Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan.
Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku.
"Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua.
"Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadanya. Ia membuka demi lembar-lembaran.
"Kau salah dalam menganalisa pertanyaan yang di ajukan pada skala likert."
"Aku hanya menulis apa yang kupahami, lagi pula materimu belum sampai di situ juga. Setidaknya itu bonus."
"Hmm, baiklah lain kali kau jangan terlambat lagi."
Aku mengangguk.
"Bagaimana dengan data mahasiswa, kenapa kau sangat lama mengerjakannya?"
"Bukan lama, tapi tugas dari dosen lain juga menumpuk. Data mahasiswa sudah mau selesai, mungkin sekitar lima puluhan lagi."
"Kau tidak membawa laptop?"
"Tidak, untuk apa aku membawa laptop?"
"Untuk mengerjakannya."
"Aku akan mengerjakan di rumah saja."
Suasana di antara kami kembali hening dan canggung satu sama lain. Aku bingun harus berkata dan berbuat apa. Dareen juga sedari tadi mulai diam. Dia memilih untuk kembali memeriksa tugasku. Berkali-kali dia membalik lembar halaman, entah kesalahan apa yang ia cari laporanku.
"Aku sebaiknya pulang saja, jangan lupa makan supnya." Aku memutuskan pamit dari apartement dari pada berdiam diri tidak jelas.
"Biar kuantar," sahutnya.
"Tidak usah, aku bisa pesan uber."
"Tidak, aku akan mengantarmu pulang. Tunggu, aku siap-siap dulu." Dia lalu beranjak menuju kamarnya. Sekitar lima belas menit aku menunggu, Dareen sudah keluar dengan lebih dari sebelumnya. Gayanya lebih kasual.
"Ayo!" Dia memanggil dan kemudian aku mengekorinya keluar dari apartementnya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya perihal kenapa dia tinggal sendiri dan kemana orang tuanya. Tapi kupikir itu terlalu melanggar privasinya.
Aku kemudian naik di mobil Dareen, tentu saja duduk di sampingnya. Tidak mungkin duduk di belakang. Sesekali aku melihat ke arahnya ketika dia tengah asik menyetir. Baru kali ini kulihat dia berpakaian kasual. Biasanya dia berpakaian kemeja formal dengan mengenakan suit.
"Apa ada yang ingin kau tanyakan? Dari tadi kau melirikku diam-diam?" katanya yang berhasil membuat diriku terkejut.
"Ap—apa tidak. Tidak ada, aku hanya bingung kau berpakaian kasual. Apa hari ini kau tidak mengajar?"
"Tidak, hari ini aku tidak punya jadwal. Kau sendiri, apa kau ada kelas?"
"Yah sebentar siang tapi hanya satu."
"Kelasnya siapa?"
"Mrs.Nelson."
Dia hanya manggut-manggut dan kembali fokus mengemudi.
Setelah tiga puluh menit kami akhirnya sampai di rumahku. Aku menawarinya untuk singgah terlebih dahulu dan dia terlihat berpikir. Seharusnya dia menolak, lagian aku hanya basa-basi saja. Itu hanya sebagai tanda terima kasih dan hormat kepada dosenku.
"Apa Gavin ada di dalam?" tanyanya.
"Tidak ada, dia tadi pagi ada meeting dadakan."
"Kalau begitu sebaiknya aku pulang saja."
Aku kemudian turun dari mobilnya. Baru ingin kembali menutup pintu mobilnya, kudengar suara paman James keluar menuju ruang teras.
"Kau pulang, Amanda? Siapa yang mengantarmu?" Dia kemudian menyimpan kopinya di meja teras lalu berjalan menujuku.
"Ah dia dosenku. Mr.Ivander, Dad mengenalnya kan?"
"Mr. Ivander? Dareen?" Dia semakin mendekat ke arah mobil Dareen.
