"Morning!" sapaku begitu melihat semua mereka di meja makan.
"Kau sudah bangun?" tanya ibuku.
Aku mengangguk, kemudian aku melihat paman James keluar dari kamar mandi. "Paman—ehm maksudku, Dad. Kapan Dad datang?"
"Aku baru saja tiba sekitar satu jam yang lalu. Apa kabarmu, beauty?"
"Tentu baik."
"Dia sedang dekat dengan Dareen," sahut Gavin. Aku melihat ke arahnya yang mengeluarkan kalimat hoax. Dia betul-betul cocok jadi lambe turah, membawa berita tanpa bukti yang konkrit.
"Hei, penyebar fitnah yah anda!" Aku menantapnya tajam.
"Dareen? Dareen Ivander? Waw, itu bagus. Aku mendukungmu, Amanda. Ternyata kau pintar juga memilih seorang pria."
"Oh tidak, Dad. Gavin itu berbohong, Dareen hanya dosen di kampusku."
Dia kemudian manggut-manggut. "Oh, begitu rupanya. Padahal aku sangat berharap kalian berdua ada sesuatu." Entah mengapa aku merasa ekspresi paman James terlihat kecewa. "Kau ini Gavin jangan membawa berita asalan!"
Gavin terkekeh. "Hahaha. Sorry, Dad! Aku hanya bercanda, lagian aku juga berharap mereka berdua bersama. Tapi kenapa aku merasa si Dareen itu bukan hanya menganggapmu sekedar mahasiswanya. Aku begitu yakin kalau dia ada perasaan terhadapmu, Amanda."
Aku yang tadinya minum kini tersedak mendengar Gavin. "Kau ini masih pagi sudah berpikir aneh-aneh saja. Mana mungkin itu terjadi, lagian Dareen itu ada sesuatu dengan teman wanitanya yang pernah kita temui waktu itu. Kalau tidak salah namanya Jules 'kan?"
Gavin hanya mengedikkan bahunya lalu melanjutkan sarapannya.
"Ohya Amanda, mom memasak sup. Bisakah kau membawakan Dareen?" pinta Gavin secara tiba-tiba.
Aku mengkerutkan alisku menatapnya. "Kenapa aku harus membawakannya sup? Untuk apa?"
"Dia itu sudah minum, semalam mabuknya cukup berat, dan dia tinggal sendirian di apartementnya. Aku kasihan melihatnya."
"Apartement? Tinggal sendirian? Memangnya kemana orang tuanya."
"Aku tidak tahu, sudah, kau bawakan saja! Kau 'kan mahasiswanya."
"Kenapa tidak kau saja?"
"Aku buru-buru, ada meeting dadakan. Kau bawakan saja, tidak baik menolak permintaan tolong orang terlebih kakakmu sendiri."
Aku merasa kurang yakin untuk ke apartementnya membawakannya sup mengingat kemarin dia marah kepadaku dengan permasalahan yang sepeleh. "Aku—aku tidak bisa!"
"Kau ini, bawakan saja! Aku tahu kelasmu siang, makanya bawakan saja dia, please!"
Aku hanya mampu menghembuskan nafasku berat, mau tidak mau aku harus melakukannya. "Hmm.. baiklah! Tunggu aku siap-siap dulu."
"Aku sudah kirim 'kan kau alamatnya, aku berangkat Mom, Dad." Dia kemudian mencium kening Natalie. "Bye Hon. Bye my hero. "
Setelah melihat Gavin pergi begitu saja, aku tidak berhentinya mengumpat dalam hati. Aku heran kalau Dareen yang mabuk kenapa Gavin yang pusing. Memangnya kita keluarga, yang harus membawakannya sup jika dia sudah minum.
Aku kemudian beranjak bersiap-siap untuk ke apartement Dareen. Aku mengecek ponselku melihat alamat yang dikirim Gavin kemudian aku memesan uber. Kalau di Indonesia punya Gojek, kalau disini aku menaiki uber.
