Share

Bab 4

Rhea tertegun sejenak, lalu meronta dengan sekuat tenaganya.

Selama mengingat pria itu baru saja mencium wanita lain semalam, dia hanya merasa jijik sekaligus marah.

"Hmmphhhh ... lepaskan ...."

Upaya yang dilakukan oleh Rhea sama sekali tidak berarti apa-apa dihadapkan dengan kekuatan luar biasa Jerico. Tangannya yang sedang melingkari pinggang wanita itu bukan hanya tidak mengendur, tetapi malah makin erat.

Karena meronta dengan sekuat tenaga, tak lama kemudian handuk yang menutupi tubuh Rhea pun terlepas. Dari sudut pandang Jerico, dada wanita itu terekspos dengan sangat jelas.

Begitu melihat pemandangan menggoda itu, sorot matanya langsung berubah menjadi gelap. Dia hanya merasakan gairah menjalar di sekujur tubuhnya.

Jarak antara tubuh mereka sangat dekat, bahkan hampir menempel satu sama lain. Karena itulah, Rhea segera menyadari perubahan dalam tubuh Jerico.

Dia merasa kesal sekaligus marah. Dia langsung mengambil tindakan dengan menggigit pria itu dengan keras. Saat itu juga, aroma amis darah menguar di antara mereka.

Namun, pria itu bukan hanya tidak melepaskannya, melainkan satu tangan pria itu sudah masuk ke balik handuk.

Dia baru selesai mandi, belum sempat memakai apa pun.

Tubuh Rhea membeku sejenak. Kemudian, dia meronta makin keras lagi.

"Jerico, minggir kamu!"

Seolah-olah tidak mendengar ucapannya, jari-jari Jerico terus memainkan titik sensitifnya.

"Rhea, kamu juga membutuhkanku, 'kan?"

Rhea terus meronta, tetapi upayanya sia-sia saja. Makin lama, hatinya makin diliputi keputusasaan.

Pada akhirnya, saat pria itu hendak melakukan hal itu padanya, dia memejamkan matanya dengan putus asa.

"Jerico, jangan membuatku membencimu."

Pergerakan Jerico langsung terhenti. Saat dia menundukkan kepalanya dan menatap Rhea, sorot mata terkejut tampak jelas di matanya.

Dia tidak pernah melihat sosok Rhea yang seperti ini. Saat ini, sekujur tubuh wanita itu dipenuhi aura keputusasaan dan penderitaan. Wanita itu seperti boneka yang rapuh.

Dia menginginkan wanita itu, benar-benar sangat menginginkan wanita itu.

Namun, pada saat bersamaan, ada sebuah suara dalam hatinya yang memberitahunya bahwa kalau dia benar-benar memaksakan kehendaknya pada wanita itu, maka hubungan mereka benar-benar sudah berakhir.

Jerico menatap wanita itu dengan lekat, genggamannya pada pinggang wanita itu masih sangat erat, tetapi sorot matanya diliputi keraguan.

Belasan detik kemudian, tiba-tiba dia melepaskan wanita itu, lalu turun dari tempat tidur dan pergi.

"Bam!"

Pintu kamar dibanting hingga tertutup dengan keras. Suara hantaman pintu itu membuat tubuh Rhea gemetaran, cengkeramannya pada selimut juga makin erat.

Beberapa hari berikutnya, Jerico tidak pulang ke rumah.

Rhea sudah menghubunginya lagi dan lagi, ingin meminta pria itu untuk pulang dan membicarakan tentang perceraian. Namun, sama sekali tidak ada tanggapan dari pria itu.

Hari demi hari berlalu dengan cepat, akhir pekan sudah datang. Rhea sedang duduk di ruang tamu, mempersiapkan CV-nya, hendak mencari pekerjaan. Tiba-tiba, pintu vila terbuka, lalu Jerico berjalan masuk.

Beberapa hari tidak bertemu, pria itu tampak sangat lemah dan letih.