"Hei Dareen, turunlah dulu. Mari kita mengobrol sebentar." Terlihat paman James menyambut kedatangan Dareen. Dareen kemudian mau tidak mau ia keluar dari mobilnya dan berjalan menuju paman James. Ia menyalami paman James. "Mr.Ravindra lama tidak bertemu."
"Hei, jangan formal begitu. Kau temannya Gavin dan juga dosen Amanda. Panggil saja paman."
"Baik paman
James. How are you?""I'm good. Like you see. Ayo kita berbicara di dalam saja." Mereka kemudian berlalu begitu saja mengabaikanku. Sementara, aku hanya mengekori mereka dari arah belakang.
Dareen dan paman James kemudian duduk di kursi ruang tamu. Aku menghampiri mereka bertanya, "kalian ingin minum apa?"
"Aku tidak usah, aku sudah punya kopi," kata paman James kemudian dia beralih ke Dareen. "Dareen saja. Kau ingin minum apa?"
"Tidak usah repot-repot."
"Ayolah, tidak repot sama sekali. Kau ingin kopi atau the atau coklat hangat?"
"Coffe, please." Mendengar hal itu, aku kemudian berjalan menuju dapur. Sesegara mungkin membuatkan Dareen kopi. Lalu ibu datang menghampiriku, melihatku kebingungan.
"Apa ada tamu?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Dareen ada di sini, dia sedang bicara dengan dad di ruang tamu."
"Dareen? Dareen dosenmu itu 'kan? Yang waktu itu kita ketemu." Entah mengapa kulihat seperti ibu merasa antusias melihat kedatangan Dareen.
Aku hanya mengangguk mengiyakannya.
"Kalau begitu aku ingin kedepan." Aku mengkerutkan alisku kenapa ibu sangat bersemangat.
"Lho, ibu mau ngapain?" tanyaku. "Sudah deh bu, gak usah ibu aneh-aneh ke depan." Aku curiga ibu masih memikirkan pembicara Gavin yang tempo hari.
"Lho, aku gak aneh-aneh kok, lagian suami ibukan di depan. Ibu hanya ingin lebih mengenalnya." Ibu kemudian berlalu menuju ruang tamu. Aku hanya menghela nafas panjang yang melihat tingkah ibu. Ini semua karena Gavin si pembawa berita palsu itu. Andaikan di Indonesia, dia sudah cocok kerja bersama lambe turah.
Tidak lama kemudian, akupun menyusul ke ruang tamu, membawakan kopi Dareen. Aku lalu meletakkan gelas di meja tepat di depannya. Setelah itu, aku berpamit untuk kembali ke kamar.
"Permisi, aku ke kamar dulu."
"Duduk di sini saja, Amanda," titah paman James.
"Iya, kan ada tamu, masa kamu ke kamar." Ibu juga mulai menambah-nambahkan.
"Aku ada tugas yang harus kukerjakan." Kulihat ibu sudah memberikan isyarat matanya untuk segera duduk. Namun, aku berusaha mengabaikannya.
Tiba-tiba Dareen bersuara dan berkata, "tidak apa-apa, Amanda bisa melanjutakan tugasnya. Lagian di sini masih ada paman James. Aku juga ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan paman
James."Aku bersyukur, setidaknya Dareen ini cukup mengerti juga. "Maaf Dareen, kalau begitu aku permisi dulu."
Dia mengangguk. "it's okay."
Aku kemudian berlalu menuju kamarku. Aku memang punya tugas, namun tugas itu masih bisa kukerjakan nanti karena pengumpulannya masih minggu depan. Aku hanya merasa canggung berada di sana. Lagian aku tidak mengerti dengan pembahasan mereka. Seperti halnya jika paman James berbicara dengan Gavin. Mereka membicarakan soal bisnis dan perusahaan. Dan bagiku mendengar pembicaraan seperti itu sangat membosankan. Aku juga tidak habis pikir, untuk apa ibu juga ikut-ikutan. Aku takut itu menyebabkan kesalahpahaman terlebih Dareen akan merasa tidak nyaman.
