“Mengantarku pulang?” ulang Juna dengan nada tanya. “Aku bisa pulang sendiri menggunakan ojek online, jangan repotkan dirimu untukku.”Juna jadi segan sendiri kalau dia malah diantarkan pulang oleh wanita, apalagi status Rinjani bukan wanita sederhana.“Kenapa? Takut istrimu marah? Apa dia cemburuan?” tanya Rinjani dengan lugas.Dalam hatinya, Juna tertawa. Wanita satu ini kenapa begitu lantang menyuarakan apa pun yang ingin diucapkan?“Bukan begitu.” Juna mencari jawaban diplomatis yang sekiranya tepat.“Apakah melukai harga diri lelakimu kalau diantar pulang perempuan?” todong Rinjani.Mau tak mau, Juna tertawa.“Ha ha ha! Kamu terlalu berpikir berlebihan, Rinjani.” Juna tak habis pikir dengan wanita di depannya.“Panggil Rin saja. Nanti aku panggil kamu Jun, yah!” Rinjani memutuskan sepihak.Juna mengangguk setuju saja.“Kamu itu ‘kan baru saja mendapatkan pengalaman tidak mengenakkan. Justru harusnya aku yang mengantar kamu pulang sampai selamat ke rumahmu, bukan sebaliknya.” Juna
Tak hanya Juna yang termangu mendengar ucapan Rinjani baru saja, Anika dan Shevia pun demikian. Mereka menatap bingung ke Rinjani dan pria bernama Rob sedang berdebat.“Dia? Dia pacarmu?” Mata pria dengan panggilan Rob itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi sambil menuding Juna dengan telunjuknya, seolah tak percaya.Juna sudah hendak membuka mulut untuk meluruskan sesuatu yang pasti benar-benar merupakan salah paham, tapi Rinjani memberi kode isyarat menggunakan matanya.“Iya, dia pacarku, kenapa? Sudahlah, Robert, lebih baik kamu jangan ganggu aku di sini, oke!” Rinjani terlihat kesal.Robert tidak mengatakan apa-apa lagi selain menatap benci ke Juna.‘Aduh! Kenapa aku harus dilibatkan?’ keluh Juna di hatinya. ‘Aku yang cuma diam begini saja akhirnya menambah musuh, bukan karena kemauanku.’Sepertinya hidup tenang memang tak ada di catatan takdir Juna.Juna memandang Robert yang pergi dengan membawa aroma marah di sekujur tubuhnya. Mau bagaimana lagi, dia sudah terlanjur dikorbankan R
Juna mematung sambil memegang ponselnya, lalu menoleh ke Anika yang terdiam. “Jun?” Rinjani bertanya dari seberang sana karena tak mendapatkan respon dari Juna. “Oh, ehem!” Juna tersadar dan berdehem sebentar untuk mengusir kebingungannya. “Bagaimana, Jun? Apakah kamu bersedia?” Rinjani bertanya. Permintaan Rinjani harus Juna pertimbangkan dulu, apakah akan menyakiti perasaan Anika atau tidak. “Rin, bukankah akan repot nantinya kalau Robert tahu aku ini sudah punya istri? Papamu juga pasti akan marah kalau tahu mengenai itu.” Juna menemukan alasan untuk berkelit dari permintaan Rinjani. Hening di seberang, menandakan Rinjani sedang berpikir. “Hm, ya sudah kalau begitu, aku besok kabur saja dulu, keluar rumah.” Rinjani sungguh enteng memutuskan perkara demikian. Setelah itu, Rinjani menyudahi telepon. Alasan yang diberikan Juna sangat masuk akal. Juna menaruh kembali ponselnya ke meja nakas dan kembali mendekat ke Anika. “Nik, itu tadi ….” “Kasihan Rinjani.” Anika tiba-tiba be
‘Po—posisi macam apa itu?’ batin Anika berteriak melihat adegan di depan mata antara Juna dan Rinjani.Rinjani berada di lantai, menghadap ke Juna yang menekan dari atas. Dua lengan Juna melakukan kuncian, sedangkan dua kaki Rinjani membelit ke leher Juna.“Ah! Sial!” teriak Rinjani ketika dia tidak berhasil membuka kuncian dari Juna.Juna bergegas bangun dari atas Rinjani sembari berkata, “Kamu hanya kurang koordinasi pada kekuatan kamu dan keyakinan mental kamu.”Tangan Juna terulur dan Rinjani meraihnya agar bisa bangun dari lantai. Melihat pemandangan semacam itu, Anika merasa ada yang berdenyut tak nyaman di hatinya.“Oh, Nik!” sapa Juna setelah sadar akan kehadiran Anika di ruangan itu.“A—aku cuma bawa minuman untuk kalian.” Anika menaruh baki yang dia pegang ke meja terdekat. Pipinya terasa panas, entah karena malu atau cemburu.Juna melihat sikap gugup An
