Share

Bab 2

Selesai mengucapkan satu kalimat itu, dia kembali mengangkat gelasnya dan meneguk minuman di dalam gelas itu hingga habis tak bersisa.

Selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah memikirkan adanya kemungkinan Jerico akan mengkhianatinya.

Saat melihat pria itu bersama wanita lain di atas ranjang, hatinya seperti tercabik-cabik dan teriris-iris.

"Aku merasa dia sangat mencintaimu, nggak kelihatan seperti orang yang akan berselingkuh. Mungkin ada kesalahpahaman."

Rhea mendengus dingin dan berkata, "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, apa mungkin bisa disebut dengan kesalahpahaman?"

Suasana di dalam ruang pribadi langsung hening seketika. Melihat Rhea meneguk segelas demi segelas minuman itu seperti orang yang sudah tidak bersemangat hidup lagi, Weni tidak bisa menahan dirinya lagi dan segera merampas gelas dalam genggaman temannya itu. "Biarpun dia benar-benar berselingkuh, seharusnya kamu juga bukan mabuk-mabukan seperti ini untuk menghukum dirimu sendiri. Apa ... rencanamu selanjutnya? Apa yang akan kamu lakukan?"

"Apa lagi? Tentu saja bercerai. Selama aku teringat dia bersama wanita itu di atas ranjang, aku merasa jijik."

Melihat sorot mata memerah dan tidak rela di mata temannya, Weni ikut merasa sedih.

"Untuk sementara waktu ini, kamu nggak perlu memikirkan hal itu lagi. Sekarang, kamu perlu beristirahat dengan baik. Setelah kamu menenangkan dirimu, baru kamu pikirkan lagi apa yang akan kamu lakukan selanjutnya. Aku akan mengantarmu pulang."

Rhea menggelengkan kepalanya dan berkata, "Nggak .... Aku nggak ingin pulang lagi."

Begitu kembali ke rumah itu, dia pasti akan teringat pemandangan Jerico berselingkuh lagi. Selama dia memikirkan hal itu sekali, dia akan merasa jijik sekali.

Melihat ekspresi penolakan di wajah temannya, Weni juga tidak memaksakan kehendaknya. Dia berkata, "Kalau begitu, aku akan memesan kamar hotel untukmu."

Setelah memesan kamar hotel untuk Rhea, Weni mengantar Rhea ke depan pintu hotel. Kemudian, dia berkata dengan sedikit tidak tenang, "Apa kamu yakin nggak perlu aku mengantarmu ke lantai atas?"

Rhea menggelengkan kepalanya dan berkata, "Nggak perlu, kamu cepat pulang dan beristirahatlah."

Setelah melambaikan tangannya pada Weni, dia turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam hotel dengan membawa kunci kamar. Melihat langkah kakinya lumayan mantap, Weni baru sedikit menghela napas lega. Setelah Rhea memasuki hotel, dia baru melajukan mobilnya pergi.

Namun, hal yang tidak diketahuinya adalah, saat Rhea mabuk, dia tetap terlihat seperti biasa. Dia terlihat sadar, tetapi sesungguhnya pikirannya sudah kacau balau.

Dengan membawa kunci kamar, dia berjalan memasuki lift. Setelah menggesek kartu kamar, pintu lift tertutup, mulai naik ke lantai yang dituju.

Tak lama kemudian, dengan iringan bunyi "ting", pintu lift terbuka.

Saat melangkah keluar dari lift dan menginjak karpet, kaki Rhea terasa lemas, sampai-sampai dia hampir terjatuh.

Sambil menopang tubuhnya pada dinding di samping, dia memaksakan dirinya untuk berdiri dengan tegak. Dia memijat-mijat pelipisnya yang terasa sakit, lalu sambil berjalan melewati koridor, sambil memeriksa nomor kamar.

Namun, saat ini pengaruh alkohol sudah menguasai dirinya, sampai-sampai pemandangan di hadapannya tampak berbayang. Begitu melihat kamar dengan nomor 8919, dia langsung mengarahkan kartu kamar ke pintu.

