Mempunyai ibu dan saudara tiri adalah yang menyebalkan. Seperti Cinderella yang selalu menjadi nomor dua. Namun aku bukanlah Cinderella yang selalu ingin ditindas. Bahkan, boleh dibilang kalau dirikulah yang menjadi pembangkang disini.
“Amanda, pakaian yang udah dicuci aku letakin di sini yah.”
Dia adalah saudara tiriku yang bernama Devina, sudah tugasnya mencuci dan melipat semua pakaianku. Mungkin kalian berpikir aku adalah orang yang jahat. Tapi, Devina dan ibunya yang bernama Nayah hanyalah orang-orang yang baik karena sebuah harta. Ya, mereka adalah orang yang munafik.
“Kamu mau keluar?” Dia bertanya.
Aku mengangguk. “Hm...,” jawabku seraya memoles liptint di bibirku.
“Mau kemana? Sekarang udah jam 8 malam, kamu udah diizinin sama ayah?”
“Mau ke party-nya Rama. Gue gak perlu izin dari siapapun.” Aku kemudian mengambil catokan. Devina masih saja memandangku dengan penuh tanya. Wajahnya begitu menyebalkan.
“Apa lo liat-liat gue? Syirik lo karena gak diundang? Lagian siapa sih yang mau bergaul sama anak pelakor.”
Devina tidak menjawab tapi dapat kulihat dari raut wajahnya, ia seperti menahan amarah. Devina kemudian pergi begitu saja meninggalkan kamarku.
Setelah selesai bersiap-siap, aku kemudian turun. Terlihat semua orang sedang berkumpul di ruang tengah. Ayah yang melihatku terus memanggil-manggilku seraya bertanya kepadaku. Tapi, aku mengabaikannya.
“Aku pergi..” pamitku yang acuh tak acuh.
Akupun segera keluar karena kekasihku sudah menunggu. Dia bernama Rafael, pria yang cukup famous di sekolahku. Kami berpacaran sejak kelas satu SMA hingga sekarang, kelas tiga SMA.
“Yuk jalan,” kataku.
“Okay babe.”
Akupun sampai di kelab malam tempat Rama mengadakan pesta ulang tahunnya. Sebenarnya aku malas datang di tempat seperti ini. Tapi, Rama adalah sahabat Rafael sehingga mau tidak mau aku harus menemani Rafael datang ke sini.
Kamipun menuju ruangan VIP yang sudah dipesan oleh Rama. Kulihat Rama menawarkan minuman ke Rafael.
“Ini alkohol, Raf.” Aku menahan Rafael agar tidak meminum minuman haram itu.
“Ya elah, Amanda.. Amanda, biarin Rafael minum dong kan segelas doang,” ujar Rama.
“Gapapa kok, segelas doang.” Rafael meyakinkanku. Aku akhirnya membiarkannya dia meminum minuman alkohol itu.
Begitu Rafael menghabiskan gelas pertama, semua teman-temannya bersorak. Bahkan, Rafael tidak hanya minum satu gelas. Akupun berusaha menahannya tapi sepertinya dia tidak mendengarku.
“Amanda.. lo coba juga deh, enak kok. Segelas aja.” Bahkan kini Rama menawariku juga minum. Semua teman-teman Rafael bersorak agar aku pun ikut minum.
“Minum yah, coba segelas aja dulu.” Rafael memberikanku satu gelas yang berisi bir.
Aku pun dengan terpaksa meminumnya. Rasanya seperti tenggorokanku terbakar, namun tidak berhenti sampai disitu. Aku terus disodori minuman dan tanpa sadar aku mulai menikmatinya.
Hingga aku dan Rafael sudah merasa sedikit mabuk. Kudengar Rama berkata kepada Rafael kalau ada kamar hotel di sebelah kelab ini yang bisa dipakai untuk bersitirahat sementara.
Begitu sampai di kamar hotel, aku dan Rafael langsung jatuh ke kasur. Kami berdua seperti begitu mabuk tapi masih dalam keadaan yang sadar. Aku pun mulai membuka cardiganku karena merasa gerah. Sementara Rafael yang tadi baring kini bangun dan memelukku dari belakang.
“Raf, apaan sih.” Aku protes karena kurasa ia sedang mencium bagian pundak dan leherku. Aku lalu berbalik menghadapnya.
“Amanda… kamu cinta sama aku kan?” tanyanya dengan serak.
