Share

Bab 3

Saat dalam perjalanan pulang, setelah ragu cukup lama, Rhea mengirimkan pesan kepada Arieson yang sudah ada dalam kontak pertemanannya selama tiga tahun, tetapi tidak pernah saling bertukar pesan dengannya itu.

"Paman ... bisakah Paman memegang kejadian malam ini nggak pernah terjadi? Saat itu, aku benar-benar sudah mabuk dan salah masuk kamar."

Setelah menunggu sangat lama, dia tidak memperoleh pesan balasan dari Arieson.

Rhea mengerutkan keningnya dan mengirimkan sebuah pesan lagi.

Kali ini, dia hanya mengirimkan sebuah tanda tanya.

Namun, begitu pesan dikirim, muncul sebuah tanda seru berwarna merah, disertai sebuah pesan elektronik.

"Dibutuhkan persetujuan dari pengguna ini terlebih dahulu sebelum Anda bisa mengirim pesan padanya. Saat ini, Anda masih bukan temannya ...."

Rhea mengatupkan bibirnya dengan rapat. 'Dia bahkan sudah menghapus kontak pertemananku. Seharusnya dia nggak ingin mengungkit hal itu lagi, 'kan?'

Setelah berpikir demikian, akhirnya Rhea bisa menghela napas lega.

Saat dia pulang ke rumah, jam sudah menunjukkan pukul enam lewat pagi.

Begitu dia membuka pintu, dia melihat Jerico sedang duduk di sofa.

Mendengar suara pintu terbuka, dia segera menoleh. Saat melihat Rhea, sorot matanya tampak memerah. Sangat jelas bahwa dia juga tidak tidur semalaman.

"Sayang, semalam kamu pergi ke mana? Aku sudah meneleponmu sebanyak belasan kali, mengapa kamu nggak menjawab panggilan teleponku?"

Jerico segera bangkit dan berjalan menghampiri Rhea dengan cepat. Dia mengulurkan lengannya, ingin menggenggam tangan Rhea. Namun, Rhea segera menghindari sentuhannya.

Dia tertegun sejenak. Saat dia hendak berbicara, Rhea berkata dengan ekspresi dingin, "Oh? Jadi, hanya kamu yang boleh semalaman nggak pulang, sedangkan aku nggak boleh?"

Kepribadian Rhea sangat baik. Selama delapan tahun bersama, dia sangat jarang marah. Ini adalah pertama kalinya dia berbicara dengan Jerico dengan nada bicara dingin seperti itu.

Menyadari ada yang tidak beres dengan suasana hati Rhea, bahkan mata istrinya juga tampak sedikit memerah dan membengkak, Jerico mengalihkan pandangannya, lengannya yang terulur juga ditariknya kembali perlahan-lahan.

"Kamu sudah tahu, 'kan?"

Nada bicaranya sangat tenang, sama sekali tidak terdengar adanya gejolak emosi atau perasaan panik, seolah-olah dia sudah menebak kejadian seperti ini akan terjadi suatu hari nanti.

Melihat sama sekali tidak ada ekspresi bersalah di wajah pria itu, akhirnya berbagai emosi yang bergejolak di dalam hati Rhea pun meledak.

Dia mengangkat tas tangannya dan memukuli pria itu, sorot matanya tampak memerah seperti orang yang sudah gila.

Kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh pria itu untuk dirinya dulu, momen-momen bahagia yang telah mereka lalui bersama, semuanya itu hancur saat semalam dia melihat pria itu bersama dengan wanita lain di atas ranjang. Mereka tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi.

"Jerico, bagaimana kamu bisa melakukan hal yang menjijikkan seperti itu?! Kalau kamu sudah nggak mencintaiku lagi, kamu bisa bercerai denganku! Mengapa kamu memperlakukanku seperti ini?!"

Awalnya, dia mengira tidak mungkin akan ada orang ketiga dalam hubungan mereka selamanya. Namun, realita memberinya sebuah tamparan yang keras.

Dia seakan-akan baru tersadar dari ilusi yang digambarkan oleh pria itu selama ini. Kenyataan pahit ini juga membuat rasa cintanya yang masih begitu membara terhadap pria itu terkesan sangat konyol.

Melihat matanya yang memerah, dada Jerico terasa sesak. Dia menarik wanita di hadapannya itu ke dalam pelukannya.

"Rhea, maafkan aku ...."

Rhea langsung mendorong pria itu. Dia ingin tertawa, tetapi bulir-bulir air mata terus bercucuran membasahi wajahnya.

"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu!"

"Apa begitu sulit menjaga ikrar pernikahan kita?"

"Setelah menikah denganmu, aku bukannya nggak pernah bertemu dengan pria yang unggul, juga bukannya nggak ada pria yang menunjukkan ketertarikan terhadapku. Tapi, aku nggak pernah melakukan sesuatu di luar batasan. Aku bisa melakukannya, mengapa kamu nggak?"

Melihat sorot mata kekecewaan dan amarah di mata indah wanita itu, Jerico mengepalkan tangannya dengan erat.

"Rhea, aku hanya mencintaimu seorang .... Bersamanya hanyalah ... suatu kejadian nggak terduga ...."

Sangat jelas penjelasannya tidak cukup kuat, bahkan membuat Rhea merasa penjelasan itu sangat konyol dan menjijikkan baginya.

"Oh? Kalau aku dengar-dengar dari ucapanmu, aku juga bisa tidur dengan sembarang pria, lalu memberitahumu itu hanyalah suatu kejadian nggak terduga. Walau tubuhku melakukan perselingkuhan, hatiku hanya ada kamu seorang. Apa seperti ini maksudmu?"

Kilatan dingin melintas di mata Jerico, dia berkata dengan penuh penekanan, "Kalau kamu berani melakukan hal seperti itu, aku akan menghabisimu dan pria itu di atas ranjang!"

