"Kita jadinya nonton apa?" tanya Gavin. Kini kami sedang berada di bioskop, berhubung malam minggu maka kami sekeluarga memutuskan untuk nonton film. Ibu juga terlihat suntuk beberapa hari. Mungkin karena ia merasa kesepian tanpa suaminya.
"Amanda, kalau kau mau nonton apa?" Natalie melempar pertanyaan kepadaku yang bingung mau nonton film apa.
"Aku mengikut saja."
"Mom¸ mau nonton film apa?"
"Terserah kalian saja."
"Kenapa kalian para wanita ini tidak pernah memberi jawaban jelas dan pasti. Giliran filmnya yang aku pilih terus kurang bagus kalian akan mengeluh," gerutu Gavin yang dari tadi sudah mengantre tapi belum juga mendapat kepastian wanita.
Natalie terlihat menertawakan suaminya itu. "Sayang, sebaiknya kau saja yang pilih filmnya. Kami tidak akan mengeluh apa pun hasilnya."
"Aku tidak bisa lagi mempercayai perkataan wanita."
Kami tertawa mendengar Gavin yang begitu berlebihan hanya untuk sebuah film saja.
"Permisi, tuan jadi memilih film apa?" interupsi wanita yang melayani pembelian tiket film kami.
"Birds of Prey 5 ticket, please." Sementara Gavin memesan tiket, aku dan ibu pergi membeli popcorn dan soda terlebih dahulu.
"Amanda, Mom, ayo masuk. Kita sudah bisa masuk sekarang," panggil Natalie.
Setelah selesai menonton, kami singgah terlebih dahulu untuk mengisi perut kami. Kami singgah makan tidak jauh dari rumah kami. Tempat, kami biasanya makan. Asal kalian tahu, ibu terus berprotes tentang film itu. Bahkan dia berdebat terus menerus dengan Gavin.
"Harusnya kau bisa memilih film yang sesuai, film seperti itu untuk dewasa, terus ada Alex yang menontonnya. Apa jadinya jika dia mencontohi tiap adegan itu?" gerutu ibu.
"Aku sudah bilang dan sudah tanya mau film apa, kalian selalu menyerahkannya kepadanku dan lihat kalian semua proteskan."
"Aku tidak protes, sayang," timpal Nataelie.
Akupun mengeluarkan suaraku berkata, "aku juga tidak protes."
"Yah.. yahh hanya aku yang protes. Tapi kau harus menyusaikan film yang kau pilih dengan usiaku dan juga usianya Alex. Aku ini sudah tua dan Alex masih sangat kecil, tidak pantas menonton film seperti itu."
"Mom, Alex tidak memperhatikannya, lagian Alex juga sepanjang film, dia tertidur," ujar Natalie. Sepanjang film memang Alex terlihat hanya tidur.
"Betul, Bu. Tidak apa-apa kok bu." Aku berusaha meyakinkan ibu.
"Tidak apa-apa endusmu!"
"English please. Aku tidak mengerti kalian bicara apa. Jangan-jangan kalian mengumpatiku," protes Gavin yang mendengar interaksi dengan ibu berbahasa indonesia.
"Tentu tidak! Bagaimana aku bisa mengumpatimu, kaukan kakak yang baik dan tampan," pujiku. Terlihat senyum Gavin mengambang setelah kupuji.
"Tidak usah besar kepala," sahut ibu. Aku dan Natalie langsung terbahak-bahak.
"Lama-lama aku turunkan mom di sini," ancam Gavin, tenang saja itu Cuma candaan saja. Gavin tidak mungkin melakukan hal itu. Dia sangat menyayangi ibu meskipun bukan ibu kandungnya.
"Kau mulai berani sekarang?" tantang ibu.
Natalie menggelengkan kepalanya dan mencoba memberhentikan perdebatan antara mereka. "Honey, sudahlah mengalah sama Mom."
