Saat malam tiba, pintu besi terbuka dan seorang anggota staf keluar sambil membawa sebuah guci abu."Mendiang Wina telah dikremasi. Siapa anggota keluarganya? Silakan datang dan ambil guci abunya."Pengawal Rian segera melangkah maju dan mengambil guci abu dan kartu identitas Wina.Setelah mengambilnya, pengawal itu membungkuk untuk menyerahkan guci abu itu kepada Rian yang terlihat seperti kehilangan separuh nyawa."Pak Rian, sudah waktunya mengantar kepergian Nona Wina atau Nona Wina nggak akan bisa pergi dengan tenang dan menjadi ...."Menjadi hantu yang kesepian.Pengawal itu tidak berani mengucapkan kata-kata tersebut, tetapi itu cukup untuk menyadarkan Rian.Pandangan Rian perlahan berpindah ke guci abu.Menghadapi orang yang sebelumnya masih hidup telah berubah menjadi segenggam abu, Rian dalam sekejap merasa putus asa.Pada saat ini, hujan mulai turun dengan deras. Seperti pada malam dia mengalami kecelakaan mobil.Butiran-butiran air hujan yang sebesar kacang berjatuhan di ram
Rian membawa abu guci Wina kembali ke vila yang pernah dikunjungi Wina sebelumnya. Rian merasa Wina akan merasa aman di sini.Eli, pelayan di vila, kaget saat melihat tuannya kembali sambil memegang sebuah guci abu dan terlihat sangat bersedih.Namun, ketika melihat Yuno dan para pengawal menunjukkan ekspresi penyesalan yang sama, Eli perlahan-lahan mengerti.Meskipun tidak tahu siapa pemilik abu di guci itu, yang pasti kerabat tuannya."Tuan, akan kusiapkan ruangan untuk berkabung...."Rian tidak menjawab, tetapi ketika Eli hendak pergi, dia menghentikannya."Buatlah sebuah nisan bertuliskan namanya."Eli bertanya kepada Rian, "Tuan, siapa namanya?"Rian menunduk untuk melihat guci abu itu dan menjawab dengan penuh kasih sayang, "Istriku, Wina Septa."Eli tertegun sejenak. 'Wina Septa? Apakah Nona Wina yang pernah datang kemari itu?''Wanita yang sangat cantik tapi sedikit lemah itu?'Eli tidak berani bertanya. Setelah mengiakan perintah Rian, dia segera pergi mempersiapkan.Rian mele
Setelah menangis cukup lama sampai suara serak, Sara memaksakan diri untuk bangun dari sofa.Dia masih harus membereskan barang peninggalan Wina dan mengambil beberapa pakaian untuk Wina yang berada di alam sana.Oleh karena itu, dia harus tegar dan memilih beberapa pakaian cantik untuk Wina.Sara melangkahkan kakinya yang terasa berat itu menuju ke kamar Wina.Melihat barang-barang peninggalan Wina, air mata Sara kembali jatuh lagi.Setelah menangis beberapa saat, Sara menyeka air matanya dan mulai memilah barang-barang milik Wina.Dia mengambil pakaian dari lemari, beberapa pasang sepatu dari rak sepatu dan beberapa selimut.Sisanya tidak disentuh. Sara tidak rela membakar semuanya, jadi meninggalkan sebagian untuk dikenang.Setelah mengemasi semua barang dan hendak keluar, Sara tiba-tiba berhenti dan melihat ke arah meja.Seakan ada yang menyuruhnya berjalan ke meja, lalu membuka laci di meja itu.Di dalam laci hanya ada sebuah buku catatan dan amplop bertulisan "Surat Perpisahan".