~~oo~~
Ketika aku sibuk mengerjakan tugas pendataan mahasiswa milik Dareen, aku tiba-tiba mendengar suara Alex yang menangis dengan kencang. Aku langsung berlari menuju kamarnya. Sesampaiku di kamarnya, terlihat Alex sudah tergeletak di lantai. Kutebak, sepertinya Alex terjatuh dari tempat tidur. Aku lalu menggendongnya sambil menenangkannya. "Hust.. diamlah,auntydi sini sayang." Alex semakin menangis dengan kencang. Aku kemudian mengusap punggung dan sesekali menepu-nepukknya agar ia tenang. "Ada apa, Amanda? Alex kenapa?" tanya paman James langsung dengan khawatir, begitu ia ada di kamar Alex. Di belakangnya ada ibu dan juga Dareen. "Sepertinya Alex jatuh," jawabku yang masih berusaha menenangkan Alex. "Apa dia baik-baik saja?" tanya ibu.
Alex tak henti-hentinya tertawa begitu aku membantunya bermain ayunan. Dareen pergi membeli minuman untuk kami berdua. Setelah puas dengan bermain ayunan kini Alex menuju ke arah seluncuran. Memang taman dekat rumahku begitu dilengkapi dengan arena permaian anak. Tidak lama kemudian Dareen sudah datang. Dia lalu memberiku air botol mineral, dia juga membawa permen kapas yang dia belikan untuk Alex. Alex terlihat senang menerima permen kapas dari Dareen. "Kenapa kau memberinya permen?" protesku. "Memangnya kenapa?" tanyanya datar tanpa ada rasa bersalah sama sekali. "Tentu tidak bisa, itu kurang baik untuk gizinya sama pertumbuhan giginya," jawabku yang sedikit kesal. Enak saja dia ingin memberi Alex makanan tidak sehat.
"Cukup sekian kelas hari ini. Jangan lupa minggu depan kita ada kuis. Bagi yang belum menyelesaikan tugas segera selesaikan sebelum hari kuis," kata Mr. Taka yang kemudian berlalu keluar dari kelas. Aku merenggangkan badanku, dua jam mendengar ceramah yang begitu kaku membuatku begitu mengantuk. Dan juga dia termasuk dosen yang sangat keras. Di kelasnya, kami tidak bisa melakukan apapun selain memperhatikan dirinya berceramah. "Mr. Taka sudah tua, buncit, botak, menyebalkan lagi." Jessica mencacinya. Ia masih menyimpan dendam kepada Mr. Taka mengingat semester lalu dia hampir saja tidak lulus di kelas Mr. Taka hanya karena dia lupa mensenyapkan ponselnya. "Meskipun begitu, tapi kau takut tidak lulus di kelasnya 'kan?" timpalku. "S
Selepas selesai makan, aku tidak langsung pulang. Kami berjalan-jalan ke salah satu mall di New York. Jessica ingin membeli beberapa pakaian baru, ia betul-betul memanfaatkan Noah begitu Noah bilang akan mengikuti kemauan Jessica seharian ini. Sementara, aku kini menemani Jessica memilih pakaian yang cocok padanya. Terlihat juga dari kejauhan Zion dan Noah sedang berbicara. Mereka mungkin sedikit bosan menemani wanita berbelanja. Terlebih Jessica, memilih satu pakaian saja prosesnya sangat lama. "Ayolah Jessica, kau sudah setengah jam hanya karena memilih warna," keluhku kepadanya. Dari tadi dia hanya bingung ingin memilih antara warna putih atau abu-abu. Aku sudah memberikan saranku, namun dia terlihat semakin bingung. "Aku harus pastikan yang benar-benar cocok di tubuh seksiku ini." Jessica berkata dengan penuh percaya diri.
