Saat Wina masih terkejut, Emil tiba-tiba mengabaikan rasa sakit di pahanya, mengangkat kakinya dan menggunakan ujung sepatu untuk mengangkat dagu Wina."Jalang! Aku menjadi seperti ini karena orang-orang yang kamu kirim. Jadi aku harus berterima kasih padamu, 'kan?"Setelah kepalanya diangkat, Wina baru menyadari sorot mata Emil yang dipenuhi dengan kemarahan.Wina sebenarnya ketakutan, tetapi nalarnya membuatnya berpikir bukan waktunya untuk takut. Oleh karena itu, dia menggertakkan gigi dan memaksa dirinya untuk tenang."Pak Emil, apa kamu nggak salah paham? Aku nggak pernah mengirim siapa pun untuk mencelakaimu. Aku nggak kenal orang bertopeng yang kamu bilang itu ...."Sekalipun Emil tetap percaya bahwa Wina mengirim Tuan Malam, Wina tidak akan pernah mengakui bahwa dia mengenal Tuan Malam.Lagi pula, memang bukan Wina yang menyuruh Tuan Malam melakukan hal itu pada Emil. Wina sendiri baru tahu setelah melihat berita pada keesokan harinya.Selain itu, Wina juga merupakan korban."N
'Sakit ....'Sungguh sesak ....'Wina kesakitan sampai kesulitan bernapas.Namun, Emil tidak berniat melepaskannya pergi begitu saja.Emil memerintahkan dua pengawal untuk menekan Wina di wastafel dan memandang mereka dengan senyuman bejat."Satu-satunya penyesalanku adalah aku nggak pernah menidurimu. Tapi bisa melihat secara langsung cukup mengasyikkan juga, 'kan?"Wina merasa kata-kata itu lebih menyakitkan daripada rasa sakit di tubuhnya.Dia bahkan tidak peduli dengan luka di punggungnya dan sekuat tenaga menoleh ke belakang melihat Emil."Pak Emil, aku sungguh nggak tahu siapa pria bertopeng itu. Aku nggak tahu apa maksudmu aku bekerja sama denganmu Pak Wira."Wina tidak akan mengatakan dia kenal Tuan Malam itu. Karena dia tahu bahwa begitu dia mengatakannya, Emil pasti akan menyuruh dua pengawal itu menodainya.Wina tahu Emil menggunakan cara ini untuk memaksanya memberi tahu siapa Tuan Malam. Selama dia tidak memberi tahu, dia masih memiliki peluang untuk kabur.Emil selalu tah
Rian menatap Emil dengan sorot mata yang penuh amarah."Emil, berani-beraninya kamu menyentuh wanitaku! Itu berarti kamu cari mati!"Sambil menggendong Wina, Rian berjalan ke arah Emil dan menendang kursi rodanya.Tangan dan kaki Emil masih belum sembuh total, jadi tidak ada kekuatan. Setelah ditendang seperti itu, dia langsung jatuh tergeletak di lantai dan tidak bisa bergerak.Namun, Emil sama sekali tidak peduli. Dia menoleh, menatap Wina sambil tertawa sinis dan berkata."Wina, kamu sungguh hebat. Bahkan Rian bertekuk lutut padamu. Pantas saja kamu nggak ingin melakukannya denganku."Perkataan itu membuat Rian sangat muak.Seolah-olah seseorang telah mencemari harta karun yang ada di tangannya, membuatnya tiba-tiba menjadi paranoid dan menakutkan.Rian tiba-tiba seperti orang gila, dia menginjak mulut Emil dengan sepatu kulitnya yang berat.Dia mengerahkan seluruh kekuatannya, seolah ingin menghancurkan mulut Emil.Kekejaman yang keluar dari matanya akhirnya membuat Emil merasa tak