“Tentu,” jawabku. “Memangnya kenapa?”
Rafael tersenyum, dia kemudian memegang tengkuk wajahku menarikku mendekat. Ujung hidung kami mulai bersentuhan, kurasa nafas beratnya yang masih sangat jelas beraroma alkohol.
“Karena aku mau kamu sekarang, sayang.” Rafael berkata kemudian menarikku dan menempalkan bibirnya dengan bibirku. Awalnya aku hanya diam, tapi kurasa sesuatu mulai menerobos. Dia kemudian mengigit ujung bibirku, sehingga dia mempunya akses lebih. Dia melumat dan mengisap lidahku bagaikan permen.
Aku yang terbawa suasana, menikmatinya dengan mengeluarkan desahan. Rafael kemudian berpindah ke leherku. Memberi tanda kissmark, aku kembali mendesah tak karuan. Tubuhku semakin terasa panas.
Rafael membuka dressku, sehingga menyisahkan diriku yang hanya mengenakan bra. Dia juga mulai membuka kemeja nya, sehingga terlihat jelas tubuh shirtlessnya. Rafael kembali menciumku dengan rakus hingga aku jatuh terbaring di kasur dengan posisi dia menindihku.
Tangannya mulai menelusup untuk membuka pengait braku.
“Ahhh…” Suaraku kembali mendesah. Kuharap ruangan ini kedap suara.
Rafael membuka pakaian bawahku hingga sekarang terlihat jelas tubuhku tanpa sehelai benang yang menutupinya. Rafael kemudian, juga membuka celana jeans dan boxer-nya.
Posisinya kembali menindihku. Dia menatapku dengan lekat. “Ini mungkin akan sakit, but I still want you. So, don’t say stop to me.”
Aku hanya diam. Tapi, kemudian di bawah sana kurasa ada sesuatu menerobos masuk dalam diriku. Aku merasa perih tapi, dia tetap melakukannya. Dia memberikanku sebuah ciuman untuk meredah rasa sakit.
“Ahhhh…”
Aku mulai mendesah merasakannya begitupun Rafael. Suara kami sepertinya terpenuhi di setiap sudut ruangan ini. Kami seperti melupakan dunia kami dan begitu menikmati malam ini.
***
Kubuka mataku dengan samar-samar, aku melihat cahaya yang masuk. Kepalaku terasa sedikit sakit. Wait, aku sepertinya berada di ruang yang asing. Ini bukan kamarku, aku lalu melihat ke samping. Ada Rafael yang duduk dan hanya mengenakan bawahan saja. Aku kemudian melihat diriku yang hanya terbungkus selimut tanpa sehelai benang di baliknya.
“Raf..” panggilku. Jujur, aku terkejut dengan keadaanku sekarang. Tapi, aku berusaha bersikap senetral mungkin.
Rafael kemudian berbalik. “Ka—Kamu udah bangun?”
Aku menangguk lalu kemudian beranjak dari posisi tidurku. “Arghh,” ringisku ketika merasa terasa nyeri di bagian selangkanganku. Aku langsung melihat di balik selimut dan ada bercak darah. Wajahku memucat. Aku mulai sadar sepenuhnya, kalau semalam kami sudah melakukan hal itu.
Air mataku tanpa kusadari mulai jatuh. Aku merasa takut, cemas, dan khawatir. Semua bercampur menjadi satu.
“Amanda..” lirihnya seraya berjalan ke arahku. “Semua akan baik-baik aja kok, kamu juga bakalan baik-baik aja. Lupain aja semua kejadian tadi malam. Maafin aku yah, kamu jangan nangis.” Rafael berusaha meyakinkanku tapi terlihat jelas wajahnya juga menunjukkan kecemasan.
“Bagaimana kalau aku—“
“Tidak, kamu gak akan hamil, aku akan pastiin itu.”
“Aku takut.”
Rafael kemudian mendekapku. ”Jangan takut, ada aku. Semua bakalan baik-baik aja.”
“Kamu janji?”
“Janji.”
***
Sekarang aku sudah berada di rumah, Rafael mengantarku pulang. Di perjalanan tadi, kami tidak saling bicara. Kulihat Rafael mengirimi aku pesan singkat untuk meminum pil pencegah kehamilan. Apa maksudnya pil KB? Tapi, dimana aku mendapatkannya?