Aku membuka mataku merasa cahaya matahari pagi menembus jendelaku. Kulihat ibu membuka tirai jendelaku. Aku mengucek mataku lalu mendudukkan diriku. Kepalaku terasa berat, semalam aku tidak bisa tidur memikirkan kata-kata Dareen. Setelah aksi teriak meneriaki, aku langsung pulang begitu saja. Semalam aku lebih memilih pulang naik taksi, rasanya ada yang tidak beres antara aku dengan Dareen jika terus bersama. "Ayo bangun lalu mandi putri tidur," titah ibu kepadaku. "Ibu kenapa cepat sekali membangunkanku, aku masih mengantuk," gumamku lalu kembali membaringkan tubuhku di kasir. Hari ini aku kelas siang, tidak ada salahnya jika aku terlambat bangun. Ibu langsung menarikku. "Hei, bangun. Tidak baik anak gadis lama bangun. Nanti jodohmu lama terbuka."
--Seperti api yang mampu memberikan cahaya dan juga kehangatan, tapi ada rasa takut jika api itu juga akan menjadi sebuah rasa panas lalu membakarku.-- Sudah satu minggu ini aku menghindari Dareen, bahkan ketika di kelasnya aku tidak berani untuk kontak mata dengannya. Dia pun juga sepertinya merasa jika aku menghindarinya, terlihat jelas kalau dia juga mulai sedikit tidak banyak bicara denganku. Tapi, entah mengapa aku selalu merasa ada mengganjal jika melihatnya. Aku bukan menolak Dareen karena dia tidak menarik, hanya saja hati ini memang telah menutup dari segala perasaan orang lain. Dareen adalah lelaki yang mapan, tampan, dan juga baik meskipun beberapa kali dia begitu menyebalkan. Aku hanya tidak bisa lagi percaya, aku telah melihat orang-orang yang hancur karena kekecewaan termasuk diriku.
"Inipopcornmu," kata Zion lalu memberikanku sebuahpopcorn. Aku dengan terpaksa harus ikut dengan mereka menonton film. Setelah pulang dari kampus, tidak lama kemudian Zion telah menjemputku. "Kau sebenarnya ada masalah apa dengan Mr. Ivander. Belakangan ini aku sering melihatmu bersama," tanya Jessica yang mengambil tempat di sampingku. Film masih akan dimulai sekitar tiga puluh menit lagi. "Ada beberapa tugas." Jessica manggut-manggut. "Tugas seperti apa?" "Seperti.." Aku menjeda perkataanku seraya berpikir jawaban apa yang harus kuberikan, tidak mungkin aku bilang kalau Dareen sudah menyatakan perasaannya kepadaku. "Dia adalah teman kakakku, jadi
“Aunty¸look at this. Aku tadi beli mainan sama daddy.” Seketika suara Alex menyadarkan diriku dari lamunan yang sedari tadi memikirkan pernyataan Zion terhadapku. Aku tentu tidak menjawabnya, aku langsung masuk ke dalam rumah. Bagiku saat ini adalah pendidikanku dan juga Alex. Zion adalah lelaki yang baik, tetapi kupikir semua lelaki akan bersifat baik pada wanita yang dia inginkan. “Ohya, wow kau keluar tanpa mengajak Aunty. Jahat sekali!” Alex menampilkan senyum cengingisnya. “Aunty kan sekolah.” Astaga lucu sekali dia, aku tahu maksudnya adalah berkuliah tapi dia hanya menganggapku masih sekolah. Mungkin bagi anak berusia tiga tahun itu terlihat sama saja. “Kau sudah pulang? Tumben sekali kau pulang terlambat, apa kau habis bermain dengan Jessica atau dengan Dareen?” tanya Gavin kepadaku. Belakangan ini dia sering menyangkutpautkan diriku dengan Dareen. Dia, ibu, dan bahkan uncle James selalu me
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun. “Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku. “Tunggu,” katanya. “Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.” “Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut. “Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.” “Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku. Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?” Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.” “Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi. Aku menggeleng. “