Namun, dia tidak mendengar bunyi "ting" pintu kamar terbuka. Dia mengerutkan keningnya, lalu mengulurkan tangannya, hendak membuka pintu. Tiba-tiba saja, pintu kamar terbuka.

Rhea tertegun sejenak, tetapi sebelum dia sempat bereaksi, sebuah tangan besar sudah menarik masuk ke dalam kegelapan.

"Bam!"

Kemudian, pintu kamar tertutup, bahkan pencahayaan dari luar juga seperti sudah dihalangi.

Dia ditekan di balik pintu. Napas mengintimidasi pria itu menyapu telinganya, membuat tubuhnya bergetar sejenak.

Aroma kayu pinus menyegarkan yang menerpa dirinya, sedikit familier bagi Rhea. Namun, sebelum dia sempat bereaksi, dia sudah merasakan sentuhan kehangatan di bibirnya.

"Hmmmphhh ...."

Menyadari apa yang sedang terjadi, Rhea buru-buru meronta.

Namun, kekuatan pria itu sangat besar, ditambah lagi malam ini dia sudah minum sangat banyak, sampai-sampai tangannya yang sedang mendorong dada pria itu terasa tidak bertenaga. Alih-alih sedang menolak, upayanya malah seperti sedang menggoda pria tersebut.

Sensasi panas terasa menjalar di setiap bagian tubuhnya yang disentuh oleh pria itu, bahkan terasa seperti terbakar. Aura panas yang menjalar di tubuhnya, membuat tubuh Rhea menjadi makin lemas.

Dia ingin mendorong pria yang sedang menekan tubuhnya itu, tetapi pria itu bisa menyadari dan mengantisipasi setiap pergerakannya dengan mudah. Dalam sekejap, kedua lengannya sudah ditahan di atas kepalanya.

"Lepas ... hmmphhhh ... lepaskan aku ...."

Pria itu melepaskan ciumannya, lalu terkekeh pelan dan berkata, "Kamu sudah cukup menggoda, nggak perlu repot-repot menggodaku lagi."

Selesai berbicara, jari-jari pria itu mendarat di lengan baju Rhea, membuat Rhea merasakan aura dingin, sampai-sampai tubuhnya gemetaran.

Suhu tubuh pria itu seperti akan melelehkannya, perlahan-lahan kedua kakinya juga terasa lemas.

Di tengah kegelapan, tingkat kepekaan indra perasa seolah meningkat secara signifikan.

Rhea merasakan pria itu sedang membuka kancing pakaiannya satu per satu. Dia hanya merasa mulutnya menjadi kering. Sedikit kesadarannya yang masih tersisa memberitahunya, kalau hal seperti ini terus berlanjut, pasti akan berakibat fatal.

"Lepaskan aku!"

Dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong pria itu. Alhasil, pria itu langsung menggendongnya dan melemparnya ke atas tempat tidur.

Tempat tidur itu sangat lembut. Rhea sama sekali tidak merasa kesakitan, tetapi begitu tubuhnya mendarat di tempat tidur, kepalanya terasa makin berat.

Dia segera meronta ingin bangkit, tetapi sosok bayangan yang tinggi dan tegap langsung menimpanya.

Dalam sekejap, pakaiannya sudah dilepaskan sepenuhnya, kedua orang itu sudah hampir telanjang.

Pria itu mendekat pada tubuhnya, seakan-akan sudah bersiap untuk melakukan hal itu.

Merasakan aura mengintimidasi yang terpancar dari pria di atas tubuhnya itu, dia segera mengulurkan tangannya untuk mendorong dada pria itu. Kemudian, dia menggigit bibirnya, memaksakan diri untuk tetap sadar dan tenang.

"Tuan, mungkin aku salah kamar, tolong lepaskan aku ...."

Karena terlalu gugup, suaranya terdengar sedikit bergetar.

"Ckck!"

Pria itu berkata dengan sedikit tidak sabar dan dingin, "Sudah kecanduan bermain, ya?"