***
Kini aku sudah berada di depan apartement Dareen, aku kembali mengecek ponsel memastikan jika aku berada di nomor unit yang tepat. Aku kemudian mulai menekan bel apartement beberapa kali. Lalu kudengar suara dari arah speaker bel apartementnya. "Siapa?"
"Permisi, Mr.Ivander. Ini aku Amanda." Awalnya aku ragu menyebut namaku namun apa boleh buat tidak mungkin aku bilang delievery.
Tidak lama kemudian pintu apartement Dareen terbuka. Menampilkan Dareen yang hanya mengenakan kaos abu-abu dengan bawahan celana pendek selututnya. Rambutnya sedikit berantakan, dari wajahnya aku menyimpulkan dia baru saja bangun.
"Mau apa kau kesini?" tanyanya datar.
Aku kemudian mengangkat sedikit totebag makanan yang kubawa. "Aku disuruh Gavin membawakanmu sup."
Dia lalu membuka lebih lebar pintunya. "Masuklah!"
Aku kemudian masuk ke dalam apartementnya yang dipenuhi nuansa hitamm, putih, dan abu-abu. Dari warna desain apartementnya, kusimpulkan Dareen adalah orang yang sederhana.
"Duduk!" Dia kemudian mempersilahkanku duduk meskipun terkesan memerintah.
"Ohya ini sup nya." Aku kemudian memberikannya sebelum berlalu menuju ruang tengah. Karena ini apartement jadi ruang tengah dan ruang tamunya menyatu lalu tidak jauh dari arah dapurnya. Apartement Dareen juga minimalis namun tetap terlihat elegant.
"Kau ingin minum apa?" tanyannya.
"Tidak usah repot-repot, air biasa saja sudah cukup." Dia lalu berjalan menuju pantry. Aku menghela nafas dengan berat merasa sangat canggung berada di sini.
Tidak lama kemudian dia datang membawakanku air mineral bersama dengan totebag dan juga tupperwear yang sudah ia cuci. Ia lalu menyedorkanku. "Minumlah!"
"Terima kasih." Aku kemudian mengambil gelas tersebut lalu meneguknya. Sesekali aku melihat ke arah Dareen yang cukup berantakan. Biasanya dia berpenampilan sangat rapi. Dari wajahnya juga terlihat seperti banyak pikiran. Sepertinya memang begitu, buktinya semalam dia sampai minum-minum. Aku penasaran hal apa yang membuatnya begitu banyak pikiran. Gavin bilang Dareen minum sambil menyebut-nyebut namaku. Tapi rasanya tidak mungkin, lagian permasalahan kami hanyalah masalah sepele.
"Kenapa kau melihat-lihatku?" Aku tersedak mendengar Dareen. Aku merasa malu seperti ketahuan mencuri saja.
Dareen kemudian menepuk-nepuk pundakku, membantuku yang batuk karena tersedak. "Kenapa kau suka sekali tersedak."
"Kau membuatku kaget."
"Aku hanya bertanya, bukan mengagetkanmu."
Dia lalu menyedorkan kembali air minum kepadaku. "Minumlah, untuk menetralkannya."
"Terima kasih," ucapku kepadanya. Setelah selesai meminumnya, aku kembali meletakkan gelas itu di meja.
Aku kemudian beralih menatap Dareen. "Dareen, aku ingin bertanya."
"Bertanya soal apa?"
"Gavin bilang kau minum-minum semalam? Katanya kau mabuk berat. Kau sedang banyak pikiran?"
"Tidak—apa urusannya denganmu?" jawabnya datar.
"Ak—aku hanya tidak menyangka kalau kau adalah tipikal orang suka minum minuman yang beralkohol."
"Memangnya kau pikir aku orang yang seperti apa?"
Aku hanya menggeleng tidak bisa menjawabnya.
"Kau tidak tahu 'kan? Makanya jangan suka menilai orang terlalu cepat," ucapnya tajam.
"Maaf kalau kau merasa—"
"Merasa apa? Apa kau juga mau menyimpulkan perasaanku?!" Aku heran kenapa dia menjadi marah.