Tatapan keduanya bertemu, tetapi tidak ada di antara mereka yang berbicara.

Rhea yang terlebih dahulu memecah keheningan. Dia menutup laptopnya, beranjak dari tempat duduknya, lalu menatap pria itu dengan tenang.

"Karena kamu sudah pulang, mari kita bicarakan tentang perceraian."

Jerico mengerutkan keningnya dan berkata, "Sudah kubilang, aku nggak akan bercerai. Hari ini, aku pulang untuk mengingatkanmu, malam ini kita pergi ke kediaman Keluarga Thamnin untuk makan bersama."

Setiap satu bulan sekali, Keluarga Thamnin mengadakan perjamuan makan keluarga. Sejak menikah dengan Jerico, Rhea selalu mengikuti pria itu pulang ke kediaman Keluarga Thamnin sebulan sekali.

Anggota Keluarga Thamnin sulit diajak berinteraksi, mereka juga cenderung merendahkan dirinya. Setiap kali ke sana, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, mereka selalu mempersulit Rhea.

Dulu, dia masih bisa menghibur dirinya sendiri. Dengan memiliki cinta dari Jerico saja, sudah cukup baginya. Dia tidak perlu memikirkan hal lain lagi. Namun, setelah menyaksikan adegan malam itu, dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri lagi.

"Aku nggak ingin pergi, kamu pergi sana sendiri."

Ekspresi Jerico tampak sedikit tidak berdaya, sorot matanya juga terlihat sedikit tidak sabar.

"Rhea, sebenarnya kamu mau ribut-ribut seperti ini sampai kapan?"

Selama beberapa hari ini, dia selalu mengabaikan panggilan telepon dan pesan dari Rhea. Dia ingin wanita itu menenangkan diri terlebih dahulu. Namun, tak disangka, sikap wanita itu terhadap dirinya masih sama seperti sebelumnya.

"Aku nggak berniat ribut-ribut denganmu, aku hanya ingin bercerai denganmu."

Begitu mendengar kata bercerai, sedikit kesabaran yang tersisa dalam diri Jerico langsung terkuras habis. Dia menatap Rhea dengan tatapan seperti sedang menatap orang yang aneh.

"Bercerai? Sejak kamu menikah denganku, kamu nggak pernah pergi bekerja lagi. Setelah bercerai, bagaimana kamu bisa bertahan hidup? Perusahaan mana yang menginginkanmu? Selain itu, apa kamu mampu mengeluarkan biaya pengobatan ayahmu yang setinggi langit itu?"

"Rhea, kamu bukan seorang gadis yang berumur tujuh belas tahun lagi. Sekarang kamu sudah berumur dua puluh delapan tahun. Bisakah kamu bersikap sedikit dewasa?"

"Aku adalah presdir Grup Thamnin, selalu saja ada berbagai godaan di luar sana. Jadi, wajar saja terkadang aku nggak bisa menahan godaan itu. Tapi, wanita-wanita itu nggak akan pernah bisa mempengaruhi posisimu sebagai Nyonya Thamnin. Jadi, apa lagi yang kamu inginkan?"

Rhea sendiri juga mengerti, pria itu masih mencintainya, tetapi pria itu tidak akan setia padanya selamanya.

Melihat sikap Jerico saat ini, Rhea sama sekali tidak bisa menghubungkan pria di hadapannya ini dengan pemuda yang kala itu masih malu-malu, seorang pemuda yang mengungkapkan perasaan padanya dengan wajah memerah, serta berjanji padanya tidak akan membuatnya bersedih selamanya.

Mungkin ... inilah karakter asli Jerico. Pria itu adalah sosok yang egois dan arogan.

"Kalau dewasa yang kamu maksud itu adalah mengizinkanmu untuk menjalin hubungan dengan wanita-wanita di luar sana sesuka hatimu, maaf saja, aku nggak akan bisa tumbuh dewasa. Kamu cari saja wanita lain. Ini adalah surat perceraian yang dibuat oleh pengacara. Setelah kamu senggang, kamu tanda tangani saja."

