Share

Bab 7

Tubuh Jerico langsung membeku. Dalam sekejap, raut wajahnya berubah menjadi sangat masam.

Cengkeramannya pada dagu Rhea juga kian kuat. Setelah beberapa detik berlalu, dia baru melepaskan wanita di hadapannya, lalu berbalik menghadap Arieson.

Melihat seulas senyum tipis di wajah Arieson, mau tak mau Jerico juga memaksakan seulas senyum.

"Nggak, nggak. Paman, ada urusan apa Paman datang mencariku?"

Sudut bibir Arieson terangkat ke atas. "Nenekmu memintaku untuk kemari memanggil kalian makan."

"Oke, terima kasih, Paman. Maaf sudah merepotkan."

"Nggak masalah. Tapi, bagaimanapun juga, tempat ini adalah kediaman Keluarga Thamnin. Jerico, sebaiknya kamu memperhatikan sikapmu."

Saat berbicara, dia melirik dagu Rhea yang memerah karena dicengkeram tadi, sorot mata mempermainkan tampak jelas di wajahnya.

Menyadari sorot mata Arieson tertuju pada Rhea, Jerico mengerutkan keningnya, lalu melangkah satu langkah untuk menghalangi pandangan pamannya.

"Paman, aku sudah mengerti."

Boleh dibilang, baik raut wajahnya maupun nada bicaranya kurang baik. Dia menatap Arieson dengan sorot mata tidak senang, bahkan samar-samar tampak sedikit waspada.

Arieson mengalihkan pandangannya dengan santai.

"Oke, ayo pergi makan."

Setelah Arieson pergi, Jerico berbalik, ingin menggenggam tangan Rhea. Namun, wanita itu malah menghindari sentuhannya dan langsung berjalan melewatinya.

Jerico segera mengejar Rhea, lalu menggenggam tangan wanita itu secara paksa dan berkata dengan suara dalam, "Kalau kamu nggak ingin aku pergi menemui ayah mertuaku, sebaiknya kamu bersikap sedikit patuh padaku!"

Pergerakan tangan Rhea yang ingin menepis tangan pria itu langsung terhenti. Perasaan tidak berdaya dan amarah menyelimuti hatinya.

Kalau kala itu dia tidak mendengar ucapan Jerico yang memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga, sekarang dia juga tidak perlu dikendalikan dan diancam oleh pria itu seperti ini.

Dia harus segera mencari sebuah pekerjaan. Selama dia sudah punya uang sendiri untuk membiayai pengobatan ayahnya, dia sudah bisa terlepas dari Jerico sepenuhnya.

Sebelum semua perencanaan itu terlaksana, terlepas dari seberapa keras upayanya untuk meminta bercerai dari pria itu, juga tidak ada gunanya.

Setelah memikirkan hal itu dengan saksama, Rhea tidak meronta lagi. Dia membiarkan pria itu membawanya ke ruang makan.

Selesai makan malam, semua orang pun membubarkan diri.

Mobil diberhentikan di depan pintu vila. Jerico langsung mengunci pintu mobil, tidak terburu-buru untuk turun dari mobil.

Sambil mengerutkan keningnya, Rhea mengalihkan pandangannya ke arah pria itu dan berkata, "Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Mari kita diskusi."

"Kalau kamu ingin membicarakan tentang masalah perceraian, nggak perlu dibicarakan lagi. Untuk sementara waktu ini, aku nggak akan mengungkit hal itu lagi."

Jerico menyipitkan matanya, kilatan berbahaya melintas di matanya.

"Untuk sementara waktu?"

"Hmm."

Melihat ekspresi acuh tak acuh wanitanya, Jerico mengatupkan bibirnya dengan rapat, ekspresi tidak senang tampak jelas di wajahnya.

Namun, dia juga tahu jelas bahwa butuh waktu bagi Rhea untuk menerima kenyataan dia telah berselingkuh. Selama wanita itu tidak mengungkit tentang perceraian lagi, dia pasti akan memiliki kesempatan untuk memenangkan hati wanita itu lagi.

