghentikan tindakan tersebu
Dicambuk dengan besi panas setelah disentuh secara paksa. Mana lagi yang lebih hina?Sesaat lalu, beberapa prajurit datang menggebrak sepetak ruangan kosong. Avanthe dilempari pakaian baru. Dia dipaksa mengenakan kain hitam terbuka; menampilkan setiap lekuk di tubuhnya dengan cara paling menyedihkan. Kemudian, sebuah perintah untuk merangkak di atas pijakan berduri telah membuatnya terdampar di sini.Di satu tempat di mana Hores duduk bersandar dengan segala kepuasan tergambar utuh di wajah itu. Avanthe memejam kesakitan. Setiap gerakan cambuk sangat - sangat melukai punggungnya, menciptakan bunyi – bunyi rantai yang menjerat untuk saling bersinggungan. Dia berjuang menahan erangan, tetapi itu lebih sumbang dari pada membiarkan udara berembus lewat celah bibir.Sepenggal – penggal pertanyaan bersarang di benak Avanthe. Dia mencoba memahami kolerasi terhadap dendam Hores yang seharusnya telah usai dan keputusan pria itu yang mendadak menjadi makin kejam.“Aku ingin matamu tetap terbuk
Sekujur tubuh Avanthe begitu remuk. Dia mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan sisa – sisa pandangan yang nyaris tersapu hilang. Sebagian ingatan membawa Avanthe pada satu momen menyedihkan. Dia mengira masih di sana; mengira akan kembali melihat Hores dan segala kejutan keji yang akan pria itu berikan. Syukur bukan hal demikian yang kali pertama diterima setelah tersadar secara utuh. Sorot mata Avanthe berpendar. Sambil berjuang mengenali sudut – sudut asing di matanya, Avanthe berusaha bangun.Dia mengernyit, merasakan sakit tak terurus yang seolah ingin membombardir dirinya, tetapi tidak ingin menyerah demi menggapai keinginan terbebas dari neraka Hores. Dengan tertatih, Avanthe membiarkan pakaian terbuka yang sama terasa ganjil di benaknya. Dia menarik selimut tebal, itu yang terpenting.Kemudian berjalan tersaruk – saruk meninggalkan kamar megah. Betapa Avanthe nyaris tak percaya akan mendapati dirinya berada di satu tempat seperti ini. Dia sama sekali tak ingin tahu siapa
Satu informasi menggebu – gebu menyatakan Avanthe melakukan pemberontakkan di wilayah utara kerajaan. Ketika Hores pergi ke kamar untuk memastikan kebenaran tersebut. Reaksinya begitu spontan menggeram saat tak menemukan wania itu di sana. Kecantikan dan keberanian Avanthe memang dua hal paling sulit untuk tak diakui. Hores segera mengumpulkan pasukan, kemudian berjalan sendiri ke arah utara.“Apa yang kau pikirkan saat ingin lari dari cengkeraman-ku, Ava?” Seringai Hores tak pernah berubah. Kepuasan di mata gelap itu benar – benar kentara setelah mengukir titik lemah yang sedang berusaha keras Avanthe sembuyikan.Dengan segenap upaya besar. Avanthe gemetaran membawa tubuhnya beringsut mundur. Berada sekian jengkal meter bersama Hores sangat berbahaya. Avanthe tak berusaha menatap wajah kejam itu. Paling tidak dia bersyukur para prajurit akan berhenti mendekat ketika suara Hores terdengar marah.Avanthe mungkin menempatkan dirinya di antara segerombolan mangsa. Dia bukan domba yang l
13 bulan kemudian .... . . . Avanthe meletakkan semua keperluan Hope, putri kecilnya yang berusia lima bulan dengan hati – hati setelah cukup lelah berjalan – jalan pagi dengan gendongan bayi yang membantu. Dia senang bisa bersama – sama Hope menikmati udara segar sebelum nanti akan menitipkan putri kecil-nya kepada Shilom ketika wanita itu pulang. Sesuatu perlu Avanthe katakan; sejak kali pertama bertemu Shilom. Wanita itu telah mempersilakannya tinggal di sini, di rumah sederhana ini. Jelas Avanthe menyukai semua hal yang Shilom tawarkan. Wanita itu pernah menikah, ditinggal cerai suaminya, tanpa memiliki anak. Mungkin menjadi satu – satunya alasan mengapa Avanthe sering kali diperlakukan seperti anak sendiri. Bahkan Shilom dan Hope cenderung menunjukkan chemistri mereka yang begitu pas, cocok, sebagai nenek maupun cucu. Sebuah kebahagiaan yang sederhana. Hope menjadi bagian paling penting bagi Avanthe untuk bertahan sampai detik ini. Pada momen pendarahan itu, Avanthe pikir