Aku mencoba untuk meminta kepada Rafael untuk membelikanku, tapi dia langsung menolak dengan alasan, tidak mungkin kalau seorang pria membeli pil itu. Apa sekarang dia ingin lepas tangan?
Sudah tiga minggu berlalu malam itu, hari-hari kulewati begitu saja dan begitu berat. Aku tidak jadi minum obat pil pencegah itu karena setiap kali mencarinya ke apotek, aku selalu dihantui pertanyaan-pertanyaan. Seperti, ‘sudah menikah?’ ‘alasan menunda kehamilan?’ ‘Suaminya mana?’ dan terakhir kerap kali juga aku ditanyai usia hingga KTPku diminta.
Sekarang, aku merasa sepertinya Rafael menghindariku. Sudah tiga minggu juga kami tidak berangkat bersama. Alasannya sangat banyak mulai antar ibunya hingga alasan tidak logis. Di sekolahpun Rafael terlihat menjauhiku.
Dan hari ini adalah hari terakhir ujianku. Selama tiga minggu ini, aku belum merasakan apa-apa. Hanya saja, nafsu makanku sepertinya berkurang dan sekarang kepalaku terasa sakit. Alika yang merupakan sahabatku, sedari tadi bertanya tentang keadaanku.
“Lo baik-baik aja kan?”
Aku mengangguk tapi seperkian detik kemudian aku beranjak berlari menuju toilet. Tiba-tiba saja, perutku terasa mules dan merasa mual. Aku segera mencari bidik toilet yang kosong untuk mengeluarkan rasa mualku.
“Manda, lo gapapa kan?” Kudengar Alika dari luar mengetuk pintu dan bertanya. Akupun segera keluar begitu merasa sudah mendingan.
“Gue baik-baik aja, mungkin lagi masuk angin,” kataku.
“Ini tas lo.”
“Makasih yah.”
Dalam pikiranku aku mencurigai satu hal pada kondisiku saat ini. Akupun memutuskan untuk mengecek apakah dugaanku memang benar.
“Ka, gue pulang duluan yah.” Belum sempat Alika menjawab, akupun langsung pergi meninggalkannya.
***
Aku berjalan dengan ragu menuju sebuah apotek. Tujuanku adalah untuk membeli testpack. Semoga saja, penjaga apotik tidak menanyakan aneh-aneh terhadapku.
“Mba, saya mau beli testpack.”
Terlihat wanita itu memandangiku dari atas sampai bawah. Sial, aku lupa kalau aku masih mengenakan seragam sekolah.
“Eh—testpacknya untuk kakak saya, tadi dia nitip ke saya untuk dibeliin.” Aku langsung beralasan, semoga saja dia mempercayai kebohonganku.
“Tunggu sebentar!” ucapnya lalu beralih mengambilkan testpack kepadaku. Aku kemudian, membayarnya dengan segera dan pergi meninggalkan apotek itu.
Sesampaiku di rumah, aku begitu terburu-buru masuk ke kamarku. Aku sangat ingin mengetahui apakah yang kutakutkan benar terjadi.
Setelah melakukan test, kulihat hasilnya bergambar garis dua. Aku menangis sesegukkan. Ini seperti mimpi buruk bagiku. Aku lalu bergegas memesan taksi online menuju rumah Rafael. Rafael harus tahu ini dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.
~~oo~~
Kini aku sudah berada di rumah Rafael. Rumahnya tampak sepi mungkin orang tuanya masih bekerja. Sementara itu, aku harus menunggu karena kata pembantunya, Rafael sedang mandi.“Amanda…” Terlihat Rafael menghampiriku. “Ada apa?”“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Raut wajah Rafael tiba-tiba saja berubah, dia kemudian duduk di hadapanku.“Apa?” tanyanya.Aku kemudian mengeluarkan hasil testpackku dan menunjukkannya.“Apa maksudnya ini?” Dia bertanya dengan wajahnya yang tegang.“Aku hamil,” jawabku sambil menunduk. “Kamu tanggung jawab yah.”Rafael mengusap rambutnya. “Tanggung jawab apa, Amanda? Gak mungkin kamu hamil. Kita hanya lakuin itu sekali. Lagian aku kan udah nyuruh kamu buat minum pil.”Aku benar-benar terkejut melihat reaksi Rafael. Aku tidak menyangka dia akan meresponnya dengan seperti ini.“Gimana a
Kini aku berada di New York. Sudah empat tahun aku menjalani kehidupanku. Mengenai anakku, dia diadopsi sementara oleh Gavin, kakakku yang merupakan anak dari paman James—suami ibu. Gavin mempunyai istri bernama Natalie. Kami sangat akrab satu sama lain, aku beruntung keluarga ibu di Amerika sangat menerima keadaanku. Sementara aku saat ini harus fokus kuliah terlebih dahulu. Tapi, meskipun begitu aku dan anakku yang bernama Alex sering menghabiskan waktu bersama.Siang ini aku memulai semester baru. Tapi, sebelum itu aku harus membeli sebuah buku terlebih dahulu untuk kelas hari ini. Akupun ke toko buku terdekat untuk mencari buku. Baru saja ingin mengambil sebuah buku yang kuinginkan. Terlihat juga seorang pria secara bersamaan mengambil buku tersebut.“Maaf, bisakah anda mengalah? Ini sangat penting untukku,” ucapku.“Mengalah? Kalau tidak salah tangan saya seperkian detik dari pada tanganmu dan ini juga penting untukku.”
