Kini aku berada di New York. Sudah empat tahun aku menjalani kehidupanku. Mengenai anakku, dia diadopsi sementara oleh Gavin, kakakku yang merupakan anak dari paman James—suami ibu. Gavin mempunyai istri bernama Natalie. Kami sangat akrab satu sama lain, aku beruntung keluarga ibu di Amerika sangat menerima keadaanku. Sementara aku saat ini harus fokus kuliah terlebih dahulu. Tapi, meskipun begitu aku dan anakku yang bernama Alex sering menghabiskan waktu bersama.
Siang ini aku memulai semester baru. Tapi, sebelum itu aku harus membeli sebuah buku terlebih dahulu untuk kelas hari ini. Akupun ke toko buku terdekat untuk mencari buku. Baru saja ingin mengambil sebuah buku yang kuinginkan. Terlihat juga seorang pria secara bersamaan mengambil buku tersebut.
“Maaf, bisakah anda mengalah? Ini sangat penting untukku,” ucapku.
“Mengalah? Kalau tidak salah tangan saya seperkian detik dari pada tanganmu dan ini juga penting untukku.”
“Ayolah, kau ini egois sekali sama wanita!” Kesialan bagi kami karena buku ini stoknya hanya satu. Buku ini memang sangat langkah mungkin karena sudah tua.
Dia lalu menarik buku itu. “Maaf saya buru-buru!”
“Hei.” Aku mengejarnya menuju kasir. “Bisakah kita bernegoisasi, aku sangat membutuhkan buku ini. Ayolah, kenapa kau pelit sekali?”
“Tadi kau mengataiku egois sekarang pelit!” Dia kemudian menyerahkan buku itu ke kasir lalu membayarnya. Kemudian dia pergi meninggalkan diriku yang masih menganga karena dirinya. Dia sepertinya orang yang pintar berdebat.
Akupun pergi mencari lagi buku tersebut, hingga aku lupa waktu. Sial, aku menggerutu ketika sadar harusnya jam sekarang aku sudah berada di area kampus karena sepuluh menit lagi kelasku akan dimulai. Akupun segera berlari mencari taksi untuk ke kampus.
Sesampaiku di area kampus, aku kembali berlari. Dosen yang mengajar di mata kuliah ini adalah dosen tua yang galak
Bruk.
Tanpa sengaja aku menabrak seseorang dan membuatku jatuh ke lantai. Mungkin, karena ototnya itu sangat keras.
“Astaga, bisakah kau hati-hati!” ucapku dan berusaha membangunkan diriku sendiri.
Aku lalu melihat ke arah orang kutabrak tadi. “Kau!” tunjukku dengan kesal.
“Jadi, kau berkuliah di sini?”
Aku terkejut melihat pria yang kutemui di toko buku. Pria yang egois dan pelit. “Apa urusannya denganmu kalau aku kuliah di sini.”
“Bukankah kau harus meminta maaf kepada orang yang sudah kau tabrak, sepertinya tadi kau tidak menggunakan matamu berlari dan hanya berlari seperti orang buta.”
“Sial, kau harusnya menghindariku begitu melihatku lari yang terburu-buru.”
“Apa kau mengumpat kepadaku?”
Aku mengabaikannya dan langsung bergegas menuju kelas.
Sesampaiku di kelas, terlihat belum ada Mr. Hanz. Aku dengan segera mengambil tempat duduk di samping Jessica. Dia satu-satunya orang yang dekat denganku selama berkuliah di sini.
“Kemana Mr.Hanz, apa dia tidak mengajar?” tanyaku kepada Jessica.
“Tenang, Mr.Hanz tidak akan mengajar kita. Ia ada urusan di Italia selama satu tahun.” Mendengar hal itu, aku sangat bersyukur.
“Lalu siapa penggantinya?”
Belum sempat Jessica menjawab, aku sudah mendengar langkah sepatu masuk ke dalam kelas. Kami semua segera merapikan tempat duduk kami.
“Itu penggantinya,” jawab Jessica sambil menunjuk, aku lalu mengalihkan pandanganku ke depan dan aku sangat terkejut kalau dosen penggantinya adalah pria yang menyebalkan itu.
“Perkenalkan saya Dareen Ivander yang akan menggantikan Mr.Hanz di mata kuliah ini. Aturan saya sama dengan Mr.Hanz yaitu datang tepat waktu, kerjakan tugas dengan tepat dan sesuai instruksi. Kalian paham?”
