Juna tak siap dengan pertanyaan semacam itu. Begitu lugas! Apakah anak dan bapak memang sama-sama frontal ketika berbicara?
‘Pantas saja! Tak heran Rinjani seperti itu cara bicaranya. Tsk!’ batin Juna sebelum menghela napas, memperluas lautan kesabarannya.
“Dia teman yang menyenangkan. Mana mungkin saya tidak menyukainya, Pak.” Juna memilih kalimat diplomatis.
Namun, kening Dharma mengerut, mengisyaratkan ketidakpuasan pria itu atas jawaban Juna.
“Yang aku maksud bukan sebagai teman, tapi hubungan pria dan wanita. Kamu tentu paham arah yang aku bicarakan.” Dharma bicara.
Juna mengutuk di hatinya, ‘Astaga, Pak! Tidak bisakah pelan-pelan dulu?’
“Papa!” Rinjani merengek protes ke ayahnya.
Rinjani sempat melihat adanya nuansa ketidaknyamanan pada ekspresi wajah Juna dengan pertanyaan ayahnya.
“Kenapa? Papa hanya ingin mengetahui jelas dengan hubungan kalian. Kalau in
Juna sedikit terkejut dengan ucapan ayah mertuanya. Apakah dia harus membuka mengenai perselingkuhan istrinya?“Sepertinya tidak begitu, Pa.” Juna memilih untuk berpihak pada Lenita agar istrinya tidak mengganggu hidupnya.Lagipula, dia juga sudah berjanji ke kekasih gelap Lenita untuk tidak membuka mengenai hubungan tabu mereka ke Hartono atau Lenita akan dimiskinkan.“Tapi kenapa tingkah dia begitu? Jarang pulang, sering pergi seharian sampai malam. Bukan bersama kamu, pula!” Hartono masih menyangsikannya.Juna harus memilih jawaban terbaik agar ayah mertuanya tenang dan tak lagi curiga.“Mungkin ini pengaruh hormon kehamilan dia, Pa.” Juna memulai. “Dia sering berkabar melalui chat ke aku setiap beberapa jam sekali, kok Pa. Dia sedang senang bersama kawan-kawan dekatnya. Mungkin itu menenangkan untuknya.”Hartono terdiam sejenak, pandangannya terarah ke lantai untuk sekian detik.&ldq
Juna menjejakkan kakinya di rumah Leila atas undangan Lenita, istrinya. Ketika dia disambut sang istri dengan wajah cemberut, dia sudah tidak kaget lagi.“Halo, Istri,” sapa Juna sambil tersenyum menggoda.Mata jenaka Juna bertemu tatapan sengit Lenita, lalu dia beralih ke Wildan di sebelah Lenita.“Halo, selingkuhan Istri.” Juna tak lupa menyertakan Wildan pula dalam sapaan sindiran dia.“Tidak usah sok keren dengan menyapa seperti itu!” Lenita langsung memberikan sentakan suaranya.Namun, Juna menanggapi dengan cengiran, merasa geli sendiri di hati.‘Kalau dari dulu kamu mengaku punya selingkuhan begini, ‘kan semuanya bisa lebih enak dibicarakan. Aku tak perlu jumpalitan menemui Anika.’ Juna membatin.Wildan mempersilahkan Juna duduk di ruang tamu. Mereka bertiga bersiap untuk bicara.“Jadi, akan ngobrol apa kita hari ini?” tanya Juna membuka awalan.&ld
Ketika tiba di salah satu minimarket Jozmart milik Anika, Juna melihat sudah ada kerumunan dan keributan di sana. Suara orang-orang marah juga menguasai situasi.“Lalu ini! Kenapa ini sudah mendekati tanggal kadaluarsa masih saja dijual, dipajang di sini? Ingin meracuni konsumen? Ingin membunuh pelanggan sendiri?” Seorang lelaki dengan tubuh besar membanting sekantong roti tawar ke lantai lalu menginjaknya dengan bengis.Orang-orang yang menonton terus berbisik-bisik melihat kejadian itu. Juna menerobos kerumunan dan melihat ada 5 pria bertubuh besar seperti preman yang sedang mengacak-acak barang dagangan di rak-rak.“Bukannya roti yang bagus memang biasanya hanya punya masa kadaluarsa singkat? Artinya tak pakai banyak pengawet!” bisik seorang penonton yang disetujui kawan di sebelahnya.Sementara itu, Anika berdiri di belakang dan dilindungi beberapa pegawainya. Terlihat wajah sedih Anika di sana.“Heh! Jangan sembar
“Yah, aku sudah dapat siapa dalang yang membuat kekacauan di Jozmart.” Juna sudah yakin.Dia menatap Anika yang diam menunggu dia mengungkapkannya.“Hamid. Bapaknya Shevia.” Juna tidak menutupi identitas Hamid.Mata Anika membelalak kaget. “Ba—bapaknya Shevia?”Wajar bila Anika kaget karena menurutnya, hubungan dia dengan Shevia baik-baik saja. Kenapa ayahnya membuat masalah dengannya?“Hgh ….” Juna menghela napas. Mungkin sudah waktunya dia memberitahu Anika. “Nik sayang.”Tangan Juna masih memeluk Anika yang duduk di pangkuannya tanpa ingin melepaskannya.“Hamid ingin aku dan Shevia jadi pasangan.” Juna mengawali.Anika semakin termangu menatap Juna.“Mas, serius?” Bukannya Anika tak memercayai apa yang dikatakan Juna, melainkan dia ingin memastikan itu benar adanya.Juna mengangguk. Kemudian, dia menceritakan mengenai apa yang dia ketahui tentang rencana dan intrik Hamid padanya menggunakan Shevia sebagai senjatanya.Di tempat lain, Lenita sedang memandangi lembaran kertas berisi p