"Nggak ada," ujar Wina sambil menggeleng.Dibandingkan dengan luka kepala Rian, Wina merasa luka di punggungnya tidak seberapa."Kamu terluka parah, ayo ke rumah sakit dulu."Melihat tangannya berlumuran darah, Wina teringat kembali pada kecelakaan mobil lima tahun lalu.Hal ini membuat Wina semakin merasa bersalah. 'Dia dua kali terluka parah karena berusaha menyelamatkanku. Kenapa Rian ingin melindungiku seperti ini?'"Ya."Rian mengangguk, menuruti perkataan Wina. Ketika Rian yang menggendong Wina melintasi ruang perjamuan, beberapa pengawal melihat mereka dan segera menghampiri mereka.Melihat Rian terluka parah, mereka menyalahkan diri sendiri dan minta maaf karena tidak melindungi Rian dengan baik.Rian tidak memedulikan hal tersebut, dia hanya memerintah mereka untuk membawa Emil ke kantor polisi, lalu keluar menuju lobi hotel.Pakaian Wina sudah hancur berantakan, tetapi untungnya dia tutupi oleh mantel Rian yang besar.Namun, Wina masih merasa sedikit tidak nyaman karena takut
Ketika mendengar perkataan Wina itu, sorot mata Jihan semakin dingin.Wina tidak berani menatap Jihan yang seperti itu, jadi segera menoleh dan berkata pada Rian, "Ayo pergi."Ketika Rian mendengar ini, ekspresinya melembut.Dia berpikir tidak peduli apa hubungan mereka, Wina memilihnya saat ini adalah hasil terbaik.Rian menyingkirkan perasaan kacaunya dan memeluk Wina dengan erat. Dia melewati Jihan tanpa mengatakan sepatah kata pun.Jihan menoleh dan menatap Wina, matanya yang suram itu seolah menembus tubuh Wina.Wina dengan cepat menunduk, mencoba menghindari tatapan itu, tetapi Jihan tiba-tiba meraih lengannya.Jihan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menarik Wina keluar dari pelukan Rian.Karena ditarik begitu keras, Wina pun terjatuh ke lantai.Area luka di punggungnya bergesekan dengan lantai. Terasa sangat sakit.Wina mengabaikan rasa sakit itu dan segera mengambil kembali mantel yang terlepas dari tubuhnya.Sayangnya, sebelum tangannya menyentuh ujung mantel, mantel itu d
Mendengar kata-kata Wina, tangan Jihan yang berhenti di leher Wina tiba-tiba mencekiknya.Jihan mencekik leher Wina dengan satu tangan dan mengangkatnya dari tanah.Cekikan itu membuat Wina kesulitan bernapas dan jantung Wina mulai terasa sesak dan nyeri.Wina menderita gagal jantung memerlukan oksigen yang cukup, atau dia akan mati.Wina sebelumnya sudah kesulitan bernapas karena rasa sakit di punggungnya itu. Sekarang, ditambah dicekik oleh Jihan.Wina yang mulai merasakan sesak napas, memegang bagian jantungnya dan mati-matian membuka mulutnya untuk menyedot udara masuk.Namun, Jihan tidak memberinya kesempatan, cengkeramannya semakin kuat.Wina mencoba menarik pakaian Jihan dengan tangan yang gemetaran itu, tetapi dia sudah tidak punya kekuatan.Wina hanya bisa menatap Jihan dengan air mata berlinang, berharap Jihan akan berbelas kasih dan melepaskannya.Ketika melihat wajah Wina pucat tidak normal, seperti akan mati, Jihan segera melepaskan tangannya dan Wina pun terjatuh ke lanta
Wina yang masih ada sedikit kesadaran, menggunakan seluruh kekuatannya untuk menoleh ke arah Jihan yang mengemudi dengan cepat."Kamu ... kejarlah tunanganmu ... nggak perlu peduli ... padaku ...."Hanya mengatakan itu saja sudah membuat Wina hampir kehilangan nyawanya.Wina bersandar di kursi, mencoba menghirup udara dari mulutnya, tetapi rasa sesaknya tetap tidak bisa mereda.Jihan mengernyit, meliriknya sejenak, tetapi tidak membalas ucapannya. Dia menaikkan kecepatan mobilnya dan melaju ke rumah sakit.Begitu tiba, Jihan menggendongnya dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit. Sambil menatap Jihan, Wina mengulurkan tangan yang lemah itu untuk menarik kemeja putih Jihan."Aku ... nggak ingin ke ... rumah sakit ...."Saat tangan Wina menyentuh kulitnya, Jihan merasakan tangan Wina begitu dingin, seperti orang yang akan meninggal. Hal ini membuat Jihan semakin panik."Dengarkan aku, ya. Ada oksigen di rumah sakit."Setelah menenangkan Wina, Jihan memeluk erat Wina di dalam pelukannya d