Arieson hendak bangkit dan mengusir wanita itu. Tiba-tiba saja, lampu kamar menyala.

Ternyata, tadi saat Rhea sedang meronta, punggung tangannya tanpa sengaja menekan tombol lampu.

Lampu yang tiba-tiba menyala, membuat Arieson mengedipkan matanya secara refleks. Saat dia melihat wanita yang ketakutan di bawah tubuhnya dengan jelas, ekspresinya langsung berubah drastis.

Saat ini, Rhea juga sudah melihat Arieson dengan jelas. Wajahnya yang memang sudah memucat karena ketakutan, kini menjadi makin pucat. Awalnya, pikirannya masih sedikit kacau balau, tetapi sekarang sudah benar-benar tersadar saking terkejutnya.

Dia tidak menyangka ... orang yang hampir saja menyetubuhinya adalah Arieson, paman Jerico.

"Paman ...."

Selama ini, Rhea selalu merasa sedikit takut pada sosok Arieson.

Dia adalah putra bungsu Keluarga Thamnin. Tuan Besar Thamnin dan Nyonya Besar Thamnin sangat menyayangi dan memanjakannya. Kepribadian pria yang satu ini sangat dingin. Jangankan anggota Keluarga Thamnin, orang luar juga tidak berani memprovokasinya.

Saat baru menikah dengan Jerico dan mengunjungi tetua Keluarga Thamnin, Jerico sudah mengingatkannya untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan Arieson.

"Diam!"

Raut wajah Arieson tampak sangat muram, sorot matanya terhadap Rhea sedingin es, seperti orang yang sedang mempertimbangkan untuk melakukan pembunuhan.

Namun, saat melihat kulit putih mulus bagian dada wanita itu yang terekspos, sorot matanya langsung berubah menjadi gelap. Untuk sesaat, pikirannya dikuasai oleh gairah.

Dia segera mengalihkan pandangannya, turun dari tempat tidur dan berkata, "Cepat pakai pakaianmu dan pergi dari sini!"

Saat pria itu bangkit, sorot mata Rhea tertuju ke arah yang seharusnya tidak dia pandang.

Dia tertegun sejenak, lalu mengalihkan pandangannya dengan canggung, telinganya juga sudah memerah.

Melihat wajah memerah wanita itu, raut wajah Arieson bertambah masam.

"Masih nggak pergi juga?"

Tanpa memedulikan perasaan malu yang meliputi hatinya saat ini, Rhea buru-buru mengambil pakaiannya dan memakainya secepatnya, lalu pergi meninggalkan kamar itu tanpa menoleh ke belakang.

Hingga setelah dia keluar dari kamar, dia baru berani menoleh dan melirik nomor kamar sekilas. Setelah melihat nomor kamar dengan jelas, akhirnya Rhea sudah mengerti mengapa tadi Arieson mengatakan dia sedang menggodanya.

Nomor kamar itu bukan 8919, melainkan adalah 8916!

Dia tidak hanya salah masuk kamar, bahkan hampir saja melakukan hubungan intim dengan paman suaminya sendiri ....

Setelah memikirkan hal itu, Rhea hanya merasakan kepalanya terasa makin sakit karena pengaruh alkohol.

Kalau tahu akan terjadi kejadian seperti ini, seharusnya dia membiarkan Weni mengantarnya naik ke atas. Paling tidak, dia juga tidak akan salah kamar.

Namun, sekarang menyesal juga tidak ada gunanya lagi ....

Di dalam kamar, setelah Rhea meninggalkan kamarnya, Arieson menghubungi sebuah nomor dengan raut wajah muram.

"Hapus semua rekaman kamera video pengawasan Hotel Royal malam ini!"

Selesai memberi instruksi, melihat seprai dan selimut tempat tidur yang berantakan, Arieson menyalakan sebatang rokok, sorot mata kesal makin tampak jelas di matanya.

Dia hampir saja menyetubuhi istri keponakannya sendiri! Apa-apaan itu?!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ayiniah Lmd
seru menarik, simak terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status