Aku memutar mataku. "Kenapa kau menjadi marah?"
"Aku tidak marah!"
"Anda membentak saya tadi!"
"Sekarang kau yang membentakku."
Aku membuang nafasku berat. "Apa kau masih marah perihal kemarin?"
Dareen hanya diam tidak menanggapi.
"Dareen, aku benar-benar minta maaf. Tapi dengar dulu penjelasanku, aku bukannya merasa tidak nyaman denganmu. Aku merasa tidak enak."
"Tidak enak kenapa?"
"Aku merasa tidak enak jika kita terlihat terlalu sering bersama di area kampus atau sekitaran kampus terlebih masih jam kuliah dan juga kita tidak membahas permasalahan kuliah. Aku ini hanya mahasiswimu. Aku hanya khawatir kalau ada berita yang menjelek-jelekkanmu. Meskipun aku ini adik temanmu."
"Aku tidak berteman dengan Gavin!"
"Gavin bilang kalian cukup akrab dan juga dia yang mengantarmu pulang semalam."
Dareen kembali diam.
"Dareen, aku minta maaf. Aku tidak pernah ada maksud untuk berbohong denganmu."
Dia mengangguk seraya berdehem. "Asal kau tahu saja aku makan dengan Jules itu kebetulan."
Aku bingung kenapa Dareen mengatakan hal itu, aku memang sempat menyinggungnya waktu itu tapi bukan berarti aku mempermasalahkannya. Kini dia berkata seakan-akan melakukan klarifikasi terhadapku.
~~oo~~
Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan. Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku. "Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua. "Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadan
Ketika aku sibuk mengerjakan tugas pendataan mahasiswa milik Dareen, aku tiba-tiba mendengar suara Alex yang menangis dengan kencang. Aku langsung berlari menuju kamarnya. Sesampaiku di kamarnya, terlihat Alex sudah tergeletak di lantai. Kutebak, sepertinya Alex terjatuh dari tempat tidur. Aku lalu menggendongnya sambil menenangkannya. "Hust.. diamlah,auntydi sini sayang." Alex semakin menangis dengan kencang. Aku kemudian mengusap punggung dan sesekali menepu-nepukknya agar ia tenang. "Ada apa, Amanda? Alex kenapa?" tanya paman James langsung dengan khawatir, begitu ia ada di kamar Alex. Di belakangnya ada ibu dan juga Dareen. "Sepertinya Alex jatuh," jawabku yang masih berusaha menenangkan Alex. "Apa dia baik-baik saja?" tanya ibu.
Alex tak henti-hentinya tertawa begitu aku membantunya bermain ayunan. Dareen pergi membeli minuman untuk kami berdua. Setelah puas dengan bermain ayunan kini Alex menuju ke arah seluncuran. Memang taman dekat rumahku begitu dilengkapi dengan arena permaian anak. Tidak lama kemudian Dareen sudah datang. Dia lalu memberiku air botol mineral, dia juga membawa permen kapas yang dia belikan untuk Alex. Alex terlihat senang menerima permen kapas dari Dareen. "Kenapa kau memberinya permen?" protesku. "Memangnya kenapa?" tanyanya datar tanpa ada rasa bersalah sama sekali. "Tentu tidak bisa, itu kurang baik untuk gizinya sama pertumbuhan giginya," jawabku yang sedikit kesal. Enak saja dia ingin memberi Alex makanan tidak sehat.
