Dalam beberapa hari terakhir, Wina menghabiskan lebih banyak waktu untuk tidur daripada bangun.Bahkan ketika dia bangun, dia hanya bisa berbicara beberapa kata dan tertidur lagi.Rian terus menemaninya di samping, sama sekali tidak bergerak. Wajahnya sedikit pucat dan muncul kumis tipis. Dia tampak kelelahan.Sara membujuknya untuk istirahat, tetapi dia tidak mau. Sara tidak bisa memaksanya, jadi tidak memedulikannya lagi.Sara berpikir Wina mungkin ingin makan sesuatu setelah bangun, jadi pergi menyiapkannya dulu meski Wina mungkin tidak akan bisa makan.Setelah memberi tahu Rian bahwa dirinya pergi membeli bubur, Sara pun meninggalkan kamar rawat dan turun ke bawah.Tidak lama kemudian, Wina terbangun. Pembengkakan di tangan dan kakinya membuatnya tidak bisa bergerak.Wina bisa menebak kalau wajahnya mungkin bengkak juga dan pasti terlihat sangat jelek.Dia merasakan tangan Rian memegang tangannya begitu kuat hingga jantungnya berhenti sejenak.Dia menelan ludahnya dan berbicara den
Saat Wina mentertawakan dirinya sendiri, saluran pernapasannya tiba-tiba menegang. Dia terbatuk-batuk sampai mengeluarkan darah dan langsung memenuhi seluruh masker oksigennya."Wina!"Seketika, Rian terlihat pucat dan bergegas menekan bel untuk memanggil dokter. Dia berlutut dengan satu kaki, mengambil tisu, membuka masker oksigen itu dan menahan darah yang dibatukkan Wina.Ketika darah mengalir ke tisu dan menodai jari-jarinya, sekujur tubuh Rian gemetar.Dia mengulurkan tangan yang satu lagi, mencoba menyeka darah dari sudut mulutnya. Namun, semakin dia menyeka, semakin banyak darah yang keluar ....Darah mengalir di pipi Wina, menodai pakaian dan bantalnya.Warna merah pekat itu sangat menusuk mata dan jantung Rian, membuatnya tidak bisa berhenti gemetar.Ketika mendengar bel berbunyi, perawat segera memanggil dokter yang merawat Wina dan Dokter Lilia.Melihat Wina terbatuk-batuk seperti itu, Lilia segera memerintahkan dokter lain untuk mendorongnya ke ruang gawat darurat.Mereka y
Rian berpegangan pada dinding dan masuk ke ruang gawat darurat selangkah demi selangkah.Tubuh kurus itu tergeletak di meja operasi, tampak tak ada vitalitas.Kalau bukan karena matanya yang tertutup bulu mata panjang yang masih bergerak, Wina seperti sudah tidak bernyawa.Darah di wajah Wina telah dibersihkan, memperlihatkan wajah kecil pucat dan sakit-sakitan.Wina secantik biasanya, seperti bunga higanbana yang disinari cahaya yang begitu indah.Sangat disayangkan bahwa bunga higanbana bukan milik dunia manusia. Wina ditakdirkan untuk kembali ke tempatnya pada saat yang paling indah."Wina ...."Rian berlutut di depan meja operasi, membungkuk, merendahkan suaranya dan memanggil namanya dengan lembut di samping telinga Wina.Suara yang lembut itu mengembalikan kesadaran Wina yang akan menghilang.Wina perlahan membuka matanya yang lelah, dia ingin melihat Ivan untuk terakhir kalinya, tetapi dia tidak dapat melihat apa pun."I ... van ...."Dia kesulitan untuk menyebut namanya, kesada
Wina kali ini dapat melihat dengan jelas bahwa Jihan yang mengenakan jas hitam datang menghampirinya.Seperti pertama kali bertemu, Jihan berjalan ke arahnya selangkah demi selangkah dengan langkah yang mantap.Jihan mengulurkan tangan ke arahnya, menundukkan kepala dan berkata dengan lembut padanya, "Wina, aku di sini ...."Suaranya lembut ....Jihan tidak pernah berbicara selembut itu dengannya.Kesadaran Wina berangsur-angsur kembali. Ketika dia membuka matanya lagi, yang terlihat hanyalah kegelapan tak berujung.Ada yang bilang orang akan mengalami halusinasi sebelum meninggal. Barusan yang dilihat Wina hanyalah imajinasinya saja.Jauh di lubuk hatinya, Wina ingin sekali bertemu Jihan untuk terakhir kalinya. Sayangnya, Jihan tidak pernah muncul.Melihat Wina tetap melihat ke luar pintu meski Sara sudah datang, Rian sepertinya mengerti sesuatu.Setelah menghilangkan kekalutan di hatinya, Rian segera berkata kepada Lilia, "Cepat telepon Jihan! Minta dia datang untuk menemuinya yang t