***
Berkuliah di jurusan Manajamen Bisnis Digital atau dalam bahasa kerennya e-commerce bukanlah hal yang mudah. Dareen mengajar mata kuliah yang penting disemester ini yaitu Manajemen dan Evaluasi Proyek. Sementara aku, berhasil membuat kesan pertama yang buruk terhadapnya.
“Apa menurutmu tentang Mr.Ivander? Dia tampan kan?” tanya Jessica kepadaku yang dari tadi dia tidak berhentinya memuja ketampanan Dareen.
“Tentu dia tampan karena dia laki-laki. Kalau wanita, namanya cantik,” jawabku asal.
“Maksudku secara fisik seorang pria, dia benar-benar tampan. Tubuhnya yang proporsional. Apa kau lihat urat-urat di tangannya. Sangat sexy bukan?”
Aku berdehem sudah malas meladeni Jessica yang sudah menghayalkan Dareen.
“Dia dosen baru kan? Aku baru melihatnya,” tanyaku karena aku memang merasa tidak pernah melihatnya selama berkuliah tiga tahun di sini.
“Dia jadi dosen di sini sekitar 5 tahun yang lalu. Tapi, baru jadi dosen satu tahun, dia harus resign karena ada proyek yang dia kerjakan di Italia. Setelah itu, dia mulai membuka perusahaan kecil untuk pengembangan start-up.”
“Dari mana kau mengetahui itu semua?” Aku heran apa dia penguntit Dareen, perasaan sewaktu di kelas Dareen tidak menceritakan nya.”
“Aku sudah melihatnya di data dosen. Di sana tertera dengan jelas di CV-nya dan juga tanggal lahirnya 27 Juni tahun ini dan dia akan berusia 33 tahun.”
Aku mengernyit. “Kau seorang stalker?”
“Aku hanya memeriksa kualitas dosen dan apa kau tahu kalau Mr. Ivander adalah orang jenius karena di usia 26 tahun dia sudah menyelesaikan pendidikan strata 3. Dan yang paling terpenting dia masih lajang.”
“Tentu dia lajang, dia hanya menghabiskan waktunya untuk sekolah dan belajar.”
“Aku juga dengar gosip kalau Mr.Ivander seorang penakluk, ada kakak senior kita yang memergokinya sedang berada di kelab malam bersama wanita.”
“Dari mana kau mengetahui itu, bukankah dia baru satu hari di sini.”
“Ayolah, relasiku luas. Dosen keren seperti Mr. Ivander, beritanya sangat cepat tersebar hanya hitungan menit.”
Aku hanya menghembuskan nafas seraya memutar mataku. “Sudahlah aku ingin ke kantin, kau mau ikut?”
“Sepertinya tidak, aku ingin pergi kencan buta.” Jessica memang cukup sering mengikuti kencan buta. Menurutku, dia orang yang aktif, periang, dan sedikit agresif.
“Baiklah kalau begitu.” Aku lalu beranjak meninggalkannya, menuju kantin kampus.
Aku yang berjalan menuju kantin, tanpa sengaja aku melihat Dareen yang jalannya entah dari mana mungkin dari ruangannya atau menuju ruangannya. Aku bahkan tidak tahu dimana ruangannya.
Aku lalu menghampirinya berencana ingin memulai semuanya dari awal, sebelum terlambat dan dia akan menandaiku sebagai mahasiswa tidak sopan.
“Mr.Ivander,” panggilku begitu sudah berdiri tepat di belakangnya.
“Ada apa? Apa kau perlu sesuatu.” Aku merasakan aura mendominasi dari dirinya. Dia mungkin cukup kesal terhadapku.
“Bisakah kita bicara sebentar?” Aku berkata dengan ragu.
Kulihat dia tersenyum smirk. “Apa yang ingin kau bicarakan? Kau terkejut kalau ternyata aku ini adalah dosenmu. Orang yang kau bilang egois dan pelit.”
Astaga tidak kusangka dia mengingat itu. Sepertinya dia tipikal orang pendendam. “Aku ingin minta maaf, bisakah anda melupakan semuanya. Aku hanya terbawa emosi.”
