Tak hanya Juna yang termangu mendengar ucapan Rinjani baru saja, Anika dan Shevia pun demikian. Mereka menatap bingung ke Rinjani dan pria bernama Rob sedang berdebat.“Dia? Dia pacarmu?” Mata pria dengan panggilan Rob itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi sambil menuding Juna dengan telunjuknya, seolah tak percaya.Juna sudah hendak membuka mulut untuk meluruskan sesuatu yang pasti benar-benar merupakan salah paham, tapi Rinjani memberi kode isyarat menggunakan matanya.“Iya, dia pacarku, kenapa? Sudahlah, Robert, lebih baik kamu jangan ganggu aku di sini, oke!” Rinjani terlihat kesal.Robert tidak mengatakan apa-apa lagi selain menatap benci ke Juna.‘Aduh! Kenapa aku harus dilibatkan?’ keluh Juna di hatinya. ‘Aku yang cuma diam begini saja akhirnya menambah musuh, bukan karena kemauanku.’Sepertinya hidup tenang memang tak ada di catatan takdir Juna.Juna memandang Robert yang pergi dengan membawa aroma marah di sekujur tubuhnya. Mau bagaimana lagi, dia sudah terlanjur dikorbankan R
Juna mematung sambil memegang ponselnya, lalu menoleh ke Anika yang terdiam. “Jun?” Rinjani bertanya dari seberang sana karena tak mendapatkan respon dari Juna. “Oh, ehem!” Juna tersadar dan berdehem sebentar untuk mengusir kebingungannya. “Bagaimana, Jun? Apakah kamu bersedia?” Rinjani bertanya. Permintaan Rinjani harus Juna pertimbangkan dulu, apakah akan menyakiti perasaan Anika atau tidak. “Rin, bukankah akan repot nantinya kalau Robert tahu aku ini sudah punya istri? Papamu juga pasti akan marah kalau tahu mengenai itu.” Juna menemukan alasan untuk berkelit dari permintaan Rinjani. Hening di seberang, menandakan Rinjani sedang berpikir. “Hm, ya sudah kalau begitu, aku besok kabur saja dulu, keluar rumah.” Rinjani sungguh enteng memutuskan perkara demikian. Setelah itu, Rinjani menyudahi telepon. Alasan yang diberikan Juna sangat masuk akal. Juna menaruh kembali ponselnya ke meja nakas dan kembali mendekat ke Anika. “Nik, itu tadi ….” “Kasihan Rinjani.” Anika tiba-tiba be
‘Po—posisi macam apa itu?’ batin Anika berteriak melihat adegan di depan mata antara Juna dan Rinjani.Rinjani berada di lantai, menghadap ke Juna yang menekan dari atas. Dua lengan Juna melakukan kuncian, sedangkan dua kaki Rinjani membelit ke leher Juna.“Ah! Sial!” teriak Rinjani ketika dia tidak berhasil membuka kuncian dari Juna.Juna bergegas bangun dari atas Rinjani sembari berkata, “Kamu hanya kurang koordinasi pada kekuatan kamu dan keyakinan mental kamu.”Tangan Juna terulur dan Rinjani meraihnya agar bisa bangun dari lantai. Melihat pemandangan semacam itu, Anika merasa ada yang berdenyut tak nyaman di hatinya.“Oh, Nik!” sapa Juna setelah sadar akan kehadiran Anika di ruangan itu.“A—aku cuma bawa minuman untuk kalian.” Anika menaruh baki yang dia pegang ke meja terdekat. Pipinya terasa panas, entah karena malu atau cemburu.Juna melihat sikap gugup An
Malam ini, Juna tidak bisa bertandang ke rumah Anika karena ada Rinjani di sana.Dia juga tidak akan tahu betapa rumit wajah Anika ketika mendengar Rinjani bertanya bagaimana jika anak pemilik bank swasta terbesar di Nusantara itu menjadi pacarnya.“Hatshyiiii!” Juna bersin mendadak.‘Hm, apa udara malam ini dingin? Sepertinya tidak.’ Dia menggumam heran dan melihat ke arah jendela, semua sudah dia tutup rapat.***“Pak Juna, selamat! Apartemen Anda langsung ludes laris dalam waktu kurang dari satu bulan!” Saini yang sedang berkunjung di kantor Juna, tak bisa menahan pujiannya.“Itu juga berkat kerja keras Pak Saini dan para tukang semuanya. Kalian mampu merealisasikan keinginan saya sehingga hasilnya sebaik itu.” Juna merendah.Saini memang bukan karyawan Juna, melainkan orang yang disewa oleh Juna untuk mengurus mengenai pembangunan apartemennya.Ketika semua unit apartemen itu