"Cukup sekian kelas hari ini. Jangan lupa minggu depan kita ada kuis. Bagi yang belum menyelesaikan tugas segera selesaikan sebelum hari kuis," kata Mr. Taka yang kemudian berlalu keluar dari kelas. Aku merenggangkan badanku, dua jam mendengar ceramah yang begitu kaku membuatku begitu mengantuk. Dan juga dia termasuk dosen yang sangat keras. Di kelasnya, kami tidak bisa melakukan apapun selain memperhatikan dirinya berceramah. "Mr. Taka sudah tua, buncit, botak, menyebalkan lagi." Jessica mencacinya. Ia masih menyimpan dendam kepada Mr. Taka mengingat semester lalu dia hampir saja tidak lulus di kelas Mr. Taka hanya karena dia lupa mensenyapkan ponselnya. "Meskipun begitu, tapi kau takut tidak lulus di kelasnya 'kan?" timpalku. "S
Selepas selesai makan, aku tidak langsung pulang. Kami berjalan-jalan ke salah satu mall di New York. Jessica ingin membeli beberapa pakaian baru, ia betul-betul memanfaatkan Noah begitu Noah bilang akan mengikuti kemauan Jessica seharian ini. Sementara, aku kini menemani Jessica memilih pakaian yang cocok padanya. Terlihat juga dari kejauhan Zion dan Noah sedang berbicara. Mereka mungkin sedikit bosan menemani wanita berbelanja. Terlebih Jessica, memilih satu pakaian saja prosesnya sangat lama. "Ayolah Jessica, kau sudah setengah jam hanya karena memilih warna," keluhku kepadanya. Dari tadi dia hanya bingung ingin memilih antara warna putih atau abu-abu. Aku sudah memberikan saranku, namun dia terlihat semakin bingung. "Aku harus pastikan yang benar-benar cocok di tubuh seksiku ini." Jessica berkata dengan penuh percaya diri.
Aku membuka mataku merasa cahaya matahari pagi menembus jendelaku. Kulihat ibu membuka tirai jendelaku. Aku mengucek mataku lalu mendudukkan diriku. Kepalaku terasa berat, semalam aku tidak bisa tidur memikirkan kata-kata Dareen. Setelah aksi teriak meneriaki, aku langsung pulang begitu saja. Semalam aku lebih memilih pulang naik taksi, rasanya ada yang tidak beres antara aku dengan Dareen jika terus bersama. "Ayo bangun lalu mandi putri tidur," titah ibu kepadaku. "Ibu kenapa cepat sekali membangunkanku, aku masih mengantuk," gumamku lalu kembali membaringkan tubuhku di kasir. Hari ini aku kelas siang, tidak ada salahnya jika aku terlambat bangun. Ibu langsung menarikku. "Hei, bangun. Tidak baik anak gadis lama bangun. Nanti jodohmu lama terbuka."
--Seperti api yang mampu memberikan cahaya dan juga kehangatan, tapi ada rasa takut jika api itu juga akan menjadi sebuah rasa panas lalu membakarku.-- Sudah satu minggu ini aku menghindari Dareen, bahkan ketika di kelasnya aku tidak berani untuk kontak mata dengannya. Dia pun juga sepertinya merasa jika aku menghindarinya, terlihat jelas kalau dia juga mulai sedikit tidak banyak bicara denganku. Tapi, entah mengapa aku selalu merasa ada mengganjal jika melihatnya. Aku bukan menolak Dareen karena dia tidak menarik, hanya saja hati ini memang telah menutup dari segala perasaan orang lain. Dareen adalah lelaki yang mapan, tampan, dan juga baik meskipun beberapa kali dia begitu menyebalkan. Aku hanya tidak bisa lagi percaya, aku telah melihat orang-orang yang hancur karena kekecewaan termasuk diriku.