Setelah berpikir sejenak, dia menganggukkan kepalanya dan berkata, "Rhea, aku sangat senang kamu bersedia memberiku satu kesempatan lagi."

Rhea tidak menanggapi ucapannya, melainkan hanya menatapnya tanpa ekspresi.

"Apa sekarang kamu sudah bisa membuka pintu mobil? Aku sudah sangat lelah, aku ingin segera beristirahat."

"Klatak."

Begitu pintu mobil terbuka, Rhea langsung membuka pintu, turun dari mobil, lalu berjalan masuk ke dalam vila tanpa menoleh ke belakang.

Saat Jerico sampai di depan pintu kamar mereka, dia baru mendapati bahwa Rhea sudah mengunci pintu kamar dari dalam.

Dia merasa sedikit tidak berdaya. Beberapa saat kemudian, dia tidak bisa menahan diri dan tertawa.

Saat mereka baru menikah, terkadang dia memperlakukan wanita itu terlalu "ganas". Keesokan harinya, wanita itu akan mengunci kamar dari dalam seperti sekarang ini untuk mengungkapkan amarahnya.

Beberapa hari kemudian, setelah amarah wanita itu reda, dia baru diizinkan untuk masuk ke dalam kamar lagi.

Setelah berpikir demikian, senyumannya makin cerah.

'Ya sudah, aku akan membujuknya perlahan-lahan.'

Lagi pula, mereka masih punya banyak waktu. Selama wanita itu berada di sisinya dan hanya ada dirinya dalam hati wanita itu, suatu hari nanti wanita itu pasti akan memaafkannya.

Di dalam kamar, Rhea sedang memilih pakaian untuk wawancara kerja besok.

Setelah memilih beberapa pakaian yang cukup memuaskan baginya, dia mengambil foto pakaian-pakaian itu, lalu mengirimkannya pada Weni, menanyakan pada temannya itu pakaian mana yang lebih cocok dikenakannya untuk wawancara kerja. Tak lama kemudian, Weni langsung meneleponnya.

"Mengapa kamu tiba-tiba ingin pergi mencari pekerjaan? Apa masalah antara kamu dan Jerico sudah terselesaikan?"

Rhea mengalihkan pandangannya ke bawah, lalu berkata dengan tenang, "Belum. Aku berencana mencari sebuah pekerjaan terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, sekarang aku sudah nggak punya sumber penghasilan. Setelah aku punya cukup uang untuk membiayai pengobatan ayahku dan menghidupi diriku sendiri, aku baru bicarakan tentang perceraian dengannya lagi."

"Kalau begitu, untuk sementara waktu ini, kamu akan tinggal satu atap dengannya seolah-olah nggak ada yang terjadi?"

"Bagaimana mungkin bisa? Aku masih punya sedikit uang. Aku berencana setelah wawancara kerja besok, aku akan sekalian pergi melihat-lihat rumah, agar aku bisa pindah keluar dari sini secepatnya."

Sekarang dia sudah memikirkan segala sesuatu dengan matang. Dia tidak bisa bercerai dengan gegabah.

Sekarang dia tidak punya pekerjaan, juga tidak punya uang. Biarpun dia mengundang pengacara, dia juga tidak punya uang untuk membayar jasa pengacara.

Terlebih lagi, kalau pengacara biasa berhadapan dengan tim hukum profesional Grup Thamnin, tidak ada artinya, pasti akan kalah telak.

Kalau dia ingin menggunakan jasa pengacara, tentu saja dia harus mengundang seorang pengacara yang paling profesional dalam kasus perceraian untuk membantunya mengajukan tuntutan perceraian.

Adapun mengenai bercerai tanpa memperoleh sepeser pun, dia tidak pernah memikirkan hal seperti itu.

Jelas-jelas Jerico yang telah mengkhianati pernikahan mereka, atas dasar apa dia tidak menginginkan sepeser pun?

