Ketika tiba di salah satu minimarket Jozmart milik Anika, Juna melihat sudah ada kerumunan dan keributan di sana. Suara orang-orang marah juga menguasai situasi.
“Lalu ini! Kenapa ini sudah mendekati tanggal kadaluarsa masih saja dijual, dipajang di sini? Ingin meracuni konsumen? Ingin membunuh pelanggan sendiri?” Seorang lelaki dengan tubuh besar membanting sekantong roti tawar ke lantai lalu menginjaknya dengan bengis.
Orang-orang yang menonton terus berbisik-bisik melihat kejadian itu. Juna menerobos kerumunan dan melihat ada 5 pria bertubuh besar seperti preman yang sedang mengacak-acak barang dagangan di rak-rak.
“Bukannya roti yang bagus memang biasanya hanya punya masa kadaluarsa singkat? Artinya tak pakai banyak pengawet!” bisik seorang penonton yang disetujui kawan di sebelahnya.
Sementara itu, Anika berdiri di belakang dan dilindungi beberapa pegawainya. Terlihat wajah sedih Anika di sana.
“Heh! Jangan sembar
“Yah, aku sudah dapat siapa dalang yang membuat kekacauan di Jozmart.” Juna sudah yakin.Dia menatap Anika yang diam menunggu dia mengungkapkannya.“Hamid. Bapaknya Shevia.” Juna tidak menutupi identitas Hamid.Mata Anika membelalak kaget. “Ba—bapaknya Shevia?”Wajar bila Anika kaget karena menurutnya, hubungan dia dengan Shevia baik-baik saja. Kenapa ayahnya membuat masalah dengannya?“Hgh ….” Juna menghela napas. Mungkin sudah waktunya dia memberitahu Anika. “Nik sayang.”Tangan Juna masih memeluk Anika yang duduk di pangkuannya tanpa ingin melepaskannya.“Hamid ingin aku dan Shevia jadi pasangan.” Juna mengawali.Anika semakin termangu menatap Juna.“Mas, serius?” Bukannya Anika tak memercayai apa yang dikatakan Juna, melainkan dia ingin memastikan itu benar adanya.Juna mengangguk. Kemudian, dia menceritakan mengenai apa yang dia ketahui tentang rencana dan intrik Hamid padanya menggunakan Shevia sebagai senjatanya.Di tempat lain, Lenita sedang memandangi lembaran kertas berisi p
"Membalas Hamid, Mas?" Anika terkejut dengan rencana Juna. "Memangnya itu ... tidak apa-apa? Nanti kalau terjadi apa-apa, bagaimana? Kasihan, Mas. Kasihan Shevia juga." Juna tersenyum sembari menatap Anika. Wanita pujaannya itu sungguh seorang yang berhati lembut, bahkan pada orang yang telah berbuat kejam padanya. "Aku tidak akan terlalu kejam membalasnya, Nik sayang. Jangan khawatir, yah!" Juna menenangkan Anika sambil tangannya mengelus sayang pipi pujaannya. "Apa aku sudah boleh melakukan meditasiku sekarang?" Anika mengangguk membolehkan. Juna segera duduk bersila di atas sofa ruang tamu dan memejamkan mata, berkonsentrasi. Pecahan jiwanya yang ada di dekat Anika dia kirimkan ke tempat lain. Di rumahnya, Hamid terpekik kaget ketika dia melihat sosok makhluk astral mengerikan ada di kamar ketika hendak masuk. Sementara Hamid sedang sibuk berteriak-teriak horor, Juna sedang berbicara pada jin astral lainnya, di sebuah gudang yang ma
Juna termangu mendengar percakapan dua orang di bawah sana ketika dia sedang mengintip dari atap.‘Hah? Apa mereka bilang?’ Juna sampai ingin merobohkan atap untuk lekas memaksa mereka mengungkapkan semuanya, khawatir jika dia salah dengar.“Iya, sih, hanya mati suri, tidak mati seperti yang kita harapkan.” Lenita menyahut. “Itulah kenapa aku kesal sekali sewaktu dia malah bangun setelah hendak dibawa ke pemakaman.”Juna semakin membeku di atap mendengar celotehan istrinya.‘Tunggu! Tunggu! Jadi … kematian pemilik tubuh ini, rencana busuk mereka?’ Ini kesimpulan Juna.Napasnya memburu karena amarah.‘Jahat sekali kamu, Len! Jika aku tidak masuk ke tubuh ini, maka Arjuna yang asli benar-benar kamu lenyapkan selamanya sampai ke tubuhnya juga!’Mendadak saja, Juna merasa iba mendalam atas Arjuna.‘Dia lelaki bodoh yang terlalu memercayai istrinya dan berujung kematian oleh orang yang sangat dia cintai. Tragis!’ batin Juna dengan tangan mengepal, geram.“Nanti akan aku pikirkan cara melen
