“Kau sudah mendapatkanku, Hores. Mengapa tidak melepaskan Kai. Biarkan dia pergi.”
Tanah bebatuan terkadang menjadi guncangan di tengah perjalanan. Avanthe menatap lurus ke penjuru hutan. Kekhawatiran mengenai Kai tidak pernah habis. Sisa bawahan Hores masih memburu, mengejar pria itu sesuai perintah dari sang majikan. Dia tak bisa membayangkan tindakan Hores yang paling mendasar dan cara pria itu yang telah memenangkan taruhan. Tidak. Tentunya akan begitu banyak rasa sakit, andai Kai, tak dapat berbuat apa pun terhadap usaha meninggalkan tempat bersemak, atau setidaknya pria itu dapat bersembunyi hingga orang – orang yang mengintainya hilang dari peradaban.Tidak ada respons apa pun. Wajah Avanthe berpaling untuk mengetahui seperti apa kemungkinan terbaik yang bisa dia terima dari kebutuhan bernegosiasi. Celakalah, wajah Hores terlalu suram untuk diajak kompromi. Ini akan menjadi keputusan terburuk, jika Avanthe masih ingin mencobanya. Dia tidak tahu sejauh mana Hores akan“Kau yakin akan menitipkannya kepadaku?” Masih ada pelbagai perasaan ragu, tetapi Avanthe tidak pernah memiliki pilihan setelah untuk pertama kali melahirkan gadis kecil yang cantik, kemudian menyerahkannya kepada satu orang begitu dekat. Kingston. Hanya saudara sepupu-nya yang bisa Avanthe percayakan supaya dia bisa memastikan keadaan selalu dalam kendali. Kelahiran bayi mungil ini akan menjadi masalah besar bagi dua kerajaan yang bertentangan. Avanthe tidak ingin mengambil risiko yang terlalu riskan. Dia menatap wajah merah dan bulat—seluruh tubuh bayi-nya nyaris dibungkus dalam balutan kain sutra lembut. Sekarang, dengan perasaan hampir tak dapat ditembus, Avanthe harus memindahkan bayi dalam dekapan tangannya ke lengan Kingston. Pria itu, bagaimanapun harus berakhir siap. Lamat sekali Avanthe mengamati wajah mungil si bayi yang diliputi mata memejam. Dia tersenyum tipis, nyaris menyerupai getir ketika memutuskan untuk mencium aroma putri kecilnya. Ini yang terbaik. Akan sela
Avanthe mungkin mengatakan betapa dia menolak untuk menatap wajah Hores, atau apa pun yang berusah berikatan langsung tentang pria itu. Namun, saat Shilom akhirnya pergi menemui majikannya, hal tersebut tidak lagi memberi Avanthe pilihan. Dia ingin tahu bagaimana reaksi Hores, masihkah pria itu merasa paling berkuasa setelah peristiwa yang mereka alami terasa begitu menyedihkan? Sepertinya tidak untuk kali ini. Avanthe cukup terkejut menyaksikan percakapan yang dibatasi kaca rumah sakit. Sempat mengira akan mendapati ekspresi wajah Hores berubah kelam, tetapi itu ternyata jauh lebih buruk dari perbandingan. Penyesalan yang suram terlihat luar biasa nyata di sana, di garis mata gelap pria tersebut dan yang sungguh mengungkapkan segalanya. Avanthe berpaling ketika Hores menunjukkan gestur sekadar memindahkan perhatian ke arahnya. Tak perlu ada kontak mata. Dia tak pernah menginginkan akan terpaku, jatuh, atau apa pun mengenai pria itu la
Avanthe menjatuhkan perhatian lurus – lurus ke depan, ke arah kolam yang tenang dan pantulan pohon di permukaan air yang menarik perhatian. Angin sesekali berembus, saat itulah dia mendapati suara daun bersentuhan. Sedikit menenangkan, meski tidak sepenuhnya meninggalkan bagian terburuk di benak yang cenderung kelam. Dia masih belum bisa meninggalkan aroma keji Hores yang seolah telah melilit seluruh perasaan, tak akan hilang walau dia mungkin mengajukan pertanyaan bagaimana cara melenyapkan. Setelah sisa ingatan pulih kembali. Avanthe merasa sudah waktunya meminta jemputan. Sesekali dia akan berpaling ke sekitar, mencari keberadaan Hores, untungnya pria itu tak menyusul atau Hores akan tahu apa yang dilakukannya. Tidak ada ponsel, terutama barang – barang elektronik akan melepaskan jejak. Avanthe tak bisa menggunakan apa pun itu, milik Shilom, atau ponselnya yang tertinggal di bawah ranjang. Mimpi sebelum dia terseret kembali ke permukaan telah memberinya petunj