Setelah perjalan dan perdebatan yang panjang akhirnya kami sudah tiba di tempat makan. Begitu aku masuk aku menangkap sosok yang tidak asing di seberang sana bersama seorang wanita. Dia adalah Dareen bersama wanita yang dewasa, mungkin seumurannya.
"Dareen!!" panggil Gavin kemudian menghampiri meja Dareen. "Kau Dareen? Apa kabar? Long time no see."
"Hai, Gavin." Dareen menjabat tangan Gavin. Aku terkejut begitu mereka terlihat saling kenal. Dareen pun melihat ke arahku, dari tatapannya dia seperti bertanya-tanya.
"Yah terakhir kulihat kau sekita tiga tahun yang lalu di acara pertemuan bisnis Mr.Smith dan dia, bukannya dia Jules?" tunjuk Gavin ke arah wanita itu. Dareen hanya mengangguk membalasnya. "Aku tidak menyangka kalian masih dekat, Hai Jules!"
"Hai Gavin, kau masih nakal dan tidak sopan terhadap seniormu rupanya," kata Jules.
"Kau sepertinya masih senioritas. Jadi, selama ini kalian bersama."
"Tidak—kami baru bertemu makanya berencana reuni," jawab Dareen. Dia kembali beralih menatap ke arahku. "Amanda?"
"Kalian saling kenal?" tanya Gavin.
"Tentu, dia mahasiswiku. Dia siapamu?" tanyanya yang datar.
"Ohya? Amanda adikku dan juga ini ibuku, ini Natalie—istriku, dan ini Alex..." ucapan Gavin tiba-tiba terjeda dan menatap ke arahku. "Anakku," lanjutnya. Meskipun aku senang akan hal itu tapi aku masih merasa hatiku teriris akan hal itu.
Dareen kemudian menjabat tangan Natalie dan Ibu. "Kemana Mr.Ravindra?"
"Dad lagi ada urusan di luar negeri." Aku bahkan terkejut jika Dareen mengenal paman James.
"Kalau begitu kami pesan makan dulu," ujar Gavin.
"Kami juga sudah selesai makan, kami pamit lebih dulu. See you Gavin," balas Dareen lalu berjalan keluar diikuti oleh Jules. Entah mengapa aku merasa arah matanya terus melihatiku hingga dia melewatiku. Sementara, aku hanya tersenyum kaku kepadanya.
Kami kemudian duduk di meja yang kosong. Gavin mulai memesan, dia tidak lagi menanyakannya kepada kami karena dia sudah tahu apa yang kami selalu pesan. Gavin begitu penyayang keluarga. Aku dapat merasakan hal itu, awal pertemuanku dengannya terasa begitu canggung namun, seiring perjalanan waktu aku mulai terbiasa. Dia juga orang ramah dan sangat terbuka. Hal ini membuatku cepat akrab dan nyaman dengannya bahkan dengan Natalie.
Aku terus bertanya-tanya bagaimana Dareen dan Gavin dan saling kenal, aku yang sudah penasaran terpaksa menanyakannya.
"Gavin, bagaimana kau bisa kenal dengan Mr.Ivander?" tanyaku.
"Oh Dareen? Dia dan Jules adalah seniorku ketika kuliah. Saat itu kami cukup akrab satu sama lain."
"Lalu, Dad?"
"Dia dan dad kenalan ketika pertemuan bisnis Mr.Smith di Kanada tiga tahun yang lalu. Aku yang memperkenalkannya."
Aku hanya manggut-manggut mendengarnya.
"Kenapa kau bertanya?" tanya Gavin kembali. "Kau tertarik sama Dareen?"
"Apa? Tidak—bagaimana mungkin, dia adalah dosenku. Aku hanya penasaran bagaimana kalian saling kenal."
"Oh begitu, sebenarnya tidak apa-apa kalau kau menyukainya. Justru bagus kalau kau bersamanya. Masa depanmu terjamin." Dia terlihat menggodaku.