Melihat dokumen yang disodorkan oleh Rhea padanya, Jerico menerima dokumen itu dengan memasang ekspresi menyindir. Begitu melihat bagian pembagian harta, dia tertawa dingin.

"Ah, aku nggak menyangka, ternyata kamu serakah juga, ya. Bisa-bisanya kamu menginginkan setengah dari asetku, apa kamu pikir itu memungkinkan?"

"Oh? Itu adalah hakku, mengapa nggak memungkinkan?"

Jerico terkekeh pelan, lalu berkata dengan tenang, "Coba kamu lihat rumah ini, apa yang kamu beli dengan mengeluarkan uangmu sendiri? Selain itu, selama kita menikah beberapa tahun ini, aku yang selalu menanggung biaya pengobatan ayahmu. Kalau benar-benar dihitung dengan saksama, seharusnya kamu yang memberiku uang. Bagaimana kalau aku meminta pengacara untuk menghitung semua ini?"

Melihat ekspresi sinis pria itu, Rhea benar-benar tidak berani memercayai dulu dia pernah mencintai seseorang seperti itu.

Harus dia akui bahwa pria itu benar-benar pandai berpura-pura, sampai-sampai sebelum dia mendapati pria itu berselingkuh, dia selalu beranggapan bahwa pria itu adalah pria yang paling baik di dunia ini.

"Jerico, jangan lupa, kala itu kalau bukan aku memberimu hak paten itu, kamu juga nggak mungkin bisa menduduki posisi sebagai presdir Grup Thamnin dengan tenang. Selain itu, setelah menikah, kamu yang memintaku untuk menjadi ibu rumah tangga. Kalau aku melanjutkan penelitianku, uang yang kuperoleh pasti jauh lebih banyak dibandingkan uang yang kamu berikan padaku beberapa tahun ini!"

Jerico tidak peduli, dia berkata dengan acuh tak acuh, "Menurutmu, kalau sekarang kamu mengungkit tentang hak paten itu, siapa yang akan memercayaimu?"

"Aku juga nggak ingin mempermasalahkan tentang uang padamu. Tapi, kalau kamu bersikeras ingin bercerai, aku terpaksa menghitung semuanya dengan jelas."

"Rhea, selama kamu nggak mengungkit tentang bercerai lagi, kamu tetap bisa menggunakan uangku sesuka hatimu."

"Jerico, kamu benar-benar nggak tahu malu!"

Karena pria itu tidak bersedia untuk bercerai, dia terpaksa mencari pengacara untuk mengajukan tuntutan perceraian.

Saat dia berbalik dan hendak pergi, Jerico langsung menghentikannya.

"Cepat ganti pakaianmu, ikut aku hadiri perjamuan makan malam keluargaku."

"Sudah kubilang, aku nggak akan pergi. Kamu katakan saja pada mereka aku nggak enak badan."

Begitu Rhea selesai berbicara, Jerico langsung menarik pergelangan tangannya dan berkata dengan suara dalam, "Rhea, kesabaranku sudah hampir terkuras habis, jangan memaksaku untuk memutus biaya pengobatan ayahmu!"

"Awas saja kalau kamu berani!"

Jerico langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sekretarisnya. "Halo, mengenai biaya pengobatan bulan depan ayah mertuaku ...."

Tidak menyangka pria itu benar-benar akan melakukan tindakan seperti itu, mata Rhea langsung memerah saking kesalnya. Dia langsung merampas ponsel pria itu dan memutuskan panggilan telepon.

"Jerico, jangan keterlaluan."

"Aku? Keterlaluan?"

Jerico menatap Rhea dengan tatapan meremehkan, lalu menarik wanita itu ke hadapannya dan berkata dengan arogan, "Rhea, semua yang kamu miliki sekarang adalah pemberianku. Apa kamu nggak merasa kamu yang keterlaluan? Cepat ganti pakaian. Kalau nggak, aku punya banyak cara untuk menundukkanmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status