Tubuh Avanthe tersentak kaget begitu tangan dingin Hores bersentuhan langsung dengan kulit lengannya. Pria itu ingin menggenggam lembut ... Avanthe segera menepis, cukup kasar diliputi amarah yang menatap tegas ke dalam mata gelap—hampa—nyaris tidak ada ruang menatap pantulan sendiri di sana. “Pergilah. Aku tidak pernah mau menatap wajahmu seumur hidupku. Pengecut. Kau adalah pengecut. Aku membencimu, Hores. Sangat – sangat membencimu.” Suara Avanthe bahkan terlalu sulit dikendalikan. Dia bicara dan gemetar. Berusaha menahan diri. Tidak bisa. Itu tidak dapat dicegah. “Aku cemburu, Ava. Kemarahan membuatku gelap mata. Maaf ....” “Permintaan maaf-mu tidak akan pernah mengembalikan nyawa anakku yang kau bunuh.” Mengingatnya lagi makin menambah rasa sakit. Wajah Hores yang menunduk membuat semua menjadi abu – abu. Penyesalan tidak akan mengakhiri semua dalam sekejap. “Sekarang enyalah dari hadapanku, Hores. Kembalikan Hope, ka
“Sudah satu jam kita menunggu di sini, Ava. Apa yang kita tunggu sebenarnya?” Itu mungkin dibicarakan Shilom sarat nada putus asa. Namun, Avanthe masih akan menantikan harapan dengan penuh tekad. Menengadah tinggi, berharap akan ada saat – saat di mana keinginan untuk pergi terasa cukup dekat. Dia masih menyimpan catatan kemarin, dan menambahkan seutas tali mengikat. Belum muncul tanda – tanda elang Kingston akan datang. Avanthe tidak tahu seberapa lama lagi harus menunggu. Dia bersyukur Hores tidak muncul sejak pria itu meninggalkan ruang rawatnya. Mungkin pulang ke rumah, menemui Hope, kemudian bersikap baik – baik saja. Bukankah itu yang selalu Hores lakukan? Avanthe tersenyum getir membayangkan apa pun di benaknya. Hampir tanpa sadar menunduk, dan tiba – tiba suara yang begitu familiar menarik seluruh gumpalan harapan dalam dirinya mencuak ke permukaan. Suara elang yang begitu sayup di kejauhan. Avanthe mengedarkan mata mencari – cari di sekitar. D
Avanthe menatap lurus – lurus halaman besar yang membentang diliputi pelbagai tumbuhan hijau di sekitar. Dia tidak pernah menghitung kapan akhirnya akan segera bebas. Semua tersirat dengan perumpamaan yang nyata. Sebagian telah begitu tak berdaya untuk dipetahankan, sementara sisanya bisa dibiarkan lewat begitu saja. Namun, terlepas dari apa pun itu. Beberapa hal tetap harus dibayar. Avanthe menunggu kapan saat – saat itu akan menjadi waktu yang tepat. Dia masih menunggu. Sebuah jemputan yang terasa akan seperti sebuah surga. Untunglah di sini tidak cukup lebih dari neraka setelah Hores membebaskannya melakukan segala tindakan yang dia mau. Terutama, perlu mensyukuri bahwa Hope tidak dipisahkan darinya persis tindakan Hores terdahulu. Atau barangkali poin penting lain, Avanthe lebih senang menghadapi krisis di sini, pada momen Hores tidak pernah muncul. Mereka tidak bertemu, sedikitpun, meski terkadang ketakutan akan membayanginya ketika memikirkan Kai. Bagaimana pria itu seka
“Mengapa kau tidak siapkan barang – barangmu dari awal. Maka kita bisa langsung pergi.” Geram di balik suara dalam Kingston menegaskan betapa pria itu sedang menahan amarah. Avanthe tahu hal tersebut disebabkan pelbagai rentetan cerita yang dia ungkapkan. Kingston jelas tidak terima atas tindakan jahat, dan yag paling menyakitkan dari sikap Hores. Akan tetapi, Avanthe tak mendambakan pembalasan setimpal. Dia tidak ingin ada pertumpahan baru. Tidak ingin Hores dan Kingston bertempur hanya karena satu masalah serius yang sama. Sekarang Avanthe akan berpamitan kepada Shilom. Wanita itu sejak tadi sedang menatap dengan ekspresi wajah sendu. Dia juga berat harus meninggalkan Shilom yang telah bersedia merawatnya maupun Hope. Namun, akan selalu membutuhkan waktu melupakan beberapa hal. Setelah ini, mungkin Avanthe akan kembali, sekadar bertemu wanita itu sesekali—tentunya, di rumah yang sudah direnovasi. Lupaka
“Aku melakukan itu karena kau yang memintanya.” Napas Hores menggebu. Di waktu bersamaan Avanthe juga mendapati wajah pria itu terlihat pucat. Darah masih menetes—dengan percikan yang lebih kecil. Dia ingin menaruh perhatian, mengobati, atau tindakan tambahan yang layak, tetapi ego seakan melarang. Avanthe menoleh ke arah Shilom. Memberi wanita itu sedikit petunjuk dan berharap Shilom memahaminya sebelum dia menemukan sesuatu yang tepat untuk diungkapkan. “Aku memang meminta darimu. Tapi seharusnya kau tidak benar – benar melakukannya. Itu adalah bentuk permintaan putus asa saat kau tahu kemarahamu membuatku terjebak di tengah arah paling buntuh. Aku bahkan tersesat, maka itu memilih untuk diakhiri. Sayangnya, Hores. Kau tidak memakai logikamu sekadar berpikir. Apa yang kau lihat itulah yang menurutmu benar, tanpa sedikitpun merenungi penjelasanku.” “Kita sampai di sini. Aku mohon, mengertilah ....” Getir di balik suara Avanthe merupakan bentuk putus asa lainnya. Namun, meng