Melihat sorot mata dingin pria itu, Rhea hanya merasakan aura dingin menyelimuti hatinya.

Ternyata pria itu juga tahu mengkhianatinya adalah suatu hal yang tidak bisa dimaafkan, tetapi pria itu masih saja mengkhianatinya.

Dia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan perlahan, "Apa kamu masih ingat kata-kata yang kuucapkan padamu saat kamu melamarku?"

Saat itu, Rhea mengatakan kalau suatu hari nanti, Jerico mengkhianatinya, dia tidak akan memaafkan pria itu, melainkan hanya akan meninggalkan pria itu.

Ekspresi Jerico langsung berubah. "Aku nggak akan melepaskanmu!"

Rhea menyeka air mata di sudut matanya, lalu berkata dengan ekspresi mengejek dan menatap pria itu dengan sorot mata penuh kebencian, "Baik kamu setuju maupun nggak, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan bercerai denganmu, kamu nggak layak dimaafkan."

Selesai berbicara, tanpa menunggu tanggapan dari pria itu, Rhea langsung berjalan melewatinya dan berjalan naik ke lantai atas.

Jerico menatap punggung Rhea dengan lekat, sorot matanya sangat muram.

Setelah kembali ke kamar, Rhea langsung pergi ke kamar mandi untuk mandi. Dia sudah tidak tahan dengan aroma alkohol yang menyelimuti tubuhnya.

Saat dia sedang menyabuni tubuhnya dan menundukkan kepalanya, dia mendapati ada bekas kemerahan di dadanya. Secara refleks, pergerakan tangannya terhenti.

Saat itu juga, ingatan tangan seseorang menelusuri tubuhnya muncul kembali dalam benaknya. Dia mengerutkan keningnya, lalu menggosok-gosok bekas kemerahan itu beberapa kali dengan handuk hingga sekeliling bekas kemerahan itu juga memerah, dia baru berhenti.

Seolah-olah hanya dengan cara seperti itu, dia baru bisa menghilangkan bekas yang ditinggalkan oleh orang itu di tubuhnya.

Selesai mandi dan berjalan keluar dari kamar mandi, Rhea melihat Jerico duduk di atas ranjang dan tampak sedang menundukkan kepala seperti memikirkan sesuatu. Dia mengerutkan keningnya dan menganggap keberadaan pria itu tidak ada.

Lagi pula, tidak lama lagi mereka akan bercerai.

Begitu mendengar suara langkah kaki, Jerico mengangkat kepalanya. Saat itu juga, dia melihat Rhea yang berbalut handuk berjalan keluar.

Rambut panjang wanita itu yang masih setengah basah tersampir di punggungnya, bahkan masih tampak meneteskan air. Baru selesai mandi, wajah wanita itu tampak memerah, memancarkan aroma harum yang menggoda. Bokong montoknya tertutupi handuk, mengekspos kaki jenjang mulusnya. Pemandangan seperti itu tentu saja mudah membuat orang berpikiran liar.

Dalam sekejap, napas Jerico menjadi berat, pandangannya seolah sudah terpaku pada tubuh Rhea.

Rhea tidak menyadari perubahan dalam diri pria itu. Dia berjalan ke arah lemari pakaian. Saat dia hendak mengambil piama, tiba-tiba tangan seseorang melingkari tubuhnya dari belakang.

"Rhea ...."

Suara pria itu terdengar serak-serak basah, sangat jelas bahwa dia sedang sangat bergairah.

Tadi, saat berada di lantai bawah, setelah Rhea pergi, Jerico sedang memikirkan bagaimana caranya agar wanita itu berubah pikiran.

Setelah berpikir cukup lama, satu-satunya cara yang tebersit dalam benaknya untuk mempertahankan Rhea di sisinya adalah dengan memiliki seorang anak dengan wanita itu.

Tujuannya naik ke lantai atas adalah ingin membicarakan hal ini kepada Rhea. Dia ingin mengambil langkah pelan tapi pasti. Namun, melihat pemandangan Rhea yang baru selesai mandi ini, tiba-tiba dia tidak bisa menahan dirinya lagi.

Dulu, sosok Jerico yang seperti ini, akan membuat gairahnya juga ikut bergejolak. Namun, Jerico yang sekarang hanya membuatnya merasa jijik.

Dia berbalik, mendorong pria itu. Sorot mata penuh kebencian dan jijik tampak jelas di matanya.

"Jangan menyentuhku, kamu sangat kotor."

Kilatan sedih melintas di mata Jerico. Dia menganggap tangan wanita di hadapannya, lalu berkata dengan sungguh-sungguh, "Bukankah selama ini kamu menginginkan seorang anak? Mari kita punya anak sekarang juga, oke?"

Melihat ekspresi pria itu, seolah-olah memiliki anak bersama adalah hal yang wajar setelah pengkhianatan yang dilakukannya, Rhea langsung menepis tangan pria itu.

"Itu dulu. Mungkin kelak aku akan punya anak, tapi nggak mungkin anakmu."

Ucapan Rhea menyulut amarah Jerico. Dia langsung menarik tangan wanita itu, melemparnya ke tempat tidur, lalu naik di atas tubuhnya.

"Coba kamu ulangi sekali lagi!"

Melihat sorot mata penuh amarah pria itu, Rhea sama sekali tidak peduli.

"Mau kuulangi berapa kali pun tetap sama. Sekarang melihatmu saja sudah membuatku jijik. Kamu memintaku untuk melahirkan anak untukmu? Aku lebih memilih mati."

Begitu dia selesai berbicara, dia langsung dicium oleh Jerico dengan ganas.
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Melva Edri Helena
cerita nya sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status