"Bip ...."Terdengar bunyi yang keras dan panjang dari elektrokardiogram.Wina yang berbaring di meja operasi pergi begitu saja.Sara menangis sampai pingsan dan Lilia buru-buru membawanya ke ruangan sebelah untuk diberikan pertolongan pertama.Hanya Rian yang tetap berlutut, tidak bergerak, memandangi Wina.Setelah beberapa menit, Rian menggendong tubuh mungil itu dan berjalan keluar.Lilia yang baru keluar dari ruang gawat darurat di sebelah, dengan cepat melangkah maju untuk menghentikannya, "Pak Rian, permintaan terakhir Nona Wina adalah ingin segera dikremasi ...."Rian yang terlihat mati rasa itu meliriknya dan berkata, "Aku tahu."Dia menundukkan kepalanya, menatap dalam-dalam ke wajah kecil pucat itu dan berbisik, "Aku hanya ingin mengganti pakaiannya."Pakaian Wina kotor terkena darah dari tangannya, Rian tahu Wina selalu ingin tampil cantik, jadi pasti tidak ingin dikremasi dengan pakaian seperti itu.Sikap Rian yang begitu tenang mengejutkan Lilia. 'Bukankah dia sangat menci
Saat malam tiba, pintu besi terbuka dan seorang anggota staf keluar sambil membawa sebuah guci abu."Mendiang Wina telah dikremasi. Siapa anggota keluarganya? Silakan datang dan ambil guci abunya."Pengawal Rian segera melangkah maju dan mengambil guci abu dan kartu identitas Wina.Setelah mengambilnya, pengawal itu membungkuk untuk menyerahkan guci abu itu kepada Rian yang terlihat seperti kehilangan separuh nyawa."Pak Rian, sudah waktunya mengantar kepergian Nona Wina atau Nona Wina nggak akan bisa pergi dengan tenang dan menjadi ...."Menjadi hantu yang kesepian.Pengawal itu tidak berani mengucapkan kata-kata tersebut, tetapi itu cukup untuk menyadarkan Rian.Pandangan Rian perlahan berpindah ke guci abu.Menghadapi orang yang sebelumnya masih hidup telah berubah menjadi segenggam abu, Rian dalam sekejap merasa putus asa.Pada saat ini, hujan mulai turun dengan deras. Seperti pada malam dia mengalami kecelakaan mobil.Butiran-butiran air hujan yang sebesar kacang berjatuhan di ram
Rian membawa abu guci Wina kembali ke vila yang pernah dikunjungi Wina sebelumnya. Rian merasa Wina akan merasa aman di sini.Eli, pelayan di vila, kaget saat melihat tuannya kembali sambil memegang sebuah guci abu dan terlihat sangat bersedih.Namun, ketika melihat Yuno dan para pengawal menunjukkan ekspresi penyesalan yang sama, Eli perlahan-lahan mengerti.Meskipun tidak tahu siapa pemilik abu di guci itu, yang pasti kerabat tuannya."Tuan, akan kusiapkan ruangan untuk berkabung...."Rian tidak menjawab, tetapi ketika Eli hendak pergi, dia menghentikannya."Buatlah sebuah nisan bertuliskan namanya."Eli bertanya kepada Rian, "Tuan, siapa namanya?"Rian menunduk untuk melihat guci abu itu dan menjawab dengan penuh kasih sayang, "Istriku, Wina Septa."Eli tertegun sejenak. 'Wina Septa? Apakah Nona Wina yang pernah datang kemari itu?''Wanita yang sangat cantik tapi sedikit lemah itu?'Eli tidak berani bertanya. Setelah mengiakan perintah Rian, dia segera pergi mempersiapkan.Rian mele
Setelah menangis cukup lama sampai suara serak, Sara memaksakan diri untuk bangun dari sofa.Dia masih harus membereskan barang peninggalan Wina dan mengambil beberapa pakaian untuk Wina yang berada di alam sana.Oleh karena itu, dia harus tegar dan memilih beberapa pakaian cantik untuk Wina.Sara melangkahkan kakinya yang terasa berat itu menuju ke kamar Wina.Melihat barang-barang peninggalan Wina, air mata Sara kembali jatuh lagi.Setelah menangis beberapa saat, Sara menyeka air matanya dan mulai memilah barang-barang milik Wina.Dia mengambil pakaian dari lemari, beberapa pasang sepatu dari rak sepatu dan beberapa selimut.Sisanya tidak disentuh. Sara tidak rela membakar semuanya, jadi meninggalkan sebagian untuk dikenang.Setelah mengemasi semua barang dan hendak keluar, Sara tiba-tiba berhenti dan melihat ke arah meja.Seakan ada yang menyuruhnya berjalan ke meja, lalu membuka laci di meja itu.Di dalam laci hanya ada sebuah buku catatan dan amplop bertulisan "Surat Perpisahan".
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je