Juna harus memberikan kalimat pancingan dibumbui umpan-umpan agar Wildan bersedia memuntahkan semua yang ingin dia rekam.“Oh! Jadi itu semua demi supaya toko dan warisan dari papanya tidak diambil dari Lenita?” Juna ingin memastikan saja.Wildan mengangguk lemah. Dia sudah mirip kambing hendak disembelih.“Iya, maka dari itu, Nita nekat ingin melenyapkan kamu selamanya karena dia bilang, dia jijik melihatmu yang selalu ingin menempeli dia. Dia malu punya suami sepertimu. Um, maaf, aku hanya mengulang ucapan Nita mengenai kamu.” Wildan tertunduk takut.Juna mengangguk-anggukkan kepala.“Jadi itu alasan kenapa kalian tega membunuhku meski gagal.” Juna terus menatap Wildan di depannya.Tidak dipungkiri, Juna murka meski dia masih bisa menahan gelegak emosinya. Kalau tidak, mungkin kepala Wildan sudah pecah sejak tadi.“Apalagi, Nita sudah membuatkan asuransi jiwa untukmu 6 bulan sebelum kejadian itu, dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan dari kecelakaanmu.” Wildan menambahkan.Asta
Juna mengambil napas panjang mendengar permintaan Shevia.‘Itu hasil dari ulah papamu sendiri kalau kau ingin tahu, Shev,’ batin Juna.Meski begitu, Juna masih juga tetap datang ke rumah Shevia. Dia cukup bertingkah ala paranormal, berdiri diam dan menutup mata sembari dua lengan dilipat di depan dada.“Hm ….” Juna menggumam.Shevia yang ada di sebelahnya, bertanya, “Bagaimana, Jun? Apakah bisa diusir atau diminta pergi?”Ada keyakinan tebal di benak Shevia bahwa ayahnya diganggu makhluk astral. Padahal, dia merasa dirinya cukup peka akan kehadiran mereka seperti di gunung saat itu.Namun, akhir-akhir ini Shevia tidak merasakan apa pun dan tidak memahami apa yang dialami ayahnya.“Mungkin sedikit berat.” Juna menoleh ke Shevia, lalu ke Hamid dan istrinya. “Mereka banyak dan masing-masing punya alasan dan kemauannya sendiri.”“Katakan! Katakan saja apa mau mereka, asalkan mereka pergi dari sini, maka aku akan mengabulkannya!” Hamid lekas menjawab, wajahnya terlihat putus asa.Juna sena
Mendengar ucapan disertai ekspresi menggoda Juna, Anika makin tersipu dan mencubit dada pujaannya.“Mas ini, tak boleh begitu!” rengek Anika sambil masih tersipu.“Ha ha ha! Ayo kita tidur!” Juna merebahkan Anika di sampingnya di kasur wanita itu.Anika tidak menolak, pun ketika Juna menciuminya beberapa saat dan membelai wajahnya tanpa melangkah lebih jauh dari itu.Meski itu sesuatu yang sangat menyiksa bagi Juna, tak bisa melakukan apa yang sangat ingin dia lakukan, tapi dia tetap menahan hasratnya sampai Anika bersedia.***“Jun, kamu sungguh ingin membangun gedung baru untuk apartemen?” tanya Wenti sambil menyuapi Rafa dengan bubur bayi.Dia memiliki kesempatan berbincang santai dengan Juna di akhir pekan mumpung bertemu di teras depan. Di hari lain, Juna begitu sibuk sana dan sini sampai larut malam.“Iya, Ma. Itu sudah menjadi rencanaku sejak selesai membangun gedung yang sebelumnya.” Juna sambil menggoda Rafa yang lucu.“Apakah kamu kekurangan uang? Bukannya kamu sudah ada Ken
‘Gila! Kenapa muncul ular naga begitu?’ Juna membatin sambil menenangkan dirinya. ‘Kuharap ular besar itu tidak melakukan apa-apa. Aku belum pernah berurusan dengan hewan siluman sebesar itu sebelumnya.’Namun, sepertinya ular besar itu mengetahui bahwa Juna bisa melihat keberadaannya.‘Wah, wah, manusia. Kau unik!’ Kata ular itu ke Juna menggunakan bahasa roh yang tak akan bisa didengar manusia biasa.Juna segera berpura-pura tidak melihat ke arah ular besar di depan sana. Dia tak mau banyak berurusan dengan makhluk semacam itu.‘Kenapa bertingkah seakan tidak tahu aku ini ada, manusia?’ Ular itu berkata lalu tertawa dengan suara serak dan tua.Karena sudah ketahuan begitu, Juna tak mau mengelak lagi dan dia mengirimkan suara rohnya ke ular besar.‘Maafkan sebelumnya, Nyai. Saya hanya sekedar ingin berwisata di sungai ini bersama kawan-kawan saya. Semoga Nyai tidak keberatan.’ Juna tidak mau banyak berurusan dengan jin siluman yang dia yakini sebagai penunggu sungai tersebut.Siluman
‘Gawat!’ Juna berseru di hatinya.Dia bisa merasakan energi yang mencekik langsung menyergapnya begitu Nyai Wungu tersinggung karena ulah salah satu peserta di rombongan arung jeramnya.“Woeeehh!” Banyak peserta rombongan arum jeram di perahu karet berteriak ketika mendadak saja air bergolak begitu gila.Guide meneriakkan berbagai macam arahan agar semua orang tidak panik. Sementara beberapa wanita menjerit ketakutan.“Jangan panik! Tetap fokus mengayuh dayung untuk menyelaraskan dengan riak air!” teriak guide tanpa henti.Meski begitu, siapa yang tidak panik jika tiba-tiba saja dihantam riak air ganas seperti diombang-ambing sangat keras? Mereka merasa seperti berada di suatu wahana yang memacu adrenalin, bedanya … ini di atas air dan nyata bahayanya.“Bagaimana ini? Pak! Tolong! Berhenti! Berhenti!” Seorang ibu panik bukan main.Ibu itu mengira perjalanan arung jeram yang dia ik