“Hah?” Juna tak bisa menahan suaranya untuk memekik kaget.Sedangkan Anika menaikkan kedua alisnya dengan raut wajah terkejut.“Iya, Jun! Ya ampun, tadi itu papaku.” Rinjani mendekat ke Juna disertai wajah tegang dan sikap panik.“Memangnya tadi kamu bicara apa saja dengan papamu?” tanya Juna sambil terus memandangi wajah panik Rinjani.Rinjani menarik napas terlebih dahulu sebelum dia berkata, “Aku berkata kalau aku tidak ingin jadi istrinya Robert, karena aku sudah punya orang yang aku sukai.”Mendengar cerita Rinjani, Juna sudah bisa menebak alur berikutnya.“Lalu papaku tanya, siapa orangnya. Aku bilang kalau papa mungkin kenal dengan orangnya dan dia memaksa ingin bertemu kamu.” Rinjani belum bisa tenang.Wanita itu malah berdiri gelisah di antara Juna dan Anika.“Jun, kamu besok bisa meluangkan waktu sebentar untuk bertemu papaku, ‘kan?” pinta Rinjani dengan wajah memelas ke Juna.“Hm, aku tidak bisa menjanjikan itu padamu karena aku memiliki jadwalku sendiri.” Juna mengelak.Me
Juna tak siap dengan pertanyaan semacam itu. Begitu lugas! Apakah anak dan bapak memang sama-sama frontal ketika berbicara?‘Pantas saja! Tak heran Rinjani seperti itu cara bicaranya. Tsk!’ batin Juna sebelum menghela napas, memperluas lautan kesabarannya.“Dia teman yang menyenangkan. Mana mungkin saya tidak menyukainya, Pak.” Juna memilih kalimat diplomatis.Namun, kening Dharma mengerut, mengisyaratkan ketidakpuasan pria itu atas jawaban Juna.“Yang aku maksud bukan sebagai teman, tapi hubungan pria dan wanita. Kamu tentu paham arah yang aku bicarakan.” Dharma bicara.Juna mengutuk di hatinya, ‘Astaga, Pak! Tidak bisakah pelan-pelan dulu?’“Papa!” Rinjani merengek protes ke ayahnya.Rinjani sempat melihat adanya nuansa ketidaknyamanan pada ekspresi wajah Juna dengan pertanyaan ayahnya.“Kenapa? Papa hanya ingin mengetahui jelas dengan hubungan kalian. Kalau in
Juna sedikit terkejut dengan ucapan ayah mertuanya. Apakah dia harus membuka mengenai perselingkuhan istrinya?“Sepertinya tidak begitu, Pa.” Juna memilih untuk berpihak pada Lenita agar istrinya tidak mengganggu hidupnya.Lagipula, dia juga sudah berjanji ke kekasih gelap Lenita untuk tidak membuka mengenai hubungan tabu mereka ke Hartono atau Lenita akan dimiskinkan.“Tapi kenapa tingkah dia begitu? Jarang pulang, sering pergi seharian sampai malam. Bukan bersama kamu, pula!” Hartono masih menyangsikannya.Juna harus memilih jawaban terbaik agar ayah mertuanya tenang dan tak lagi curiga.“Mungkin ini pengaruh hormon kehamilan dia, Pa.” Juna memulai. “Dia sering berkabar melalui chat ke aku setiap beberapa jam sekali, kok Pa. Dia sedang senang bersama kawan-kawan dekatnya. Mungkin itu menenangkan untuknya.”Hartono terdiam sejenak, pandangannya terarah ke lantai untuk sekian detik.&ldq
Juna menjejakkan kakinya di rumah Leila atas undangan Lenita, istrinya. Ketika dia disambut sang istri dengan wajah cemberut, dia sudah tidak kaget lagi.“Halo, Istri,” sapa Juna sambil tersenyum menggoda.Mata jenaka Juna bertemu tatapan sengit Lenita, lalu dia beralih ke Wildan di sebelah Lenita.“Halo, selingkuhan Istri.” Juna tak lupa menyertakan Wildan pula dalam sapaan sindiran dia.“Tidak usah sok keren dengan menyapa seperti itu!” Lenita langsung memberikan sentakan suaranya.Namun, Juna menanggapi dengan cengiran, merasa geli sendiri di hati.‘Kalau dari dulu kamu mengaku punya selingkuhan begini, ‘kan semuanya bisa lebih enak dibicarakan. Aku tak perlu jumpalitan menemui Anika.’ Juna membatin.Wildan mempersilahkan Juna duduk di ruang tamu. Mereka bertiga bersiap untuk bicara.“Jadi, akan ngobrol apa kita hari ini?” tanya Juna membuka awalan.&ld