Aku mengernyit. "Dia hanya dosenku dan juga apa hubungannya dengan masa depanku?"
"Dia sangat mapan, dia dosen, kudengar dia sudah membangun perusahaan yang bergerak dibagian teknologi dan start-up. Meskipun tergolong masih perusahaan yang kecil tapi dia mampu bersaing di dunia bisnis dan usianya masih tergolong muda untuk mendapatkan semua itu."
Aku hanya memutar mata mendengarnya. "Terserah kau saja."
"Aku bisa mengatur agar kalian bisa pergi kencan," godannya kembali.
"Apa-apaan kau ini," protesku sambil menantapnya tajam.
Dia tertawa mengejekku. "Aku hanya bercanda."
"Sebenarnya ada betulnya juga yang dibilang Gavin." Kini Ibu mulai bersuara dan terlihat dia sekarang bersekutu dengan Gavin setelah perdebatan panjang yang mereka lakukan.
"Betulkan mom, yang kukatakan. Jika Amanda bersama Dareen, dia sangat beruntung karena masa depannya terjamin," katanya sambil terkekeh.
"Awas kau Gavin," ancamku yang ingin memukulinya pakai tas ku.
Dia kini semakin terbahak-bahak. "Lihat wajahmu merah!"
"Sudahlah! Berhenti menggoda Amanda, Honey." Natalie menginterupsi membelaku.
"Sorry, just kidding sister." Aku hanya menganyumkan bibirku.
~~oo~~
Aku berlari terburu-buru menyusuri koridor kampus. Bagaimana tidak terburu-buru, kelas sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu dalam artian aku terlambat. Semalam aku menghabiskan malamku dengan bermaingamebersama Gavin dan aku lupa kalau kelas Dareen hari ini dimajukan dengan alasan dia harus rapat dosen. Tok..Tok..Tok. Aku mengetuk pintu ragu lalu membukanya dengan ragu. "Maaf Mr.Ivander saya terlambat, apa saya masih boleh mengikuti kelas?" Dareen menatapku tajam. "Kau tahu betul aturanku kan, datang dengan tepat waktu. Apa kau datang tepat waktu sekarang?" Aku menggeleng pelan. "Maaf, Mr. Ivander. Aku lupa jika jadwal hari ini dimajukan."
Saat ini aku sedang berada di perpustakaan sibuk mengerjakan data-data mahasiswa. Sekaligus, mengerjakan tugas yang diberikan Dareen kemarin sebagai hukuman karena diriku terlambat. "Tidak kusangkan Mr.Ivander memberimu banyak tugas," ucap Jessica tiba-tiba yang sedikit mengagetkanku karena keberadaanya. "Yah, dia sedikit kejam menurutku," jawabku sembari berkutat dengan laptopku. "Kau dari mana saja?" "Aku tadi menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Noah. Apa kau tahu, aku dan Noah sudah resmi berpacaran." "Betulkah? Kapan?" Aku turut senang mendengar Jessica jadian dengan Noah. Ia adalah senior kami di kampus. Dia pintar, tampan, dan baik. Jessica sudah lama mengejarnya namun Noah selalu mengabaikannya. Kini, mereka sudah berp
"Morning!" sapaku begitu melihat semua mereka di meja makan. "Kau sudah bangun?" tanya ibuku. Aku mengangguk, kemudian aku melihat paman James keluar dari kamar mandi. "Paman—ehm maksudku,Dad.KapanDaddatang?" "Aku baru saja tiba sekitar satu jam yang lalu. Apa kabarmu,beauty?" "Tentu baik." "Dia sedang dekat dengan Dareen," sahut Gavin. Aku melihat ke arahnya yang mengeluarkan kalimat hoax. Dia betul-betul cocok jadi lambe turah, membawa berita tanpa bukti yang konkrit. "Hei, penyebar fitnah yah anda!" Aku menantapnya tajam.
Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan. Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku. "Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua. "Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadan
Ketika aku sibuk mengerjakan tugas pendataan mahasiswa milik Dareen, aku tiba-tiba mendengar suara Alex yang menangis dengan kencang. Aku langsung berlari menuju kamarnya. Sesampaiku di kamarnya, terlihat Alex sudah tergeletak di lantai. Kutebak, sepertinya Alex terjatuh dari tempat tidur. Aku lalu menggendongnya sambil menenangkannya. "Hust.. diamlah,auntydi sini sayang." Alex semakin menangis dengan kencang. Aku kemudian mengusap punggung dan sesekali menepu-nepukknya agar ia tenang. "Ada apa, Amanda? Alex kenapa?" tanya paman James langsung dengan khawatir, begitu ia ada di kamar Alex. Di belakangnya ada ibu dan juga Dareen. "Sepertinya Alex jatuh," jawabku yang masih berusaha menenangkan Alex. "Apa dia baik-baik saja?" tanya ibu.
Alex tak henti-hentinya tertawa begitu aku membantunya bermain ayunan. Dareen pergi membeli minuman untuk kami berdua. Setelah puas dengan bermain ayunan kini Alex menuju ke arah seluncuran. Memang taman dekat rumahku begitu dilengkapi dengan arena permaian anak. Tidak lama kemudian Dareen sudah datang. Dia lalu memberiku air botol mineral, dia juga membawa permen kapas yang dia belikan untuk Alex. Alex terlihat senang menerima permen kapas dari Dareen. "Kenapa kau memberinya permen?" protesku. "Memangnya kenapa?" tanyanya datar tanpa ada rasa bersalah sama sekali. "Tentu tidak bisa, itu kurang baik untuk gizinya sama pertumbuhan giginya," jawabku yang sedikit kesal. Enak saja dia ingin memberi Alex makanan tidak sehat.
"Cukup sekian kelas hari ini. Jangan lupa minggu depan kita ada kuis. Bagi yang belum menyelesaikan tugas segera selesaikan sebelum hari kuis," kata Mr. Taka yang kemudian berlalu keluar dari kelas. Aku merenggangkan badanku, dua jam mendengar ceramah yang begitu kaku membuatku begitu mengantuk. Dan juga dia termasuk dosen yang sangat keras. Di kelasnya, kami tidak bisa melakukan apapun selain memperhatikan dirinya berceramah. "Mr. Taka sudah tua, buncit, botak, menyebalkan lagi." Jessica mencacinya. Ia masih menyimpan dendam kepada Mr. Taka mengingat semester lalu dia hampir saja tidak lulus di kelas Mr. Taka hanya karena dia lupa mensenyapkan ponselnya. "Meskipun begitu, tapi kau takut tidak lulus di kelasnya 'kan?" timpalku. "S
Selepas selesai makan, aku tidak langsung pulang. Kami berjalan-jalan ke salah satu mall di New York. Jessica ingin membeli beberapa pakaian baru, ia betul-betul memanfaatkan Noah begitu Noah bilang akan mengikuti kemauan Jessica seharian ini. Sementara, aku kini menemani Jessica memilih pakaian yang cocok padanya. Terlihat juga dari kejauhan Zion dan Noah sedang berbicara. Mereka mungkin sedikit bosan menemani wanita berbelanja. Terlebih Jessica, memilih satu pakaian saja prosesnya sangat lama. "Ayolah Jessica, kau sudah setengah jam hanya karena memilih warna," keluhku kepadanya. Dari tadi dia hanya bingung ingin memilih antara warna putih atau abu-abu. Aku sudah memberikan saranku, namun dia terlihat semakin bingung. "Aku harus pastikan yang benar-benar cocok di tubuh seksiku ini." Jessica berkata dengan penuh percaya diri.