Dia kemudian terkekeh. “Kau tidak usah terlalu formal. Sebelumnya, aku mau bertanya. Untuk apa kau meminta maaf? Apa kau benar-benar merasa bersalah atau hanya karena statusku sebagai dosenmu dan kau ingin mencari jalan aman. Jika kau khawatir, kalau nilaimu akan berpengaruh, itu tidak perlu. Aku adalah orang yang bersikap profesional. Ketidaksopananmu waktu itu tidak akan kusangkut pautkan.”
Aku tertegun mendengar perkataannya. Apa dia tidak bisa bilang kalau dia memaafkanku..
“Aku hanya ingin memulai dari awal dengan membuat kesan yang baik.”
“Kau sudah membuat kesan pertama kepadaku.” Dia lalu beranjak meninggalku. Namun, baru beberapa melangkah. Aku mendengar ia berkata, “kalau kau memang merasa bersalah. Bisakah kau membantuku menyusun data mahasiswa. Kebetulan, aku membutuhkan seorang asisten. Aku terlalu sibuk hanya untuk pendataan mahasiswa.”
Aku mengangguk mengiyakannya. “Baiklah.”
Dia lalu kembali berjalan ke arahku. “Berikan ponselmu!”
“Untuk apa?” tanyaku seraya perlahan menyerahkan ponselku.
“Tentu saja mencatat nomor ponselku.” Setelah mengetikan nomornya, dia lalu memberikan ponselku kembali. “Nanti aku akan menghubungimu.”
Dareen memang tadi di kelas hanya memberikan emailnya kepada kami. Dia tadi tidak memberi kami nomor ponselnya dengan berdalil kalau mahasiswa terkadang bertanya sesuatu yang tidak penting dan itu sangat menganggu privasinya.
Setelah kami bertukar nomor, dia lalu kembali berjalan.
“Dasar gila lo!” kataku kepadanya dengan bahasa Indonesia dan juga tidak begitu keras. Seketika dia lalu kembali berputar arah kepadaku.
“Apa kau mengumpat lagi?” tanyanya sambil mengerutkan alisnya. Aku tidak menyangka kalau pendengarannya sangat tajam.
Aku lalu hanya menggelengkan kepalaku. “Tidak, aku tidak mengumpat.”
Dia menyipitkan matanya kepadaku, seakan-akan tidak percaya. “Baiklah, kalau begitu.” Dia kembali berjalan menjauh.
***
Setelah, berkuliah seharian. Aku akhirnya sudah sampai di rumah. Aku sangat lelah dan sangat ngantuk. Tapi, rasa lelah itu hilang ketika melihat ada Alex di rumah ibu.
“Alex, kau di sini, baby.” Aku menciumnya dengan gemas. Natalie yang melihatku ikut tertawa.
“Tentu, dia ingin menemani neneknya dan juga bertemu denganmu.”
“Ibu, kemana?”
“Dia sedang tidur, seharian dia habis berjalan-jalan dengan Alex.” Aku sangat bersyukur, semua orang disini begitu menerima keberadaanku dan juga Alex.
“Natalie, aku sangat berterima kasih kepadamu yang merawat dan mengurus Alex.”
“Tidak, Amanda. Aku yang berterima kasih, kau sudah memberikan kami warna baru di keluarga kecil ini. Aku sangat senang merawat Alex. Dia sudah seperti anak kandungku. Aku sangat beruntung ada Alex disisiku. Jika tidak aku dan Gavin akan—“
“Sudah, kau tidak usah membahasnya.” Natalie mempunyai masalah terhadap kandungannya. Sehingga, hal itu membuat dirinya tak kunjung hamil selama empat tahun ini.
~~oo~~
"Baik, cukup sampai di sini saja materi yang saya jelaskan." Setelah menyelesaikan materi pengantar yang dijelaskannya, Dareen lalu keluar dari kelas. Kemudian, kurasa ponselku bergetar. Aku lalu melihatnya, rupanya ada pesan singkat dari Dareen. "Keruangan saya sekarang juga!"Aku heran kenapa dia mengirim pesan singkat, kenapa tidak dari tadi saja bilangnya ketika menutup kelasnya. Dasar dosen aneh! "Permisi, Mr.Ivander," ujarku seraya mengetuk pintunya yang setengah terbuka. "Masuklah." "Ada apa, Mr.Ivander memanggil saya?" "Apa kau lupa untuk membantuku menyusun data mahasiswa?" "Ah tentu tidak, aku pikir Mr.