"Baik, cukup sampai di sini saja materi yang saya jelaskan." Setelah menyelesaikan materi pengantar yang dijelaskannya, Dareen lalu keluar dari kelas. Kemudian, kurasa ponselku bergetar. Aku lalu melihatnya, rupanya ada pesan singkat dari Dareen. "Keruangan saya sekarang juga!"Aku heran kenapa dia mengirim pesan singkat, kenapa tidak dari tadi saja bilangnya ketika menutup kelasnya. Dasar dosen aneh! "Permisi, Mr.Ivander," ujarku seraya mengetuk pintunya yang setengah terbuka. "Masuklah." "Ada apa, Mr.Ivander memanggil saya?" "Apa kau lupa untuk membantuku menyusun data mahasiswa?" "Ah tentu tidak, aku pikir Mr.
"Kita jadinya nonton apa?" tanya Gavin. Kini kami sedang berada di bioskop, berhubung malam minggu maka kami sekeluarga memutuskan untuk nonton film. Ibu juga terlihat suntuk beberapa hari. Mungkin karena ia merasa kesepian tanpa suaminya. "Amanda, kalau kau mau nonton apa?" Natalie melempar pertanyaan kepadaku yang bingung mau nonton film apa. "Aku mengikut saja." "Mom¸mau nonton film apa?" "Terserah kalian saja." "Kenapa kalian para wanita ini tidak pernah memberi jawaban jelas dan pasti. Giliran filmnya yang aku pilih terus kurang bagus kalian akan mengeluh," gerutu Gavin yang dari tadi sudah mengantre tapi belum juga mendapat kepastian wanita.
Aku berlari terburu-buru menyusuri koridor kampus. Bagaimana tidak terburu-buru, kelas sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu dalam artian aku terlambat. Semalam aku menghabiskan malamku dengan bermaingamebersama Gavin dan aku lupa kalau kelas Dareen hari ini dimajukan dengan alasan dia harus rapat dosen. Tok..Tok..Tok. Aku mengetuk pintu ragu lalu membukanya dengan ragu. "Maaf Mr.Ivander saya terlambat, apa saya masih boleh mengikuti kelas?" Dareen menatapku tajam. "Kau tahu betul aturanku kan, datang dengan tepat waktu. Apa kau datang tepat waktu sekarang?" Aku menggeleng pelan. "Maaf, Mr. Ivander. Aku lupa jika jadwal hari ini dimajukan."
Saat ini aku sedang berada di perpustakaan sibuk mengerjakan data-data mahasiswa. Sekaligus, mengerjakan tugas yang diberikan Dareen kemarin sebagai hukuman karena diriku terlambat. "Tidak kusangkan Mr.Ivander memberimu banyak tugas," ucap Jessica tiba-tiba yang sedikit mengagetkanku karena keberadaanya. "Yah, dia sedikit kejam menurutku," jawabku sembari berkutat dengan laptopku. "Kau dari mana saja?" "Aku tadi menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Noah. Apa kau tahu, aku dan Noah sudah resmi berpacaran." "Betulkah? Kapan?" Aku turut senang mendengar Jessica jadian dengan Noah. Ia adalah senior kami di kampus. Dia pintar, tampan, dan baik. Jessica sudah lama mengejarnya namun Noah selalu mengabaikannya. Kini, mereka sudah berp
"Morning!" sapaku begitu melihat semua mereka di meja makan. "Kau sudah bangun?" tanya ibuku. Aku mengangguk, kemudian aku melihat paman James keluar dari kamar mandi. "Paman—ehm maksudku,Dad.KapanDaddatang?" "Aku baru saja tiba sekitar satu jam yang lalu. Apa kabarmu,beauty?" "Tentu baik." "Dia sedang dekat dengan Dareen," sahut Gavin. Aku melihat ke arahnya yang mengeluarkan kalimat hoax. Dia betul-betul cocok jadi lambe turah, membawa berita tanpa bukti yang konkrit. "Hei, penyebar fitnah yah anda!" Aku menantapnya tajam.
Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan. Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku. "Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua. "Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadan
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun. “Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku. “Tunggu,” katanya. “Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.” “Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut. “Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.” “Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku. Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?” Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.” “Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi. Aku menggeleng. “
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu dan Mr. Ivander?” tanya Jessica. Saat ini aku sedang berada di apartemen Jessica. Sebenarnya, tidak ada yang perlu kuselesaikan dengannya. Aku hanya beralasan dengan Dareen kalau aku mempunyai urusan penting dengan Jessica. Aku tahu, jika aku tidak berbohong seperti tadi kemungkinan ia akan semakin menahanku. Akhirnya aku mengetahu kalau selama ini Dareen berada di Kanada, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin dia pergi menghabiskan waktu atau bermulan madu sekalian dengan Jules. Itu sangat membuatku tidak tenang. Tadi dirinya memberikan sebuah kalung mapple kepadaku. Kalung itu sangat indah, rasanya ada rasa penyesalan karena menolaknya. Tapi, aku mempertahankan harga diriku. Aku tidak ingin termakan cinta buaya lagi. Butuh waktu lama untuk sembuh dari luka yang kudapatkan dan aku tidak ingin membuat luka baru lagi karena pada akhirnya hanya akulah yang akan tersakiti. “Amanda?!” panggil Jessica lagi
“Amanda, lanjutkan makanmu. Kenapa kau diam saja?” tanya Jessica menyadarkanku dari lamunanku. Aku kemudian hanya mengangguk seraya melanjutkan makan siangku. “Apa kau baik saja-saja?” Ia kembali bertanya. Apa aku harus bilang kalau aku tidak baik-baik saja melihat Dareen sedang menikmati waktu berdua dengan wanita itu. Aku juga bingung kenapa aku sangat merasa terganggu dengan hal itu. “Aku baik-baik saja,” jawabku akhirnya. Kami pun kembali diam seraya menikmati makan kami. Meski aku tidak begitu menikmatinya karena ada 2 belalang di sekitarku. Mungkin Dareen dan Jules tidak melihat kami, sehingga dari kejauhan dapat kulihat kalau mereka sedang berbicara serius. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua belalang itu, mungkin mereka sedang membicarakan masa depan mereka. Memangnya apa peduli ku. “Ayo, kita pergi. Aku sudah selesai.” Jessica berkata seraya beranjak dari tempatnya. Aku pun mengikutinya. Kali ini kami akan mele
Aku bangun dari tidurku, merasa sekujur tubuhku terasa pegal. Yah, semalam adalah acara ulang tahun yang melelahkan untuk ukuran orang yang sudah berumur. Paman James, Gavin, dan Dareen menggila karena mereka terlalu banyak minum. Sehingga, rumah kami menjadi berantakan dan aku yang harus bertanggung jawab untuk membereskan semua itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, aku pun segera turun. Di ruang tengah tampak amat berantakan. Terlihat juga Dareen yang tertidur di sofa lalu di lantai ada Gavin. Sementara paman, mungkin ia sudah diseret oleh ibu ke kamarnya. Aku berjalan menuju Dareen, berencana membangunkannya. Mungkin hari ini ia mempunyai jadwal mengajar. “Dareen, bangunlah! Sudah jam 8 pagi. Apa kau tidak punya jadwal kelas hari ini?” kataku sembari menepuk-nepuk bahunya. Namun, yang ditepuk masih tertidur pulas. Aku kembali mencoba membangunkannya, kali ini aku menariknya dengan keras