"Kenapa bisa begini?"Ekspresi Jihan perlahan-lahan menjadi semakin dingin."Rian yang memukulmu?"Wina dengan cepat menggelengkan kepalanya dan berkata, "Bukan dia, tapi Emil ...."Jihan langsung mengernyit dan berseru, "Apa yang terjadi?"Wina tidak punya pilihan selain menceritakan semua yang terjadi di hotel.Saat Wina bercerita, kerutan di kening Jihan sedikit mengendur.Namun, ketika mendengar bahwa Wina hampir dinodai oleh pengawal yang dibawa oleh Emil, kerutan di kening yang baru menghilang itu kembali lagi.Tanpa pikir panjang, Jihan mengeluarkan ponselnya dan menelepon lagi, "Wira, segera urus Emil!"Wira Zorat, wakil CEO, yang menerima telepon dari Jihan, dengan cepat dan penuh hormat menjawab, "Baik."Wina memandang Jihan yang sedang menelepon, sedikit terkejut karena Jihan akan membantunya menangani Emil.'Dia membantuku karena tahu ada orang yang hampir menyentuh 'mainannya' atau karena memang peduli padaku?'Tiba-tiba, Wina teringat Emil menyebut nama Wira dan bertanya
Lama sekali Jodie hanya tertegun setelah menerima berita kematian Wina, tetapi akhirnya bergegas dan mengantar kepergian Wina ke tempat peristirahatan terakhirnya. Setelah semua orang meninggalkan pemakaman, Jodie mengelus batu nisan Wina dengan penuh rindu."Wina."Jodie perlahan berjongkok sambil bertopang pada batu nisan Wina dan menatap wajah Wina dalam foto dengan matanya yang sudah menua ...."Nggak disangka, ya?""Ternyata begitu aku jatuh cinta, rasa cintaku bisa bertahan selama ini," gumam Jodie sambil mengangkat alisnya. "Aku saja nggak tahu kalau aku ternyata tipe orang yang sepenyayang ini."Jodie menatap foto itu dan tersenyum. "Sampai-sampai ... aku merasa nggak ada satu wanita lain pun yang menarik perhatianku. Tuh Wina, aku nggak kalah dari Jihan, 'kan?"Namun, yang menjawab Jodie adalah bunyi kepak sayap burung yang terbang di pemakaman. Setelah semua binatang itu pergi, yang tersisa hanyalah keheningan. Sama heningnya seperti rasa cinta yang selama ini Jodie pendam da
Sebelum kehidupan Wina berakhir, yang terlintas di benaknya adalah rasa cinta yang Jihan sembunyikan selama lima tahun itu ....Saat membalikkan tubuhnya dan bangun, Wina bisa melihat tubuhnya dipeluk dengan erat oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga. Jika itu bukan cinta, lantas apa ....Wina juga bisa melihat suasana makan di akhir pekan itu dengan jelas. Jihan yang duduk di depannya sesekali melirik Wina melalui ekor matanya. Jika itu bukan karena Jihan sudah lama menyukainya waktu, lantas apa ....Apalagi setelah Jihan selesai melakukannya. Dia akan menggendong dan membiarkan Wina berbaring tengkurap, lalu mengusap-usap punggung Wina untuk menidurkannya seperti anak kecil ....Rasa cinta Jihan terwujud dalam hal-hal kecil. Mungkin sekilas tidak terlihat jelas cinta macam apa itu dan hanya Jihan sendiri yang tahu betapa dia menyayangi dan mencintai Wina ....Mata Wina tidak bisa lagi terbuka, rasanya jiwanya tersedot keluar. Dia tidak punya tenaga lagi untuk bangkit, dia juga