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug
“Semua sudah usai?” Juna terengah-engah sambil menanyakan itu pada dirinya sendiri meski itu sebuah gumaman rendah. Anika bergegas terbang ke suaminya dan menyebelahinya di angkasa. Sedangkan Juna mulai merasakan armor yang melingkupi tubuhnya mulai memudar hilang secara perlahan. “Mas … semua sudah selesai. Pertarungan telah Mas menangkan.” Anika tersenyum lembut. Benar, semua sudah usai. Segala ancaman bahaya dan mimpi buruk yang pernah ditakutkan Anika, yang telah menjadi momok baginya selama beberapa minggu ini sekarang lenyap. Seakan batu besar yang mengimpit dada Anika, kini telah terangkat dengan kematian Lexus. Juna menengok ke istrinya sembari dia ikut tersenyum. “Kita yang memenangkan ini, Nik. Kita. Bukan aku saja. Kau, dan semua yang lainnya.” Tentu saja dia tidak boleh mengambil semua kredit yang ada. Bergegas, tangan Juna meraih Anika untuk memeluk wanita itu sembari hatinya berucap syukur pada semesta dan penciptanya yang telah memberikan restu sehingga dia bisa m
“Hm?” Juna mendadak saja merasakan dirinya menjadi lebih bertenaga, energi murninya melonjak tinggi.Setelah dia berpikir cepat, dia merasakan adanya energi dari Shevia dan Rinjani.‘Ternyata mereka.’ Juna tersenyum setelah memahami dari mana energi tambahan untuknya datang secara tak terduga.Saat ini, pedang di tangan Juna menebas tegas ke depan sehingga dengan cepat menyebabkan udara mengalir berputar mengakibatkan munculnya pusaran udara hanya dari ayunan pedang tersebut.Wusshh!Kibasan pedang Juna memicu beberapa ledakan bunyi memekakkan telinga ketika gelombang udara yang tadinya hanya memunculkan pusaran angin, kini berubah menjadi badai, menyapu udara di sekitar Lexus.Energi petir beserta angin badai dari kibasan pedang Juna menyerbu ke Lexus, bagaikan ular raksasa membuka mulutnya hendak menelan Lexus untuk mengunyahnya menjadi ketiadaaan.“Jangan harap semudah itu!” seru Lexus ketika dia juga mengibaskan pedang api hitam di tangannya sehingga energi api miliknya bertabraka
“Jangan sombong dulu, manusia bangs4t!” teriak Lexus pada Juna. “Jangan kau kira karena kau memiliki zirah itu maka kau bisa sekuat aku!”Lexus merobek udara hampa dan mengempaskan angin panas yang bisa membakar kulit manusia biasa dengan segera meski hanya dari hempasan anginnya saja.Juna tidak gentar meski fisik Lexus sudah semirip iblis. Dia memiliki banyak dendam terhadap sosok di depannya. “Kau yang akan berakhir mengenaskan, Lexus!”Zirah di tangan Juna mengumpulkan energi murni yang kini bermuatan energi keilahian.Dhuaarr!Ketika pukulan Juna bertabrakan dengan tinju iblis Lexus, mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang. Tapi Juna lekas menerjang maju lagi, tak memberi kesempatan Lexus untuk menarik napas berikutnya.“Kau sudah tak sabar mati, hah?” teriak Lexus sambil mendorongkan energi iblisnya ke arah Juna.Tangan berzirah Juna menangkap kepalan tangan Lexus dan mendorongnya ke samping agar dia bisa menyarangkan tinju di tangan lain ke tubuh Lexus.Dhaakk!Betapa kag