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun. “Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku. “Tunggu,” katanya. “Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.” “Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut. “Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.” “Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku. Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?” Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.” “Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi. Aku menggeleng. “
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu dan Mr. Ivander?” tanya Jessica. Saat ini aku sedang berada di apartemen Jessica. Sebenarnya, tidak ada yang perlu kuselesaikan dengannya. Aku hanya beralasan dengan Dareen kalau aku mempunyai urusan penting dengan Jessica. Aku tahu, jika aku tidak berbohong seperti tadi kemungkinan ia akan semakin menahanku. Akhirnya aku mengetahu kalau selama ini Dareen berada di Kanada, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin dia pergi menghabiskan waktu atau bermulan madu sekalian dengan Jules. Itu sangat membuatku tidak tenang. Tadi dirinya memberikan sebuah kalung mapple kepadaku. Kalung itu sangat indah, rasanya ada rasa penyesalan karena menolaknya. Tapi, aku mempertahankan harga diriku. Aku tidak ingin termakan cinta buaya lagi. Butuh waktu lama untuk sembuh dari luka yang kudapatkan dan aku tidak ingin membuat luka baru lagi karena pada akhirnya hanya akulah yang akan tersakiti. “Amanda?!” panggil Jessica lagi
“Amanda, lanjutkan makanmu. Kenapa kau diam saja?” tanya Jessica menyadarkanku dari lamunanku. Aku kemudian hanya mengangguk seraya melanjutkan makan siangku. “Apa kau baik saja-saja?” Ia kembali bertanya. Apa aku harus bilang kalau aku tidak baik-baik saja melihat Dareen sedang menikmati waktu berdua dengan wanita itu. Aku juga bingung kenapa aku sangat merasa terganggu dengan hal itu. “Aku baik-baik saja,” jawabku akhirnya. Kami pun kembali diam seraya menikmati makan kami. Meski aku tidak begitu menikmatinya karena ada 2 belalang di sekitarku. Mungkin Dareen dan Jules tidak melihat kami, sehingga dari kejauhan dapat kulihat kalau mereka sedang berbicara serius. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua belalang itu, mungkin mereka sedang membicarakan masa depan mereka. Memangnya apa peduli ku. “Ayo, kita pergi. Aku sudah selesai.” Jessica berkata seraya beranjak dari tempatnya. Aku pun mengikutinya. Kali ini kami akan mele
Aku bangun dari tidurku, merasa sekujur tubuhku terasa pegal. Yah, semalam adalah acara ulang tahun yang melelahkan untuk ukuran orang yang sudah berumur. Paman James, Gavin, dan Dareen menggila karena mereka terlalu banyak minum. Sehingga, rumah kami menjadi berantakan dan aku yang harus bertanggung jawab untuk membereskan semua itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, aku pun segera turun. Di ruang tengah tampak amat berantakan. Terlihat juga Dareen yang tertidur di sofa lalu di lantai ada Gavin. Sementara paman, mungkin ia sudah diseret oleh ibu ke kamarnya. Aku berjalan menuju Dareen, berencana membangunkannya. Mungkin hari ini ia mempunyai jadwal mengajar. “Dareen, bangunlah! Sudah jam 8 pagi. Apa kau tidak punya jadwal kelas hari ini?” kataku sembari menepuk-nepuk bahunya. Namun, yang ditepuk masih tertidur pulas. Aku kembali mencoba membangunkannya, kali ini aku menariknya dengan keras