"Inipopcornmu," kata Zion lalu memberikanku sebuahpopcorn. Aku dengan terpaksa harus ikut dengan mereka menonton film. Setelah pulang dari kampus, tidak lama kemudian Zion telah menjemputku. "Kau sebenarnya ada masalah apa dengan Mr. Ivander. Belakangan ini aku sering melihatmu bersama," tanya Jessica yang mengambil tempat di sampingku. Film masih akan dimulai sekitar tiga puluh menit lagi. "Ada beberapa tugas." Jessica manggut-manggut. "Tugas seperti apa?" "Seperti.." Aku menjeda perkataanku seraya berpikir jawaban apa yang harus kuberikan, tidak mungkin aku bilang kalau Dareen sudah menyatakan perasaannya kepadaku. "Dia adalah teman kakakku, jadi
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun. “Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku. “Tunggu,” katanya. “Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.” “Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut. “Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.” “Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku. Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?” Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.” “Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi. Aku menggeleng. “
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu dan Mr. Ivander?” tanya Jessica. Saat ini aku sedang berada di apartemen Jessica. Sebenarnya, tidak ada yang perlu kuselesaikan dengannya. Aku hanya beralasan dengan Dareen kalau aku mempunyai urusan penting dengan Jessica. Aku tahu, jika aku tidak berbohong seperti tadi kemungkinan ia akan semakin menahanku. Akhirnya aku mengetahu kalau selama ini Dareen berada di Kanada, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin dia pergi menghabiskan waktu atau bermulan madu sekalian dengan Jules. Itu sangat membuatku tidak tenang. Tadi dirinya memberikan sebuah kalung mapple kepadaku. Kalung itu sangat indah, rasanya ada rasa penyesalan karena menolaknya. Tapi, aku mempertahankan harga diriku. Aku tidak ingin termakan cinta buaya lagi. Butuh waktu lama untuk sembuh dari luka yang kudapatkan dan aku tidak ingin membuat luka baru lagi karena pada akhirnya hanya akulah yang akan tersakiti. “Amanda?!” panggil Jessica lagi
“Amanda, lanjutkan makanmu. Kenapa kau diam saja?” tanya Jessica menyadarkanku dari lamunanku. Aku kemudian hanya mengangguk seraya melanjutkan makan siangku. “Apa kau baik saja-saja?” Ia kembali bertanya. Apa aku harus bilang kalau aku tidak baik-baik saja melihat Dareen sedang menikmati waktu berdua dengan wanita itu. Aku juga bingung kenapa aku sangat merasa terganggu dengan hal itu. “Aku baik-baik saja,” jawabku akhirnya. Kami pun kembali diam seraya menikmati makan kami. Meski aku tidak begitu menikmatinya karena ada 2 belalang di sekitarku. Mungkin Dareen dan Jules tidak melihat kami, sehingga dari kejauhan dapat kulihat kalau mereka sedang berbicara serius. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua belalang itu, mungkin mereka sedang membicarakan masa depan mereka. Memangnya apa peduli ku. “Ayo, kita pergi. Aku sudah selesai.” Jessica berkata seraya beranjak dari tempatnya. Aku pun mengikutinya. Kali ini kami akan mele
Aku bangun dari tidurku, merasa sekujur tubuhku terasa pegal. Yah, semalam adalah acara ulang tahun yang melelahkan untuk ukuran orang yang sudah berumur. Paman James, Gavin, dan Dareen menggila karena mereka terlalu banyak minum. Sehingga, rumah kami menjadi berantakan dan aku yang harus bertanggung jawab untuk membereskan semua itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, aku pun segera turun. Di ruang tengah tampak amat berantakan. Terlihat juga Dareen yang tertidur di sofa lalu di lantai ada Gavin. Sementara paman, mungkin ia sudah diseret oleh ibu ke kamarnya. Aku berjalan menuju Dareen, berencana membangunkannya. Mungkin hari ini ia mempunyai jadwal mengajar. “Dareen, bangunlah! Sudah jam 8 pagi. Apa kau tidak punya jadwal kelas hari ini?” kataku sembari menepuk-nepuk bahunya. Namun, yang ditepuk masih tertidur pulas. Aku kembali mencoba membangunkannya, kali ini aku menariknya dengan keras