"Kita jadinya nonton apa?" tanya Gavin. Kini kami sedang berada di bioskop, berhubung malam minggu maka kami sekeluarga memutuskan untuk nonton film. Ibu juga terlihat suntuk beberapa hari. Mungkin karena ia merasa kesepian tanpa suaminya. "Amanda, kalau kau mau nonton apa?" Natalie melempar pertanyaan kepadaku yang bingung mau nonton film apa. "Aku mengikut saja." "Mom¸mau nonton film apa?" "Terserah kalian saja." "Kenapa kalian para wanita ini tidak pernah memberi jawaban jelas dan pasti. Giliran filmnya yang aku pilih terus kurang bagus kalian akan mengeluh," gerutu Gavin yang dari tadi sudah mengantre tapi belum juga mendapat kepastian wanita.
Aku berlari terburu-buru menyusuri koridor kampus. Bagaimana tidak terburu-buru, kelas sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu dalam artian aku terlambat. Semalam aku menghabiskan malamku dengan bermaingamebersama Gavin dan aku lupa kalau kelas Dareen hari ini dimajukan dengan alasan dia harus rapat dosen. Tok..Tok..Tok. Aku mengetuk pintu ragu lalu membukanya dengan ragu. "Maaf Mr.Ivander saya terlambat, apa saya masih boleh mengikuti kelas?" Dareen menatapku tajam. "Kau tahu betul aturanku kan, datang dengan tepat waktu. Apa kau datang tepat waktu sekarang?" Aku menggeleng pelan. "Maaf, Mr. Ivander. Aku lupa jika jadwal hari ini dimajukan."
Saat ini aku sedang berada di perpustakaan sibuk mengerjakan data-data mahasiswa. Sekaligus, mengerjakan tugas yang diberikan Dareen kemarin sebagai hukuman karena diriku terlambat. "Tidak kusangkan Mr.Ivander memberimu banyak tugas," ucap Jessica tiba-tiba yang sedikit mengagetkanku karena keberadaanya. "Yah, dia sedikit kejam menurutku," jawabku sembari berkutat dengan laptopku. "Kau dari mana saja?" "Aku tadi menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Noah. Apa kau tahu, aku dan Noah sudah resmi berpacaran." "Betulkah? Kapan?" Aku turut senang mendengar Jessica jadian dengan Noah. Ia adalah senior kami di kampus. Dia pintar, tampan, dan baik. Jessica sudah lama mengejarnya namun Noah selalu mengabaikannya. Kini, mereka sudah berp
"Morning!" sapaku begitu melihat semua mereka di meja makan. "Kau sudah bangun?" tanya ibuku. Aku mengangguk, kemudian aku melihat paman James keluar dari kamar mandi. "Paman—ehm maksudku,Dad.KapanDaddatang?" "Aku baru saja tiba sekitar satu jam yang lalu. Apa kabarmu,beauty?" "Tentu baik." "Dia sedang dekat dengan Dareen," sahut Gavin. Aku melihat ke arahnya yang mengeluarkan kalimat hoax. Dia betul-betul cocok jadi lambe turah, membawa berita tanpa bukti yang konkrit. "Hei, penyebar fitnah yah anda!" Aku menantapnya tajam.
Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan. Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku. "Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua. "Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadan
Ketika aku sibuk mengerjakan tugas pendataan mahasiswa milik Dareen, aku tiba-tiba mendengar suara Alex yang menangis dengan kencang. Aku langsung berlari menuju kamarnya. Sesampaiku di kamarnya, terlihat Alex sudah tergeletak di lantai. Kutebak, sepertinya Alex terjatuh dari tempat tidur. Aku lalu menggendongnya sambil menenangkannya. "Hust.. diamlah,auntydi sini sayang." Alex semakin menangis dengan kencang. Aku kemudian mengusap punggung dan sesekali menepu-nepukknya agar ia tenang. "Ada apa, Amanda? Alex kenapa?" tanya paman James langsung dengan khawatir, begitu ia ada di kamar Alex. Di belakangnya ada ibu dan juga Dareen. "Sepertinya Alex jatuh," jawabku yang masih berusaha menenangkan Alex. "Apa dia baik-baik saja?" tanya ibu.