Dareen terus mengelus kepalaku, ia juga semakin mengeratkan pelukannya. Aku? Aku masih diam, sungguh sekarang sangat nyaman berada dalam pelukannya, rasanya biarlah dulu seperti ini. “Sampai kapan kau akan terus memelukku seperti ini?” tanyaku. “Sampai aku merasa puas.” Dia semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa kata “puas” begitu ambigu di telinga aku. Apa dia tidak tahu kalau sekarang wajahku begitu merah seperti kepiting rebus. “Apa kau lupa sekitar sejam yang lalu kau membentak dan mempermalukanku di depan kelas.” Dareen kemudian melepas pelukannya lalu kedua tangannya menangkup wajahku. Sorot matanya begitu damai menatapku dan hal itu membuatku terbang. “Maafkan aku karena telah membentakmu.” “Dosen macam apa yang meminta maaf ke mahasiswanya begitu mudah.” Aku menyindirnya, aku tahu biar bagaimanapun juga diriku tetaplah salah mengenai tugasku. “Dosen yang tergila-gila dengan mahasiswanya.” “Ck! Dasar aneh,
Aku berjalan menuju perpustakaan dengan penuh kekesalan terhadap Dareen dan aku lebih kesal dengan diriku sendiri, bisa-bisanya aku merasa masuk akal dengan semua yang dia bilang seakan-akan mematahkan semua pendirianku. “Kenapa wajahmu begitu murung? Kau dari mana saja?” tanya Jessica begitu aku sampai di perpustakaan. “Tidak apa-apa. Kau sudah mengerjakan sampai mana?” “Aku sisa 15 halaman lagi. Kau juga harus mulai mengerjakannya, masih ada waktu.” Aku mengangguk dan mulai mengambil laptop dari tas ku lalu kunyalakan tapi sepertinya laptopku low battery. Aku pun segera mencari charger-nya. Tapi begitu aku mengutak-ngatik isi tasku, aku belum menemukannya. Jangan bilang kalau aku tidak membawanya. “Ada apa?” Jessica bertanya. “Aku tidak membawa charger laptop dan laptopku mati.” “Ya sudah, cepat gunakan komputer perpustakaan saja.” “Apa kau tidak lihat kalau semua komputer terpakai, bagaiman
Aku dan Dareen sedari tadi diam satu sama lain di dalam mobil. Setelah ia melontarkan pentanyaan canggung yang kupilih untuk tidak menjawabnya. Kini, dia tetap memaksaku agar dirinya mengantarku pulang ke rumah. Sungguh ini aneh sekali, biasanya dia banyak bicara. Tapi, dia hanya diam dan menampilkan wajah datar dengan rahangnya yang mengeras. Apa mungkin dia salah paham tentangku dan menjadi cemburu. Rasanya dia sudah cukup berumur untuk berada di fase seperti itu. “Hm, Dareen. Sebenarnya kau tidak perlu begitu repot mengantarku pulang.” Aku berkata basa-basi hanya untuk memecah suasana canggung ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dengan singkat, jelas, dan padat. Ya. Bisa kutebak, dia pasti mengira karena Zion lah aku tidak menerimanya. Ck! Dasar, apa dia tidak ingat sama umurnya. Tapi, biarlah mungkin dengan begitu dia akan menjauhiku. Sekali lagi kutegaskan kalau aku berada disini hanya untuk fokus dengan pendidikanku dan prioritasku hanyalah untuk ana
Aku berjalan memasuki area kampus, memakai atasan yang menutupi bagian leher. Aneh memang, memakai pakaian seperti ini padahal sekarang musim panas. Tapi, setidaknya itu lebih baik dari pada orang-orang melihat tanda di leherku. “Bammm..” Aku terlonjak kaget ketika Jessica dengan sengaja mengagetkanku. “Aku bisa jantungan,” protesku kepadanya. “Hahaha, maafkan aku. Kenapa kau terlihat lesu begitu?” “Aku hanya kebanyakan begadang.” “Ini ice cream mu, Babe.” Noah menghampiri Jessica, dia kemudian melihatku dari atas hingga bawah. “What the fuck, ada apa dengan style-mu hari ini. Apa kau tidak kepanasan? Dasar aneh!” Yahh.. dia memprotes cara berpakaianku. Jessica kemudian menatapku dengan curiga. “Apa kau menyembunyikan sesuatu?” Jessica bertanya seraya mulai menarik kerah bajuku untuk melihat. Dia mungkin curiga denganku, aku tahu Jessica adalah orang yang peka dengan keadaan wanit