"Membalas Hamid, Mas?" Anika terkejut dengan rencana Juna. "Memangnya itu ... tidak apa-apa? Nanti kalau terjadi apa-apa, bagaimana? Kasihan, Mas. Kasihan Shevia juga." Juna tersenyum sembari menatap Anika. Wanita pujaannya itu sungguh seorang yang berhati lembut, bahkan pada orang yang telah berbuat kejam padanya. "Aku tidak akan terlalu kejam membalasnya, Nik sayang. Jangan khawatir, yah!" Juna menenangkan Anika sambil tangannya mengelus sayang pipi pujaannya. "Apa aku sudah boleh melakukan meditasiku sekarang?" Anika mengangguk membolehkan. Juna segera duduk bersila di atas sofa ruang tamu dan memejamkan mata, berkonsentrasi. Pecahan jiwanya yang ada di dekat Anika dia kirimkan ke tempat lain. Di rumahnya, Hamid terpekik kaget ketika dia melihat sosok makhluk astral mengerikan ada di kamar ketika hendak masuk. Sementara Hamid sedang sibuk berteriak-teriak horor, Juna sedang berbicara pada jin astral lainnya, di sebuah gudang yang ma
Juna termangu mendengar percakapan dua orang di bawah sana ketika dia sedang mengintip dari atap.‘Hah? Apa mereka bilang?’ Juna sampai ingin merobohkan atap untuk lekas memaksa mereka mengungkapkan semuanya, khawatir jika dia salah dengar.“Iya, sih, hanya mati suri, tidak mati seperti yang kita harapkan.” Lenita menyahut. “Itulah kenapa aku kesal sekali sewaktu dia malah bangun setelah hendak dibawa ke pemakaman.”Juna semakin membeku di atap mendengar celotehan istrinya.‘Tunggu! Tunggu! Jadi … kematian pemilik tubuh ini, rencana busuk mereka?’ Ini kesimpulan Juna.Napasnya memburu karena amarah.‘Jahat sekali kamu, Len! Jika aku tidak masuk ke tubuh ini, maka Arjuna yang asli benar-benar kamu lenyapkan selamanya sampai ke tubuhnya juga!’Mendadak saja, Juna merasa iba mendalam atas Arjuna.‘Dia lelaki bodoh yang terlalu memercayai istrinya dan berujung kematian oleh orang yang sangat dia cintai. Tragis!’ batin Juna dengan tangan mengepal, geram.“Nanti akan aku pikirkan cara melen
Juna harus memberikan kalimat pancingan dibumbui umpan-umpan agar Wildan bersedia memuntahkan semua yang ingin dia rekam.“Oh! Jadi itu semua demi supaya toko dan warisan dari papanya tidak diambil dari Lenita?” Juna ingin memastikan saja.Wildan mengangguk lemah. Dia sudah mirip kambing hendak disembelih.“Iya, maka dari itu, Nita nekat ingin melenyapkan kamu selamanya karena dia bilang, dia jijik melihatmu yang selalu ingin menempeli dia. Dia malu punya suami sepertimu. Um, maaf, aku hanya mengulang ucapan Nita mengenai kamu.” Wildan tertunduk takut.Juna mengangguk-anggukkan kepala.“Jadi itu alasan kenapa kalian tega membunuhku meski gagal.” Juna terus menatap Wildan di depannya.Tidak dipungkiri, Juna murka meski dia masih bisa menahan gelegak emosinya. Kalau tidak, mungkin kepala Wildan sudah pecah sejak tadi.“Apalagi, Nita sudah membuatkan asuransi jiwa untukmu 6 bulan sebelum kejadian itu, dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan dari kecelakaanmu.” Wildan menambahkan.Asta
Juna mengambil napas panjang mendengar permintaan Shevia.‘Itu hasil dari ulah papamu sendiri kalau kau ingin tahu, Shev,’ batin Juna.Meski begitu, Juna masih juga tetap datang ke rumah Shevia. Dia cukup bertingkah ala paranormal, berdiri diam dan menutup mata sembari dua lengan dilipat di depan dada.“Hm ….” Juna menggumam.Shevia yang ada di sebelahnya, bertanya, “Bagaimana, Jun? Apakah bisa diusir atau diminta pergi?”Ada keyakinan tebal di benak Shevia bahwa ayahnya diganggu makhluk astral. Padahal, dia merasa dirinya cukup peka akan kehadiran mereka seperti di gunung saat itu.Namun, akhir-akhir ini Shevia tidak merasakan apa pun dan tidak memahami apa yang dialami ayahnya.“Mungkin sedikit berat.” Juna menoleh ke Shevia, lalu ke Hamid dan istrinya. “Mereka banyak dan masing-masing punya alasan dan kemauannya sendiri.”“Katakan! Katakan saja apa mau mereka, asalkan mereka pergi dari sini, maka aku akan mengabulkannya!” Hamid lekas menjawab, wajahnya terlihat putus asa.Juna sena