Winata yang ingin menyambut Jihan dengan senyuman malah tertegun karena suara dingin Jihan.Winata menghampiri Jihan, menatapnya dengan sedikit kecewa dan berkata, "Jihan, kamu nggak senang aku ada di sini?"Tidak ada ekspresi apa pun di wajah Jihan, dia hanya menatap Winata dengan tajam. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Jihan sekali lagi.Vila ini merupakan vila pribadi Jihan di Kota Oston dan hampir tidak ada orang yang mengetahuinya. Kemunculan Winata secara tiba-tiba menunjukkan Winata mengikutinya.Winata sedikit ketakutan melihat tatapan Jihan. Namun setelah mundur selangkah, dia merasa tidak puas, mengencangkan handuk yang membalut tubuhnya dan mendekat ke Jihan."Jihan, Bibi Ellen mengetahui keberadaanmu dengan baik. Dia memintaku untuk datang ke sini karena menurutnya setelah aku kembali dari studiku, harus ada kemajuan dalam hubungan kita ...."Winata dengan berani mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Jihan, tetapi sebelum tersentuh Jihan sudah menghindarinya.Jihan bah
Setelah selesai berbicara, Daris menengadah dan menatap Jihan.Tidak ada perubahan ekspresi di wajah Jihan yang sedingin es itu.Daris tidak tahu apakah Jihan tidak mendengar dengan jelas atau Jihan tidak peduli dengan kematian Wina. 'Kenapa dia nggak ada reaksi sama sekali?' pikir Daris.Karena tidak mendapat respons, Daris pun berkata dengan canggung, "Kalau begitu, Pak Jihan, aku permisi dulu."Saat Daris berbalik untuk pergi, terdengar suara suram datang dari belakangnya."Siapa yang kamu bilang meninggal?"Daris mengernyit. 'Aku yang mengatakannya kurang jelas atau Pak Jihan yang benar-benar nggak mendengar dengan jelas?'Setelah memikirkan itu, Daris berbalik menghadap kembali pria yang berdiri di ruangan itu yang seluruh tubuhnya mengeluarkan hawa dingin."Wina Septa, Nona Wina."Daris takut Jihan tidak mendengar dengan jelas, jadi sengaja menekan suaranya saat menyebut nama Wina.Ekspresi Jihan semakin dingin dan dia bertanya, "Apa kamu bercanda? Bukannya dia baik-baik saja, ba
Sara sungguh tidak habis pikir dan berseru, "Apa menurutmu dia sedang menipumu? Apa kamu sudah nggak waras? Apa kamu lupa bagaimana kamu, tunanganmu dan adik sepupumu memukulinya? Dia sudah menderita gagal jantung stadium akhir dan kamu masih menancapkan sebuah paku di bagian belakang kepalanya! Apa kamu pikir dia masih bisa hidup setelah diperlakukan seperti itu?"Setelah mengatakan itu semua, Sara tiba-tiba menangis. Memikirkan Wina diperlakukan dengan kejam seperti itu sebelum meninggal dunia, Sara merasa sangat kesakitan. "Jihan, kenapa kamu begitu kejam padanya? Sia-sia Wina menuliskan pesan perpisahan untukmu sebelum dia meninggal ...."Suara tangisan dan amarah Sara membuat hati Jihan menegang tak terkendali.Jihan ingin mengendalikan emosinya, tetapi mendapati dia tidak bisa mengendalikan emosinya semudah biasanya.Sebaliknya, semakin dia berusaha mengendalikannya, dia menjadi semakin panik. Oleh karena itu, Jihan pun berhenti peduli dengan kepanikan yang menyebar secara sembar
Rian memilih tempat kuburan yang menghadap pemandangan malam Kota Aster.Gunung indah di seberangnya adalah tempat yang pernah dia dan Wina kunjungi sebelumnya.Saat itu, Wina berkata bahwa dia sangat menyukainya tempat tersebut dan meminta Rian untuk sering mengajaknya ke tempat itu di masa depan.Namun, Rian mengingkari janjinya, dia tidak pernah membawa Wina ke tempat itu dan melupakannya.Rian menatap guci abu di pelukannya. Matanya sangat marah dan dipenuhi rasa bersalah."Wina, maafkan aku ...."Saat menghampiri Rian sambil membawa barang-barang milik Wina, Sara kebetulan mendengar permintaan maafnya.Sara berhenti, melihat ke arah Rian yang sedang memeluk guci abu dan enggan melepaskannya. Untuk sesaat, Sara merasa bahwa Rian cukup menyedihkan.Mereka awalnya adalah sepasang kekasih, tetapi terpisahkan karena takdir. Sara pun merasa Rian pasti merasa lebih menyesal daripada dirinya.Sara menahan air mata yang akan keluar, mendorong koper ke depan Rian dan berkata dengan lembut,