Kalau bukan karena dia sendiri tidak berkemampuan, dia ingin membuat Jerico bercerai dengannya tanpa memperoleh sepeser pun.

Adapun mengenai biaya pengobatan ayahnya, Rhea sama sekali tidak merasa beban karena telah menggunakan uang Jerico.

Kala itu, hasil penelitian yang diberikannya pada pria itu, telah membuat pria itu meraup keuntungan sebesar puluhan triliun. Biaya pengobatan ayahnya masih tidak ada apa-apanya dibandingkan nilai fantastis itu.

"Besok kamu wawancara kerja di perusahaan mana?"

"Perusahaan Farmasi Yagin."

"Kamu berencana melanjutkan penelitian dan pengembangan obat-obatan?"

"Hmm, walau beberapa tahun ini aku nggak bekerja, aku selalu mengikuti perkembangan bidang ini. Ilmu pengetahuan yang kuperoleh dulu, juga masih kuingat dengan jelas. Lagi pula, selain melakukan penelitian dan pengembangan obat-obatan, aku nggak bisa melakukan hal yang lain."

"Kalau begitu, mengapa kamu nggak memberitahuku hal ini lebih awal. Kamu bisa bekerja di perusahaan kami. Aku bisa merekomendasikanmu secara khusus."

Rhea tertawa, lalu berkata dengan setengah bercanda, "Setiap hari, kamu memaki bos perusahaan kalian di hadapanku. Sekarang, di mataku, bos kalian sudah seperti sosok yang melakukan eksploitasi terhadap karyawan. Apa kamu ingin membawaku masuk ke dalam perangkap?"

Setelah hening selama beberapa detik, tiba-tiba terdengar suara seorang pria.

"Weni, sejak kapan aku mengeksplotiasi karyawan?"

Jarak antara pria itu dengan ponsel Weni seolah sedikit jauh. Karena itulah, suaranya tidak terdengar jelas. Namun, Rhea tetap bisa merasakan nada bicara berbahaya dalam ucapan pria itu.

Weni tertawa canggung, lalu buru-buru berkata, "Rhea .... Itu ... hmm, aku masih ada sedikit urusan di sini, nanti aku baru telepon kamu lagi, ya .... Besok, selesai wawancara kerja, kamu kirim pesan untukku. Kita makan siang bersama."

Tanpa memberi Rhea kesempatan untuk berbicara, begitu selesai berbicara, Weni langsung mengakhiri panggilan telepon.

Rhea melirik jam sejenak. Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat malam. Dia pun mengangkat alisnya.

Weni selalu beristirahat pada jam tertentu dengan teratur. Namun, jam segini masih ada orang di dekatnya, bahkan adalah bosnya.

Sepertinya, besok dia harus menanyakan dengan jelas pada temannya itu.

Setelah meletakkan ponselnya, Rhea sempat ragu sejenak, lalu memilih sebuah gaun panjang berwarna hijau muda.

Gaun yang satu ini tidak terlalu menonjol, tetapi juga cukup sopan dalam menghadiri wawancara kerja kali ini.

Setelah menjatuhkan pilihannya pada gaun itu, Rhea menyimpan kembali pakaian-pakaian lainnya, lalu membawa piamanya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi.

Selesai mandi, Rhea mengeringkan rambutnya dan merawat wajahnya. Setelah itu, dia langsung naik ke atas tempat tidur dan tidur.

Di sisi lain, di dalam ruang baca.

Setelah ragu sangat lama, akhirnya Jerico mengunggah sebuah pertanyaan tanpa nama, yang berbunyi, bagaimana cara membujuk dan memenangkan hati istri kembali setelah ketahuan berselingkuh.

Namun, siapa sangka, jawaban yang diberikan oleh para netizen adalah membujuknya untuk bercerai, melepaskan istrinya. Saking kesalnya, Jerico langsung menghapus unggahan tersebut.

Saat dia bersiap untuk kembali ke kamar dan tidur, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Stella.

"Pak Jerico, aku sudah hamil."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status