Share

Bab 6

Rhea mengangkat kepalanya, hendak berbicara. Namun, Jerico sudah terlebih dahulu menggenggam tangannya dan berkata sambil tersenyum, "Nenek, kami sedang bersiap-siap punya anak!"

Dia ingin segera menepis tangan Jerico, tetapi pria itu menggenggam tangannya dengan sangat erat, sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk terlepas dari genggaman itu.

Karena pria itu membuatnya kesal, maka jangan salahkan dia juga membuat pria itu merasakan hal yang sama.

Dia mengalihkan pandangannya ke arah Nyonya Besar Thamnin dan berkata, "Nenek, belakangan ini aku sedang mencari pekerjaan. Jadi, mungkin masalah punya anak harus ditunda terlebih dahulu."

Begitu Rhea selesai berbicara, suasana di ruang tamu langsung berubah menjadi hening seketika.

Jerico menggenggam tangannya dengan sangat erat, ekspresi pria itu juga berubah menjadi sangat muram.

Merasakan rasa sakit yang menjalar dari pergelangan tangannya, Rhea mengerutkan keningnya.

Sorot mata Arieson tertuju pada tangan Jerico yang menggenggam tangan Rhea dengan sangat erat itu selama satu detik, lalu mengalihkan pandangannya.

Susana Thamnin, bibi Jerico tertawa dingin dan berkata, "Rhea, jangan salahkan aku banyak bicara. Kamu dan Jerico sudah menikah selama beberapa tahun. Kalau kalian nggak kunjung punya anak juga, bukankah sangat aneh?"

"Selain itu, kalau kala itu Jerico nggak berserikeras ingin menikahimu, apa kamu merasa dengan latar belakang keluargamu, kamu bisa menjadi menantu Keluarga Thamnin?"

"Jangan nggak tahu berpuas hati. Kalau kamu nggak ingin melahirkan anak untuk Jerico, di luar sana ada banyak wanita yang bersedia melahirkan anak untuknya. Kalau sampai wanita lain hamil duluan, saat itu tiba, kamu sendiri yang malu."

Terlebih lagi, siapa yang tahu sebenarnya Rhea tidak ingin melahirkan anak, atau memang mandul?

Walaupun kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata "bujukan", tetapi sorot mata yang ditujukannya pada Rhea penuh dengan ejekan dan kesombongan.

Nyonya Besar Thamnin mengerutkan keningnya, dia menatap Susana dengan tatapan sedikit tidak puas.

"Susana, jangan banyak bicara."

Susana mendecakkan lidahnya, tetapi dia tidak berbicara lagi.

Nyonya Besar Thamnin mengalihkan pandangannya ke arah Rhea, lalu berkata dengan seulas senyum hangat, "Rhea, lagi pula kamu dan Jerico masih muda. Kalau kamu masih nggak ingin punya anak, dua tahun lagi baru mempertimbangkan untuk memiliki anak, juga nggak masalah. Tapi, kamu juga jangan terlalu lelah bekerja. Keluarga kita nggak kekurangan uang. Kalau kamu mau bekerja, anggap saja sebagai kegiatan untuk menghabiskan waktu."

Rhea menganggukkan kepalanya dan berkata, "Aku mengerti, Nenek."

Momen tidak menyenangkan itu akhirnya berlalu, suasana di ruang tamu kembali harmonis.

Melihat fokus semua orang tidak tertuju pada mereka berdua lagi, Jerico langsung menarik Rhea keluar dari ruang tamu.

Hingga menariknya ke sebuah paviliun di taman belakang vila, Jerico baru melepaskan Rhea dan berkata dengan dingin, "Rhea, apa kamu sudah gila? Apa kamu benar-benar ingin seluruh anggota keluargaku tahu mengenai perselisihan antara kita, kamu baru senang?"

Rhea mengusap-usap tangannya yang terasa sakit karena digenggam dengan kuat oleh pria itu, lalu mengalihkan pandangannya ke bawah dan berkata, "Aku hanya berbicara jujur."

"Bagus, bagus!"

Jerico menatapnya dengan ekspresi muram dan berkata, "Kalau begitu, bukankah aku harus menelepon ayah mertuaku untuk memberitahunya hal ini?"

Belakangan ini, kondisi kesehatan Bagas Santana, ayah Rhea sedang tidak baik. Dokter mengatakan sebaiknya jangan membiarkan pasien menerima rangsangan. Rhea berencana untuk bercerai dengan Jerico terlebih dahulu, baru memberi tahu ayahnya hal ini perlahan-lahan.

Dia mengalihkan pandangannya ke arah Jerico dan memelototi pria itu dengan marah. "Awas saja kalau kamu berani! Jelas-jelas kamu yang telah berselingkuh, atas dasar apa kamu berbicara denganku seperti itu?!"

Secara naluriah, tangan Jerico terkepal dengan erat. Kilatan bersalah melintas di matanya. Namun, detik berikutnya, sorot mata tidak sabar tampak jelas di matanya.

"Aku sudah berjanji padamu nggak akan mengulanginya lagi. Kalau kamu nggak ingin melihat Stella, aku bisa memecatnya. Apa lagi maumu?"

Rhea merasa dia tidak bisa berbicara baik-baik dengan pria di hadapannya itu. Dia mengalihkan pandangannya dan berkata, "Aku nggak ingin bertengkar di sini denganmu."

Melihat mata wanita di hadapannya sedikit memerah, Jerico menghela napas, nada bicaranya pun melembut.

"Rhea, aku benar-benar sudah menyadari kesalahanku. Selama kamu nggak mengungkit tentang perceraian lagi, aku pasti akan berusaha keras menebus kesalahanku padamu. Orang yang kucintai adalah kamu. Aku nggak bisa membiarkanmu meninggalkanku."