Jihan menghampiri Rian dan Sara, lalu bertanya dengan dingin, "Di mana dia?"Ini kedua kali Sara bertemu Jihan, pertama kali saat Jihan datang menjemput Wina secara langsung.Saat itu, Jihan tidak keluar dari mobilnya, jadi Sara hanya melihat wajah sampingnya.Saat itu, Sara mengira Jihan hanya seorang pria yang berasal dari keluarga kaya, memiliki gen yang baik dan tampan.Sekarang, Sara sedikit kaget dan takut ketika berdiri berhadapan dengan Jihan.Bukan karena parasnya, melainkan karena aura mendominasi yang terpancar dari tubuhnya.Temperamen yang mulia, dingin dan tidak mudah didekati orang asing milik Jihan sudah ada sejak lahir, membuat orang-orang yang melihatnya gemetar.Rian langsung mencibir Jihan yang masih bersikap arogan setelah datang terlambat."Ingin menemuinya?"Rian mengulurkan jarinya dan menunjuk ke kuburan di belakang, "Ada di sana."Pandangan Jihan mengikuti jari Rian. Di saat dia melihat foto di batu nisan itu, wajah Jihan seketika menjadi pucat.Selanjutnya, s
Perkataan Rian membuat kuku-kuku Jihan semakin menancap dalam di telapak tangannya.Bahkan rasa sakit di telapak tangannya itu tidak mampu menghilangkan rasa sakit di hatinya.Perasaan sakit yang belum pernah Jihan rasakan sebelumnya, dengan cepat menyebar ke anggota tubuh dan tulangnya.Rasa sakit itu bagaikan arus listrik, yang mengalir masuk dan membuat sekujur tubuhnya terasa sakit.Meskipun sudah terasa sangat menyakitkan, Jihan masih tidak percaya kalau Wina sudah mati.'Bagaimana mungkin dia mati sebelum aku sempat bertemunya?''Dia pasti nggak mati! Dia pasti bersembunyi! Pasti!'Pandangan Jihan beralih dari Rian ke Sara.Sara terkejut ketika melihat mata Jihan yang sangat merah.'Bagaimana mungkin orang yang nggak berperasaan sepertinya bisa menunjukkan ekspresi seperti itu?'Sara hendak memalingkan muka, tetapi tangannya tiba-tiba diraih oleh Jihan."Antar aku ke rumahmu!"Setelah mengatakan itu, Jihan langsung menyeret Sara berjalan keluar dari tempat pemakaman."Jihan! Apa
Semua ucapan Sara sangat akurat dan membuat hati Jihan mendadak terasa hampa, seolah-olah dia telah kehilangan sesuatu.Jihan menggelengkan kepalanya, menatap Sara dengan mata yang begitu merah dan berkata, "Nggak, kalau dia mati, kalian nggak akan mengkremasi dia secepat ini ...."'Rian sangat mencintainya, nggak mungkin Rian rela mengkremasi dia seperti ini!'Sara menatap Jihan dengan dingin. Mendadak, dia merasa Jihan sangat menyedihkan. Setelah melihat semua bukti, Jihan masih tidak percaya pada kenyataan Wina sudah tidak ada di dunia.Sara terdiam sejenak, lalu berkata dengan dingin, "Setelah mendengar suara Winata, Wina sendiri yang meminta untuk segera dikremasi setelah dia meninggal."Dia sendiri yang meminta untuk segera dikremasi setelah meninggal ....''Apa karena aku nggak datang menemuinya untuk terakhir kali dan membiarkan Winata menyakitinya?''Jadi dia nggak membiarkanku melihatnya untuk terakhir kalinya? Meski hanya jasadnya?'Saat menyadari Wina pergi dengan membawa p
Jihan menutup matanya dengan satu tangan untuk mencegah Sara melihat betapa menyedihkan dirinya saat ini.Akan tetapi, Sara bisa melihat ada air yang mengalir keluar dari ujung jari Jihan. Saat melihat itu, Sara tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan.Sara ingin terus melukai perasaan Jihan dengan kata-katanya, tetapi dia merasa saat ini Jihan benar-benar rapuh.Teringat dengan apa yang ditinggalkan Wina, Sara pergi membuka laci dan menyerahkan surat yang hanya berisi beberapa kalimat itu kepada Jihan."Kalau bukan karena Wina menulis ini, aku nggak akan pernah membiarkanmu masuk."Sara meletakkan surat itu ke tangan Jihan, berbalik dan berjalan keluar.Jihan menatap surat di tangannya, tetapi mendadak tidak berani membukanya.Dia bersandar ke dinding. Setelah berdiam lebih dari sepuluh menit, dia pun perlahan membuka surat itu ...."Jihan.""Dia bilang 'jangan mengira aku akan mencintaimu'.""Ternyata dia nggak mencintaiku."Tiga kalimat itu membuat Jihan benar-benar putus asa da