Wina mengelus bagian belakang kepala Delwyn, ekspresinya terlihat sangat tenang seolah-olah dia sudah berdamai dengan kenyataan. "Kapan kamu akan menikah?"Tubuh Delwyn sontak menegang, air mata menggenangi pelupuk matanya. Dia pun perlahan menengadah dan melepaskan Wina. "Ibu ... aku ... aku belum bertemu dengan gadis yang kusuka."Wina bisa melihat pantulan dirinya dari bola mata Delwyn, jadi dia menyentuh wajah putranya. "Kamu lihat sendiri betapa menderitanya ibumu tetap bertahan hidup. Masa kamu nggak mau membiarkan Ibu menyusul ayahmu?"Sewaktu kecil Delwyn dikekang oleh orang tuanya, tetapi sekarang setelah besar, giliran dia yang mengekang orang tuanya. Karena hanya pengekangan ini saja yang bisa mencegah Delwyn menjadi yatim piatu. Jadi ... biarkan Delwyn menjadi egois untuk kali ini saja ....Delwyn meraih lengan Wina dan memohon, "Ibu, tolong tunggu sebentar lagi. Aku akan menemukan gadis yang kusuka dan menikahinya, oke?"Wina tidak tega menyakiti hati putranya, jadi dia me
Demi putranya, Wina sama sekali tidak mengikuti Jihan. Namun, rambut Wina mendadak beruban dalam satu malam dan wajahnya seolah menua sepuluh tahun. Kerutannya sontak tampak lebih kentara, tatapan matanya selalu terlihat kosong.Di depan makam Jihan, Wina meminta Jihan untuk menunggunya. Sekarang Wina sudah punya anak, jadi dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan asal. Nanti setelah putra mereka menikah, barulah Wina akan pergi menyusul Jihan. Jika Jihan ternyata tidak menunggunya, Wina akan menarik kembali janjinya tentang kehidupan selanjutnya sehingga mereka tidak akan pernah bertemu lagi ....Wina tidak menghadiri pemakaman Jihan. Itu sebabnya dia akhirnya terbangun, lalu berjalan ke makam Jihan dengan tubuh yang terhuyung-huyung. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Wina katakan kepada Jihan, selain Delwyn yang memapah ibunya untuk menemui ayahnya ....Malam itu, Wina tiba-tiba pingsan di salju dan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan pertama. Wina baru sadar s
Bulu mata Wina tampak bergetar. Dia mengangkat matanya yang terkesan kosong dan menatap ke kejauhan. "Nggak, aku nggak akan ke mana-mana. Kami akan tetap di sini sampai aku ikut mati beku. Nggak akan ada yang bisa memisahkan kami."Semua orang sontak merasa tercekat. Mereka semua bergegas membujuk Wina agar jangan melakukan hal bodoh, tetapi Wina tidak mengacuhkan semua omongan mereka. Dia hanya duduk diam di sana sambil memeluk Jihan, menunggu ajal menjemputnya.Delwyn akhirnya menggenggam tangan Wina dengan erat sehingga pandangan Wina beralih kepadanya. "Ibu, aku tahu betapa Ibu mencintai Ayah dan Ibu pasti sulit menerima kenyataan ini, tapi tolong jangan lakukan hal bodoh. Aku sudah kehilangan Ayah dan aku nggak bisa kalau harus kehilangan Ibu juga ...."Suara putranya membuat Wina akhirnya perlahan menatap Delwyn. Wina menyentuh wajah Delwyn yang tampak begitu mirip dengan Jihan, lalu tersenyum kecil dengan senang ...."Ibu sudah lama mempersiapkan diri untuk kematian ayahmu. Kare
Air mata Wina pun mendadak mengalir turun. Tidak ada tangisan yang memilukan hati, hanya keheningan dan bibir Wina yang terbuka. Wina ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepertinya dia sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan kepada Jihan. Pada akhirnya, Wina hanya menurunkan pandangannya menatap wajah Jihan yang sudah pucat itu ...."Bodoh. Mau seberapa banyak pun darahmu mengalir keluar, kamu tetap suamiku. Mana mungkin aku takut? Aku nggak takut. Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini sendirian?"Yang membuat Wina merasa begitu getir adalah karena dia tidak sempat berpamitan untuk terakhir kalinya. Namun, Jihan sama sekali tidak memikirkan rasa penyesalan Wina dan fokus ingin menyembunyikan kondisinya dari Wina ....Lantas, bagaimana jika ... Wina tidak mengenali tiruan Jihan? Apa itu berarti Wina tidak akan pernah menemukan tubuh Jihan? Apa itu berarti Jihan akan selamanya terkubur beku di bawah salju ....Jihan sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum ajal menjemputn