Alex tak henti-hentinya tertawa begitu aku membantunya bermain ayunan. Dareen pergi membeli minuman untuk kami berdua. Setelah puas dengan bermain ayunan kini Alex menuju ke arah seluncuran. Memang taman dekat rumahku begitu dilengkapi dengan arena permaian anak. Tidak lama kemudian Dareen sudah datang. Dia lalu memberiku air botol mineral, dia juga membawa permen kapas yang dia belikan untuk Alex. Alex terlihat senang menerima permen kapas dari Dareen. "Kenapa kau memberinya permen?" protesku. "Memangnya kenapa?" tanyanya datar tanpa ada rasa bersalah sama sekali. "Tentu tidak bisa, itu kurang baik untuk gizinya sama pertumbuhan giginya," jawabku yang sedikit kesal. Enak saja dia ingin memberi Alex makanan tidak sehat.
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun. “Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku. “Tunggu,” katanya. “Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.” “Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut. “Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.” “Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku. Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?” Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.” “Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi. Aku menggeleng. “
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu dan Mr. Ivander?” tanya Jessica. Saat ini aku sedang berada di apartemen Jessica. Sebenarnya, tidak ada yang perlu kuselesaikan dengannya. Aku hanya beralasan dengan Dareen kalau aku mempunyai urusan penting dengan Jessica. Aku tahu, jika aku tidak berbohong seperti tadi kemungkinan ia akan semakin menahanku. Akhirnya aku mengetahu kalau selama ini Dareen berada di Kanada, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin dia pergi menghabiskan waktu atau bermulan madu sekalian dengan Jules. Itu sangat membuatku tidak tenang. Tadi dirinya memberikan sebuah kalung mapple kepadaku. Kalung itu sangat indah, rasanya ada rasa penyesalan karena menolaknya. Tapi, aku mempertahankan harga diriku. Aku tidak ingin termakan cinta buaya lagi. Butuh waktu lama untuk sembuh dari luka yang kudapatkan dan aku tidak ingin membuat luka baru lagi karena pada akhirnya hanya akulah yang akan tersakiti. “Amanda?!” panggil Jessica lagi
“Amanda, lanjutkan makanmu. Kenapa kau diam saja?” tanya Jessica menyadarkanku dari lamunanku. Aku kemudian hanya mengangguk seraya melanjutkan makan siangku. “Apa kau baik saja-saja?” Ia kembali bertanya. Apa aku harus bilang kalau aku tidak baik-baik saja melihat Dareen sedang menikmati waktu berdua dengan wanita itu. Aku juga bingung kenapa aku sangat merasa terganggu dengan hal itu. “Aku baik-baik saja,” jawabku akhirnya. Kami pun kembali diam seraya menikmati makan kami. Meski aku tidak begitu menikmatinya karena ada 2 belalang di sekitarku. Mungkin Dareen dan Jules tidak melihat kami, sehingga dari kejauhan dapat kulihat kalau mereka sedang berbicara serius. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua belalang itu, mungkin mereka sedang membicarakan masa depan mereka. Memangnya apa peduli ku. “Ayo, kita pergi. Aku sudah selesai.” Jessica berkata seraya beranjak dari tempatnya. Aku pun mengikutinya. Kali ini kami akan mele
Aku bangun dari tidurku, merasa sekujur tubuhku terasa pegal. Yah, semalam adalah acara ulang tahun yang melelahkan untuk ukuran orang yang sudah berumur. Paman James, Gavin, dan Dareen menggila karena mereka terlalu banyak minum. Sehingga, rumah kami menjadi berantakan dan aku yang harus bertanggung jawab untuk membereskan semua itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, aku pun segera turun. Di ruang tengah tampak amat berantakan. Terlihat juga Dareen yang tertidur di sofa lalu di lantai ada Gavin. Sementara paman, mungkin ia sudah diseret oleh ibu ke kamarnya. Aku berjalan menuju Dareen, berencana membangunkannya. Mungkin hari ini ia mempunyai jadwal mengajar. “Dareen, bangunlah! Sudah jam 8 pagi. Apa kau tidak punya jadwal kelas hari ini?” kataku sembari menepuk-nepuk bahunya. Namun, yang ditepuk masih tertidur pulas. Aku kembali mencoba membangunkannya, kali ini aku menariknya dengan keras