Dareen terus mengelus kepalaku, ia juga semakin mengeratkan pelukannya. Aku? Aku masih diam, sungguh sekarang sangat nyaman berada dalam pelukannya, rasanya biarlah dulu seperti ini. “Sampai kapan kau akan terus memelukku seperti ini?” tanyaku. “Sampai aku merasa puas.” Dia semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa kata “puas” begitu ambigu di telinga aku. Apa dia tidak tahu kalau sekarang wajahku begitu merah seperti kepiting rebus. “Apa kau lupa sekitar sejam yang lalu kau membentak dan mempermalukanku di depan kelas.” Dareen kemudian melepas pelukannya lalu kedua tangannya menangkup wajahku. Sorot matanya begitu damai menatapku dan hal itu membuatku terbang. “Maafkan aku karena telah membentakmu.” “Dosen macam apa yang meminta maaf ke mahasiswanya begitu mudah.” Aku menyindirnya, aku tahu biar bagaimanapun juga diriku tetaplah salah mengenai tugasku. “Dosen yang tergila-gila dengan mahasiswanya.” “Ck! Dasar aneh,
Aku berjalan menuju perpustakaan dengan penuh kekesalan terhadap Dareen dan aku lebih kesal dengan diriku sendiri, bisa-bisanya aku merasa masuk akal dengan semua yang dia bilang seakan-akan mematahkan semua pendirianku. “Kenapa wajahmu begitu murung? Kau dari mana saja?” tanya Jessica begitu aku sampai di perpustakaan. “Tidak apa-apa. Kau sudah mengerjakan sampai mana?” “Aku sisa 15 halaman lagi. Kau juga harus mulai mengerjakannya, masih ada waktu.” Aku mengangguk dan mulai mengambil laptop dari tas ku lalu kunyalakan tapi sepertinya laptopku low battery. Aku pun segera mencari charger-nya. Tapi begitu aku mengutak-ngatik isi tasku, aku belum menemukannya. Jangan bilang kalau aku tidak membawanya. “Ada apa?” Jessica bertanya. “Aku tidak membawa charger laptop dan laptopku mati.” “Ya sudah, cepat gunakan komputer perpustakaan saja.” “Apa kau tidak lihat kalau semua komputer terpakai, bagaiman
Aku dan Dareen sedari tadi diam satu sama lain di dalam mobil. Setelah ia melontarkan pentanyaan canggung yang kupilih untuk tidak menjawabnya. Kini, dia tetap memaksaku agar dirinya mengantarku pulang ke rumah. Sungguh ini aneh sekali, biasanya dia banyak bicara. Tapi, dia hanya diam dan menampilkan wajah datar dengan rahangnya yang mengeras. Apa mungkin dia salah paham tentangku dan menjadi cemburu. Rasanya dia sudah cukup berumur untuk berada di fase seperti itu. “Hm, Dareen. Sebenarnya kau tidak perlu begitu repot mengantarku pulang.” Aku berkata basa-basi hanya untuk memecah suasana canggung ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dengan singkat, jelas, dan padat. Ya. Bisa kutebak, dia pasti mengira karena Zion lah aku tidak menerimanya. Ck! Dasar, apa dia tidak ingat sama umurnya. Tapi, biarlah mungkin dengan begitu dia akan menjauhiku. Sekali lagi kutegaskan kalau aku berada disini hanya untuk fokus dengan pendidikanku dan prioritasku hanyalah untuk ana
Aku berjalan memasuki area kampus, memakai atasan yang menutupi bagian leher. Aneh memang, memakai pakaian seperti ini padahal sekarang musim panas. Tapi, setidaknya itu lebih baik dari pada orang-orang melihat tanda di leherku. “Bammm..” Aku terlonjak kaget ketika Jessica dengan sengaja mengagetkanku. “Aku bisa jantungan,” protesku kepadanya. “Hahaha, maafkan aku. Kenapa kau terlihat lesu begitu?” “Aku hanya kebanyakan begadang.” “Ini ice cream mu, Babe.” Noah menghampiri Jessica, dia kemudian melihatku dari atas hingga bawah. “What the fuck, ada apa dengan style-mu hari ini. Apa kau tidak kepanasan? Dasar aneh!” Yahh.. dia memprotes cara berpakaianku. Jessica kemudian menatapku dengan curiga. “Apa kau menyembunyikan sesuatu?” Jessica bertanya seraya mulai menarik kerah bajuku untuk melihat. Dia mungkin curiga denganku, aku tahu Jessica adalah orang yang peka dengan keadaan wanit