Saat Delwyn meraih tangan Jihan dengan gemetar, Wina sontak menengadah seolah mendapatkan firasat. Dia melihat ke arah Delwyn sekilas, lalu bergegas merangkak menghampiri putranya dengan rambut acak-acakan seperti orang gila.Wina tetap tidak menangis. Dia bahkan menyentuh tangan yang kaku dan putih membeku itu dengan tatapan tegas, lalu menurunkan pandangannya yang bergetar dan menggali salju yang menutupi tubuh Jihan dengan tangannya yang sudah berdarah.Salju yang menumpuk di gunung lebih dalam, setiap lapisannya mengubur Jihan. Wina berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan suaminya dari dalam salju, lalu akhirnya melihat wajah Jihan yang berlumuran darah. Tidak ada rona kemerahan apa pun di wajah yang tampan itu, hanya ada noda darah dan salju yang menghiasi ....Delwyn menatap sosok ayahnya dengan tidak percaya. Dia pun jatuh terduduk, hatinya terasa remuk redam. Langit seolah mendadak runtuh dan hanya ada kegelapan tak berujung yang menyelimuti ...."Delwyn.""Tolong Ibu,
Wina yang sedang mencari ke mana-mana sontak berhenti melangkah, rasanya dia seperti mendengar ada yang memanggil namanya. Wina pun menoleh dengan tatapan kosong, tetapi terlihat jelas hanya ada dia di sini.Wina berdiri dalam diam, lalu memegangi dadanya yang berdetak dengan begitu kuat. Tiba-tiba, hatinya terasa tersayat seolah-olah dia akan kehilangan sesuatu. Saking sakitnya, Wina sampai membungkukkan tubuhnya. Akan tetapi, rasa sakit itu tidak kunjung hilang ....Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada Jihan. Di saat Wina ingin kembali mencari Jihan, tiba-tiba sosok Jihan yang tampan muncul di hadapannya sambil membawa sebuket mawar."Sayang, kok kamu di sini? 'Kan sudah kubilang tunggu aku?"Begitu melihat Jihan tampak baik-baik saja, jantung Wina yang semula berdegap kencang mendadak menjadi tenang kembali.Wina langsung melempar payungnya dan melompat memeluk Jihan dengan gembira.Wina menghela napas lega saat merasakan hangat tubuh dan napas Jihan."Sayang, kamu tahu
Saat melihat Jihan berdiri sempoyongan dan mengerahkan sedikit tenaga untuk melambaikan tangannya, Jefri akhirnya tidak tahan lagi. Dia menggertakkan gigi dan berlari secepat mungkin ke dasar Gunung Kiron ...."Kak Jihan, aku panggil dokter dulu, terus menyuruh robot itu naik gunung dan baru setelah itu aku akan menjemputmu! Kakak berdiri saja di sana dan tunggu aku, ya! Aku akan segera kembali!"Jalan gunung di malam hari memang tidak dapat diprediksi, salju yang turun dari langit seolah menjadi sumber penerangan. Jefri merasa seperti sedang berjalan di siang hari. Namun, saking langkahnya terburu-buru, Jefri sampai beberapa kali jatuh tersungkur ke atas tanah dan dia bahkan tidak tahu berjalan ke arah mana ....Jihan memandangi punggung Jefri yang berangsur-angsur menghilang dari pandangannya, lalu memegangi dadanya. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang perlahan melambat. Jihan berdiri diam sambil merasakan bagaimana nyawanya meregang ....Entah berapa lama waktu berlalu, yang je