Dareen terus mengelus kepalaku, ia juga semakin mengeratkan pelukannya. Aku? Aku masih diam, sungguh sekarang sangat nyaman berada dalam pelukannya, rasanya biarlah dulu seperti ini. “Sampai kapan kau akan terus memelukku seperti ini?” tanyaku. “Sampai aku merasa puas.” Dia semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa kata “puas” begitu ambigu di telinga aku. Apa dia tidak tahu kalau sekarang wajahku begitu merah seperti kepiting rebus. “Apa kau lupa sekitar sejam yang lalu kau membentak dan mempermalukanku di depan kelas.” Dareen kemudian melepas pelukannya lalu kedua tangannya menangkup wajahku. Sorot matanya begitu damai menatapku dan hal itu membuatku terbang. “Maafkan aku karena telah membentakmu.” “Dosen macam apa yang meminta maaf ke mahasiswanya begitu mudah.” Aku menyindirnya, aku tahu biar bagaimanapun juga diriku tetaplah salah mengenai tugasku. “Dosen yang tergila-gila dengan mahasiswanya.” “Ck! Dasar aneh,
Aku berjalan menuju perpustakaan dengan penuh kekesalan terhadap Dareen dan aku lebih kesal dengan diriku sendiri, bisa-bisanya aku merasa masuk akal dengan semua yang dia bilang seakan-akan mematahkan semua pendirianku. “Kenapa wajahmu begitu murung? Kau dari mana saja?” tanya Jessica begitu aku sampai di perpustakaan. “Tidak apa-apa. Kau sudah mengerjakan sampai mana?” “Aku sisa 15 halaman lagi. Kau juga harus mulai mengerjakannya, masih ada waktu.” Aku mengangguk dan mulai mengambil laptop dari tas ku lalu kunyalakan tapi sepertinya laptopku low battery. Aku pun segera mencari charger-nya. Tapi begitu aku mengutak-ngatik isi tasku, aku belum menemukannya. Jangan bilang kalau aku tidak membawanya. “Ada apa?” Jessica bertanya. “Aku tidak membawa charger laptop dan laptopku mati.” “Ya sudah, cepat gunakan komputer perpustakaan saja.” “Apa kau tidak lihat kalau semua komputer terpakai, bagaiman
Aku dan Dareen sedari tadi diam satu sama lain di dalam mobil. Setelah ia melontarkan pentanyaan canggung yang kupilih untuk tidak menjawabnya. Kini, dia tetap memaksaku agar dirinya mengantarku pulang ke rumah. Sungguh ini aneh sekali, biasanya dia banyak bicara. Tapi, dia hanya diam dan menampilkan wajah datar dengan rahangnya yang mengeras. Apa mungkin dia salah paham tentangku dan menjadi cemburu. Rasanya dia sudah cukup berumur untuk berada di fase seperti itu. “Hm, Dareen. Sebenarnya kau tidak perlu begitu repot mengantarku pulang.” Aku berkata basa-basi hanya untuk memecah suasana canggung ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dengan singkat, jelas, dan padat. Ya. Bisa kutebak, dia pasti mengira karena Zion lah aku tidak menerimanya. Ck! Dasar, apa dia tidak ingat sama umurnya. Tapi, biarlah mungkin dengan begitu dia akan menjauhiku. Sekali lagi kutegaskan kalau aku berada disini hanya untuk fokus dengan pendidikanku dan prioritasku hanyalah untuk ana
Aku berjalan memasuki area kampus, memakai atasan yang menutupi bagian leher. Aneh memang, memakai pakaian seperti ini padahal sekarang musim panas. Tapi, setidaknya itu lebih baik dari pada orang-orang melihat tanda di leherku. “Bammm..” Aku terlonjak kaget ketika Jessica dengan sengaja mengagetkanku. “Aku bisa jantungan,” protesku kepadanya. “Hahaha, maafkan aku. Kenapa kau terlihat lesu begitu?” “Aku hanya kebanyakan begadang.” “Ini ice cream mu, Babe.” Noah menghampiri Jessica, dia kemudian melihatku dari atas hingga bawah. “What the fuck, ada apa dengan style-mu hari ini. Apa kau tidak kepanasan? Dasar aneh!” Yahh.. dia memprotes cara berpakaianku. Jessica kemudian menatapku dengan curiga. “Apa kau menyembunyikan sesuatu?” Jessica bertanya seraya mulai menarik kerah bajuku untuk melihat. Dia mungkin curiga denganku, aku tahu Jessica adalah orang yang peka dengan keadaan wanit