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu dan Mr. Ivander?” tanya Jessica. Saat ini aku sedang berada di apartemen Jessica. Sebenarnya, tidak ada yang perlu kuselesaikan dengannya. Aku hanya beralasan dengan Dareen kalau aku mempunyai urusan penting dengan Jessica. Aku tahu, jika aku tidak berbohong seperti tadi kemungkinan ia akan semakin menahanku. Akhirnya aku mengetahu kalau selama ini Dareen berada di Kanada, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin dia pergi menghabiskan waktu atau bermulan madu sekalian dengan Jules. Itu sangat membuatku tidak tenang. Tadi dirinya memberikan sebuah kalung mapple kepadaku. Kalung itu sangat indah, rasanya ada rasa penyesalan karena menolaknya. Tapi, aku mempertahankan harga diriku. Aku tidak ingin termakan cinta buaya lagi. Butuh waktu lama untuk sembuh dari luka yang kudapatkan dan aku tidak ingin membuat luka baru lagi karena pada akhirnya hanya akulah yang akan tersakiti. “Amanda?!” panggil Jessica lagi
“Amanda, lanjutkan makanmu. Kenapa kau diam saja?” tanya Jessica menyadarkanku dari lamunanku. Aku kemudian hanya mengangguk seraya melanjutkan makan siangku. “Apa kau baik saja-saja?” Ia kembali bertanya. Apa aku harus bilang kalau aku tidak baik-baik saja melihat Dareen sedang menikmati waktu berdua dengan wanita itu. Aku juga bingung kenapa aku sangat merasa terganggu dengan hal itu. “Aku baik-baik saja,” jawabku akhirnya. Kami pun kembali diam seraya menikmati makan kami. Meski aku tidak begitu menikmatinya karena ada 2 belalang di sekitarku. Mungkin Dareen dan Jules tidak melihat kami, sehingga dari kejauhan dapat kulihat kalau mereka sedang berbicara serius. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua belalang itu, mungkin mereka sedang membicarakan masa depan mereka. Memangnya apa peduli ku. “Ayo, kita pergi. Aku sudah selesai.” Jessica berkata seraya beranjak dari tempatnya. Aku pun mengikutinya. Kali ini kami akan mele
Aku bangun dari tidurku, merasa sekujur tubuhku terasa pegal. Yah, semalam adalah acara ulang tahun yang melelahkan untuk ukuran orang yang sudah berumur. Paman James, Gavin, dan Dareen menggila karena mereka terlalu banyak minum. Sehingga, rumah kami menjadi berantakan dan aku yang harus bertanggung jawab untuk membereskan semua itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, aku pun segera turun. Di ruang tengah tampak amat berantakan. Terlihat juga Dareen yang tertidur di sofa lalu di lantai ada Gavin. Sementara paman, mungkin ia sudah diseret oleh ibu ke kamarnya. Aku berjalan menuju Dareen, berencana membangunkannya. Mungkin hari ini ia mempunyai jadwal mengajar. “Dareen, bangunlah! Sudah jam 8 pagi. Apa kau tidak punya jadwal kelas hari ini?” kataku sembari menepuk-nepuk bahunya. Namun, yang ditepuk masih tertidur pulas. Aku kembali mencoba membangunkannya, kali ini aku menariknya dengan keras