Saat Sara membaca surat itu, dia sudah menangis terisak-isak.Kartu bank yang diselipkan di dalam surat itu seperti sepotong besi tua, menekan jantungnya dengan kuat, sama sekali tidak bisa dilepaskan.Bodohnya. Sebelum meninggal masih khawatir aku nggak punya uang, tapi ....'"Wina, aku nggak butuh uangmu, aku hanya ingin kamu kembali ...."Sara meremas surat di tangannya. Dia belum pernah merasakan kerinduan yang membuatnya menangis begitu keras dan merasa hatinya hancur.Pada akhirnya, Sara tertidur karena kelelahan. Bahkan dalam mimpinya dia melihat Wina yang kembali padanya.Karena masih tidak bisa merelakan kepergian Wina, Sara pun memimpikannya.Ketika bangun, kembali ke dunia nyata, Sara merasa tidak berdaya. Seperti terjatuh ke dasar jurang. Rasa sakit yang memenuhi hatinya membuatnya kesulitan untuk bernapas.Dia membuka matanya yang bengkak, menatap ke langit-langit. Tatapannya hampa. Seluruh dunia begitu hening, seakan hanya tersisa dirinya.Tidak tahu sudah berapa lama wak
Winata yang ingin menyambut Jihan dengan senyuman malah tertegun karena suara dingin Jihan.Winata menghampiri Jihan, menatapnya dengan sedikit kecewa dan berkata, "Jihan, kamu nggak senang aku ada di sini?"Tidak ada ekspresi apa pun di wajah Jihan, dia hanya menatap Winata dengan tajam. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Jihan sekali lagi.Vila ini merupakan vila pribadi Jihan di Kota Oston dan hampir tidak ada orang yang mengetahuinya. Kemunculan Winata secara tiba-tiba menunjukkan Winata mengikutinya.Winata sedikit ketakutan melihat tatapan Jihan. Namun setelah mundur selangkah, dia merasa tidak puas, mengencangkan handuk yang membalut tubuhnya dan mendekat ke Jihan."Jihan, Bibi Ellen mengetahui keberadaanmu dengan baik. Dia memintaku untuk datang ke sini karena menurutnya setelah aku kembali dari studiku, harus ada kemajuan dalam hubungan kita ...."Winata dengan berani mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Jihan, tetapi sebelum tersentuh Jihan sudah menghindarinya.Jihan bah
Setelah selesai berbicara, Daris menengadah dan menatap Jihan.Tidak ada perubahan ekspresi di wajah Jihan yang sedingin es itu.Daris tidak tahu apakah Jihan tidak mendengar dengan jelas atau Jihan tidak peduli dengan kematian Wina. 'Kenapa dia nggak ada reaksi sama sekali?' pikir Daris.Karena tidak mendapat respons, Daris pun berkata dengan canggung, "Kalau begitu, Pak Jihan, aku permisi dulu."Saat Daris berbalik untuk pergi, terdengar suara suram datang dari belakangnya."Siapa yang kamu bilang meninggal?"Daris mengernyit. 'Aku yang mengatakannya kurang jelas atau Pak Jihan yang benar-benar nggak mendengar dengan jelas?'Setelah memikirkan itu, Daris berbalik menghadap kembali pria yang berdiri di ruangan itu yang seluruh tubuhnya mengeluarkan hawa dingin."Wina Septa, Nona Wina."Daris takut Jihan tidak mendengar dengan jelas, jadi sengaja menekan suaranya saat menyebut nama Wina.Ekspresi Jihan semakin dingin dan dia bertanya, "Apa kamu bercanda? Bukannya dia baik-baik saja, ba
Sara sungguh tidak habis pikir dan berseru, "Apa menurutmu dia sedang menipumu? Apa kamu sudah nggak waras? Apa kamu lupa bagaimana kamu, tunanganmu dan adik sepupumu memukulinya? Dia sudah menderita gagal jantung stadium akhir dan kamu masih menancapkan sebuah paku di bagian belakang kepalanya! Apa kamu pikir dia masih bisa hidup setelah diperlakukan seperti itu?"Setelah mengatakan itu semua, Sara tiba-tiba menangis. Memikirkan Wina diperlakukan dengan kejam seperti itu sebelum meninggal dunia, Sara merasa sangat kesakitan. "Jihan, kenapa kamu begitu kejam padanya? Sia-sia Wina menuliskan pesan perpisahan untukmu sebelum dia meninggal ...."Suara tangisan dan amarah Sara membuat hati Jihan menegang tak terkendali.Jihan ingin mengendalikan emosinya, tetapi mendapati dia tidak bisa mengendalikan emosinya semudah biasanya.Sebaliknya, semakin dia berusaha mengendalikannya, dia menjadi semakin panik. Oleh karena itu, Jihan pun berhenti peduli dengan kepanikan yang menyebar secara sembar
Rian memilih tempat kuburan yang menghadap pemandangan malam Kota Aster.Gunung indah di seberangnya adalah tempat yang pernah dia dan Wina kunjungi sebelumnya.Saat itu, Wina berkata bahwa dia sangat menyukainya tempat tersebut dan meminta Rian untuk sering mengajaknya ke tempat itu di masa depan.Namun, Rian mengingkari janjinya, dia tidak pernah membawa Wina ke tempat itu dan melupakannya.Rian menatap guci abu di pelukannya. Matanya sangat marah dan dipenuhi rasa bersalah."Wina, maafkan aku ...."Saat menghampiri Rian sambil membawa barang-barang milik Wina, Sara kebetulan mendengar permintaan maafnya.Sara berhenti, melihat ke arah Rian yang sedang memeluk guci abu dan enggan melepaskannya. Untuk sesaat, Sara merasa bahwa Rian cukup menyedihkan.Mereka awalnya adalah sepasang kekasih, tetapi terpisahkan karena takdir. Sara pun merasa Rian pasti merasa lebih menyesal daripada dirinya.Sara menahan air mata yang akan keluar, mendorong koper ke depan Rian dan berkata dengan lembut,