Dalam lubuk hatinya, Rhea berkata, 'Sungguh konyol! Mengapa pria sialan ini begitu nggak tahu malu?'

Bisa-bisanya pria itu mengatakan mencintainya, tetapi tidur bersama wanita lain.

Terlebih lagi, setiap kali dia mengingat pria itu berhubungan intim dengan wanita lain di atas ranjang, dia benar-benar muak.

"Aku nggak akan bisa memaafkanmu."

Berkhianat sudah melampaui batas toleransinya. Dia tidak bisa menganggap tidak pernah terjadi apa-apa, juga tidak mungkin berbaikan lagi dengan pria itu.

Jerico juga tahu jelas kepribadian Rhea. Selain itu, sumber permasalahan ini memang terletak pada dirinya. Dia yang salah. Jadi, sepertinya dia hanya bisa melakukan pendekatan perlahan-lahan.

Dia tahu Rhea masih menaruh perasaan padanya. Kalau tidak, di saat seperti ini, wanita itu masih sudah membesar-besarkan masalah tersebut. Selama dia menolak untuk bercerai, dia yakin suatu hari nanti wanita itu pasti akan memaafkannya.

"Oke, lupakan saja dulu, kita nggak perlu membicarakan hal ini lagi. Kalau kamu nggak ingin punya anak, kita bisa menunda rencana punya anak hingga dua tahun kemudian. Karena kamu ingin bekerja, besok aku akan meminta sekretarisku untuk mengatur sebuah posisi untukmu di Grup Thamnin."

Setelah mendengar pengaturan pria itu, Rhea tidak bisa menahan diri dan tertawa. Dia menatap pria itu dengan ekspresi mengejek.

"Jerico, di matamu, aku bukan manusia, ya? Aku adalah boneka yang bisa kamu tempatkan sesuka hatimu, begitu?"

Sorot mata Rhea menyakiti indra penglihatan Jerico. Dia mengerutkan keningnya dan berkata, "Apa yang kamu maksud dengan aku menempatkanmu sesuka hatiku? Kamu sendiri yang bilang nggak ingin punya anak, aku setuju dua tahun kemudian baru mempertimbangkan hal itu. Kamu ingin bekerja, aku juga memberikan pengaturan untukmu. Mengapa kamu malah mengataiku seperti itu?"

"Kamu sedang berpura-pura bodoh, ya? Aku nggak ingin punya anak, karena ingin bercerai denganmu. Aku ingin bekerja, karena ingin memutuskan hubunganku denganmu."

Dia menundukkan kepalanya, menatap Rhea. Melihat ekspresi keras kepala wanita itu, dia merasa sedikit tidak senang.

Sejak mereka menikah, Rhea sudah seperti "pajangan" di rumahnya. Bagaimana mungkin dia membiarkan wanita itu membebaskan diri darinya?

"Selama aku nggak setuju, kamu nggak akan bisa bercerai. Selain itu, biarpun kamu dan pengacaramu mengatakan aku berselingkuh, apa kamu punya bukti?"

Ekspresinya tampak penuh keyakinan, bahkan terlihat arogan seolah-olah mengendalikan segalanya.

Secara naluriah, Rhea melangkah mundur beberapa langkah. Saking kesalnya, sekujur tubuhnya sampai gemetaran.

Setelah topeng sosok hangat dalam diri Jerico dilepas, dia baru menyadari seberapa egois dan keji pria itu. Namun, bisa-bisanya dia mencintai pria seperti itu selama delapan tahun.

Delapan belas tahun hingga dua puluh enam tahun adalah delapan tahun terindah dalam hidupnya.

"Jerico, kamu benar-benar menjijikkan!"

Melihat sorot mata jijik yang ditunjukkan secara terang-terangan oleh Rhea, pupil mata Jerico langsung mengecil. Dia mengulurkan lengannya untuk mencubit dagu wanita itu, memaksa wanita itu untuk menatapnya.

"Rhea, aku mengerti kamu marah padaku. Tapi, ke depannya aku nggak ingin mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulutmu lagi."

Seharusnya Rhea, wanitanya mencintainya seumur hidup. Bagaimana wanita itu bisa membencinya?

Biarpun dia telah melakukan kesalahan karena gegabah, dia juga tidak akan membiarkan wanita itu menatapnya dengan sorot mata seperti itu.

Rhea menepis tangannya dengan ekspresi jijik dan berkata, "Jangan sentuh aku! Kamu itu sudah kotor!"

"Kotor?"

Jerico tertawa dingin, melangkah maju satu langkah, melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu, lalu menekan wanita itu di pilar paviliun dan langsung menundukkan kepalanya untuk mencium wanita itu.

Karena wanita itu hanya bisa mengatakan kata-kata yang tidak suka didengarnya, maka dia hanya bisa membungkam wanita itu dengan ciuman.

Tidak bisa mendorong pria itu menjauh darinya, secara refleks Rhea memalingkan wajahnya.

Saat itu juga, bibir hangat Jerico menempel di pipinya, membuat bulu kuduknya naik saking jijiknya.

"Jerico, lepaskan aku!"

"Boleh saja, selama kamu nggak mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatiku lagi."

"Nggak mungkin!"

"Kalau begitu, aku hanya bisa menggunakan caraku sendiri untuk membungkammu."

Dia mencengkeram dagu Rhea dan hendak mencium wanita itu dengan ganas.

Tepat pada saat bibirnya akan menyentuh bibir Rhea, tiba-tiba terdengar suara seseorang berdeham pelan dari arah belakangnya.

"Jerico, sepertinya aku datang di saat yang nggak tepat?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status