Dareen terus mengelus kepalaku, ia juga semakin mengeratkan pelukannya. Aku? Aku masih diam, sungguh sekarang sangat nyaman berada dalam pelukannya, rasanya biarlah dulu seperti ini. “Sampai kapan kau akan terus memelukku seperti ini?” tanyaku. “Sampai aku merasa puas.” Dia semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa kata “puas” begitu ambigu di telinga aku. Apa dia tidak tahu kalau sekarang wajahku begitu merah seperti kepiting rebus. “Apa kau lupa sekitar sejam yang lalu kau membentak dan mempermalukanku di depan kelas.” Dareen kemudian melepas pelukannya lalu kedua tangannya menangkup wajahku. Sorot matanya begitu damai menatapku dan hal itu membuatku terbang. “Maafkan aku karena telah membentakmu.” “Dosen macam apa yang meminta maaf ke mahasiswanya begitu mudah.” Aku menyindirnya, aku tahu biar bagaimanapun juga diriku tetaplah salah mengenai tugasku. “Dosen yang tergila-gila dengan mahasiswanya.” “Ck! Dasar aneh,
Aku berjalan menuju perpustakaan dengan penuh kekesalan terhadap Dareen dan aku lebih kesal dengan diriku sendiri, bisa-bisanya aku merasa masuk akal dengan semua yang dia bilang seakan-akan mematahkan semua pendirianku. “Kenapa wajahmu begitu murung? Kau dari mana saja?” tanya Jessica begitu aku sampai di perpustakaan. “Tidak apa-apa. Kau sudah mengerjakan sampai mana?” “Aku sisa 15 halaman lagi. Kau juga harus mulai mengerjakannya, masih ada waktu.” Aku mengangguk dan mulai mengambil laptop dari tas ku lalu kunyalakan tapi sepertinya laptopku low battery. Aku pun segera mencari charger-nya. Tapi begitu aku mengutak-ngatik isi tasku, aku belum menemukannya. Jangan bilang kalau aku tidak membawanya. “Ada apa?” Jessica bertanya. “Aku tidak membawa charger laptop dan laptopku mati.” “Ya sudah, cepat gunakan komputer perpustakaan saja.” “Apa kau tidak lihat kalau semua komputer terpakai, bagaiman
Aku dan Dareen sedari tadi diam satu sama lain di dalam mobil. Setelah ia melontarkan pentanyaan canggung yang kupilih untuk tidak menjawabnya. Kini, dia tetap memaksaku agar dirinya mengantarku pulang ke rumah. Sungguh ini aneh sekali, biasanya dia banyak bicara. Tapi, dia hanya diam dan menampilkan wajah datar dengan rahangnya yang mengeras. Apa mungkin dia salah paham tentangku dan menjadi cemburu. Rasanya dia sudah cukup berumur untuk berada di fase seperti itu. “Hm, Dareen. Sebenarnya kau tidak perlu begitu repot mengantarku pulang.” Aku berkata basa-basi hanya untuk memecah suasana canggung ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dengan singkat, jelas, dan padat. Ya. Bisa kutebak, dia pasti mengira karena Zion lah aku tidak menerimanya. Ck! Dasar, apa dia tidak ingat sama umurnya. Tapi, biarlah mungkin dengan begitu dia akan menjauhiku. Sekali lagi kutegaskan kalau aku berada disini hanya untuk fokus dengan pendidikanku dan prioritasku hanyalah untuk ana
Aku berjalan memasuki area kampus, memakai atasan yang menutupi bagian leher. Aneh memang, memakai pakaian seperti ini padahal sekarang musim panas. Tapi, setidaknya itu lebih baik dari pada orang-orang melihat tanda di leherku. “Bammm..” Aku terlonjak kaget ketika Jessica dengan sengaja mengagetkanku. “Aku bisa jantungan,” protesku kepadanya. “Hahaha, maafkan aku. Kenapa kau terlihat lesu begitu?” “Aku hanya kebanyakan begadang.” “Ini ice cream mu, Babe.” Noah menghampiri Jessica, dia kemudian melihatku dari atas hingga bawah. “What the fuck, ada apa dengan style-mu hari ini. Apa kau tidak kepanasan? Dasar aneh!” Yahh.. dia memprotes cara berpakaianku. Jessica kemudian menatapku dengan curiga. “Apa kau menyembunyikan sesuatu?” Jessica bertanya seraya mulai menarik kerah bajuku untuk melihat. Dia mungkin curiga denganku, aku tahu Jessica adalah orang yang peka dengan keadaan wanit