Malam ini, Juna tidak bisa bertandang ke rumah Anika karena ada Rinjani di sana.Dia juga tidak akan tahu betapa rumit wajah Anika ketika mendengar Rinjani bertanya bagaimana jika anak pemilik bank swasta terbesar di Nusantara itu menjadi pacarnya.“Hatshyiiii!” Juna bersin mendadak.‘Hm, apa udara malam ini dingin? Sepertinya tidak.’ Dia menggumam heran dan melihat ke arah jendela, semua sudah dia tutup rapat.***“Pak Juna, selamat! Apartemen Anda langsung ludes laris dalam waktu kurang dari satu bulan!” Saini yang sedang berkunjung di kantor Juna, tak bisa menahan pujiannya.“Itu juga berkat kerja keras Pak Saini dan para tukang semuanya. Kalian mampu merealisasikan keinginan saya sehingga hasilnya sebaik itu.” Juna merendah.Saini memang bukan karyawan Juna, melainkan orang yang disewa oleh Juna untuk mengurus mengenai pembangunan apartemennya.Ketika semua unit apartemen itu
“Hah?” Juna tak bisa menahan suaranya untuk memekik kaget.Sedangkan Anika menaikkan kedua alisnya dengan raut wajah terkejut.“Iya, Jun! Ya ampun, tadi itu papaku.” Rinjani mendekat ke Juna disertai wajah tegang dan sikap panik.“Memangnya tadi kamu bicara apa saja dengan papamu?” tanya Juna sambil terus memandangi wajah panik Rinjani.Rinjani menarik napas terlebih dahulu sebelum dia berkata, “Aku berkata kalau aku tidak ingin jadi istrinya Robert, karena aku sudah punya orang yang aku sukai.”Mendengar cerita Rinjani, Juna sudah bisa menebak alur berikutnya.“Lalu papaku tanya, siapa orangnya. Aku bilang kalau papa mungkin kenal dengan orangnya dan dia memaksa ingin bertemu kamu.” Rinjani belum bisa tenang.Wanita itu malah berdiri gelisah di antara Juna dan Anika.“Jun, kamu besok bisa meluangkan waktu sebentar untuk bertemu papaku, ‘kan?” pinta Rinjani dengan wajah memelas ke Juna.“Hm, aku tidak bisa menjanjikan itu padamu karena aku memiliki jadwalku sendiri.” Juna mengelak.Me
Juna tak siap dengan pertanyaan semacam itu. Begitu lugas! Apakah anak dan bapak memang sama-sama frontal ketika berbicara?‘Pantas saja! Tak heran Rinjani seperti itu cara bicaranya. Tsk!’ batin Juna sebelum menghela napas, memperluas lautan kesabarannya.“Dia teman yang menyenangkan. Mana mungkin saya tidak menyukainya, Pak.” Juna memilih kalimat diplomatis.Namun, kening Dharma mengerut, mengisyaratkan ketidakpuasan pria itu atas jawaban Juna.“Yang aku maksud bukan sebagai teman, tapi hubungan pria dan wanita. Kamu tentu paham arah yang aku bicarakan.” Dharma bicara.Juna mengutuk di hatinya, ‘Astaga, Pak! Tidak bisakah pelan-pelan dulu?’“Papa!” Rinjani merengek protes ke ayahnya.Rinjani sempat melihat adanya nuansa ketidaknyamanan pada ekspresi wajah Juna dengan pertanyaan ayahnya.“Kenapa? Papa hanya ingin mengetahui jelas dengan hubungan kalian. Kalau in
Juna sedikit terkejut dengan ucapan ayah mertuanya. Apakah dia harus membuka mengenai perselingkuhan istrinya?“Sepertinya tidak begitu, Pa.” Juna memilih untuk berpihak pada Lenita agar istrinya tidak mengganggu hidupnya.Lagipula, dia juga sudah berjanji ke kekasih gelap Lenita untuk tidak membuka mengenai hubungan tabu mereka ke Hartono atau Lenita akan dimiskinkan.“Tapi kenapa tingkah dia begitu? Jarang pulang, sering pergi seharian sampai malam. Bukan bersama kamu, pula!” Hartono masih menyangsikannya.Juna harus memilih jawaban terbaik agar ayah mertuanya tenang dan tak lagi curiga.“Mungkin ini pengaruh hormon kehamilan dia, Pa.” Juna memulai. “Dia sering berkabar melalui chat ke aku setiap beberapa jam sekali, kok Pa. Dia sedang senang bersama kawan-kawan dekatnya. Mungkin itu menenangkan untuknya.”Hartono terdiam sejenak, pandangannya terarah ke lantai untuk sekian detik.&ldq