Dareen terus mengelus kepalaku, ia juga semakin mengeratkan pelukannya. Aku? Aku masih diam, sungguh sekarang sangat nyaman berada dalam pelukannya, rasanya biarlah dulu seperti ini. “Sampai kapan kau akan terus memelukku seperti ini?” tanyaku. “Sampai aku merasa puas.” Dia semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa kata “puas” begitu ambigu di telinga aku. Apa dia tidak tahu kalau sekarang wajahku begitu merah seperti kepiting rebus. “Apa kau lupa sekitar sejam yang lalu kau membentak dan mempermalukanku di depan kelas.” Dareen kemudian melepas pelukannya lalu kedua tangannya menangkup wajahku. Sorot matanya begitu damai menatapku dan hal itu membuatku terbang. “Maafkan aku karena telah membentakmu.” “Dosen macam apa yang meminta maaf ke mahasiswanya begitu mudah.” Aku menyindirnya, aku tahu biar bagaimanapun juga diriku tetaplah salah mengenai tugasku. “Dosen yang tergila-gila dengan mahasiswanya.” “Ck! Dasar aneh,
Aku berjalan menuju perpustakaan dengan penuh kekesalan terhadap Dareen dan aku lebih kesal dengan diriku sendiri, bisa-bisanya aku merasa masuk akal dengan semua yang dia bilang seakan-akan mematahkan semua pendirianku. “Kenapa wajahmu begitu murung? Kau dari mana saja?” tanya Jessica begitu aku sampai di perpustakaan. “Tidak apa-apa. Kau sudah mengerjakan sampai mana?” “Aku sisa 15 halaman lagi. Kau juga harus mulai mengerjakannya, masih ada waktu.” Aku mengangguk dan mulai mengambil laptop dari tas ku lalu kunyalakan tapi sepertinya laptopku low battery. Aku pun segera mencari charger-nya. Tapi begitu aku mengutak-ngatik isi tasku, aku belum menemukannya. Jangan bilang kalau aku tidak membawanya. “Ada apa?” Jessica bertanya. “Aku tidak membawa charger laptop dan laptopku mati.” “Ya sudah, cepat gunakan komputer perpustakaan saja.” “Apa kau tidak lihat kalau semua komputer terpakai, bagaiman
Aku dan Dareen sedari tadi diam satu sama lain di dalam mobil. Setelah ia melontarkan pentanyaan canggung yang kupilih untuk tidak menjawabnya. Kini, dia tetap memaksaku agar dirinya mengantarku pulang ke rumah. Sungguh ini aneh sekali, biasanya dia banyak bicara. Tapi, dia hanya diam dan menampilkan wajah datar dengan rahangnya yang mengeras. Apa mungkin dia salah paham tentangku dan menjadi cemburu. Rasanya dia sudah cukup berumur untuk berada di fase seperti itu. “Hm, Dareen. Sebenarnya kau tidak perlu begitu repot mengantarku pulang.” Aku berkata basa-basi hanya untuk memecah suasana canggung ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dengan singkat, jelas, dan padat. Ya. Bisa kutebak, dia pasti mengira karena Zion lah aku tidak menerimanya. Ck! Dasar, apa dia tidak ingat sama umurnya. Tapi, biarlah mungkin dengan begitu dia akan menjauhiku. Sekali lagi kutegaskan kalau aku berada disini hanya untuk fokus dengan pendidikanku dan prioritasku hanyalah untuk ana
Aku berjalan memasuki area kampus, memakai atasan yang menutupi bagian leher. Aneh memang, memakai pakaian seperti ini padahal sekarang musim panas. Tapi, setidaknya itu lebih baik dari pada orang-orang melihat tanda di leherku. “Bammm..” Aku terlonjak kaget ketika Jessica dengan sengaja mengagetkanku. “Aku bisa jantungan,” protesku kepadanya. “Hahaha, maafkan aku. Kenapa kau terlihat lesu begitu?” “Aku hanya kebanyakan begadang.” “Ini ice cream mu, Babe.” Noah menghampiri Jessica, dia kemudian melihatku dari atas hingga bawah. “What the fuck, ada apa dengan style-mu hari ini. Apa kau tidak kepanasan? Dasar aneh!” Yahh.. dia memprotes cara berpakaianku. Jessica kemudian menatapku dengan curiga. “Apa kau menyembunyikan sesuatu?” Jessica bertanya seraya mulai menarik kerah bajuku untuk melihat. Dia mungkin curiga denganku, aku tahu Jessica adalah orang yang peka dengan keadaan wanit