Wina yang masih ada sedikit kesadaran, menggunakan seluruh kekuatannya untuk menoleh ke arah Jihan yang mengemudi dengan cepat."Kamu ... kejarlah tunanganmu ... nggak perlu peduli ... padaku ...."Hanya mengatakan itu saja sudah membuat Wina hampir kehilangan nyawanya.Wina bersandar di kursi, mencoba menghirup udara dari mulutnya, tetapi rasa sesaknya tetap tidak bisa mereda.Jihan mengernyit, meliriknya sejenak, tetapi tidak membalas ucapannya. Dia menaikkan kecepatan mobilnya dan melaju ke rumah sakit.Begitu tiba, Jihan menggendongnya dan berjalan cepat masuk ke rumah sakit. Sambil menatap Jihan, Wina mengulurkan tangan yang lemah itu untuk menarik kemeja putih Jihan."Aku ... nggak ingin ke ... rumah sakit ...."Saat tangan Wina menyentuh kulitnya, Jihan merasakan tangan Wina begitu dingin, seperti orang yang akan meninggal. Hal ini membuat Jihan semakin panik."Dengarkan aku, ya. Ada oksigen di rumah sakit."Setelah menenangkan Wina, Jihan memeluk erat Wina di dalam pelukannya d
"Kenapa bisa begini?"Ekspresi Jihan perlahan-lahan menjadi semakin dingin."Rian yang memukulmu?"Wina dengan cepat menggelengkan kepalanya dan berkata, "Bukan dia, tapi Emil ...."Jihan langsung mengernyit dan berseru, "Apa yang terjadi?"Wina tidak punya pilihan selain menceritakan semua yang terjadi di hotel.Saat Wina bercerita, kerutan di kening Jihan sedikit mengendur.Namun, ketika mendengar bahwa Wina hampir dinodai oleh pengawal yang dibawa oleh Emil, kerutan di kening yang baru menghilang itu kembali lagi.Tanpa pikir panjang, Jihan mengeluarkan ponselnya dan menelepon lagi, "Wira, segera urus Emil!"Wira Zorat, wakil CEO, yang menerima telepon dari Jihan, dengan cepat dan penuh hormat menjawab, "Baik."Wina memandang Jihan yang sedang menelepon, sedikit terkejut karena Jihan akan membantunya menangani Emil.'Dia membantuku karena tahu ada orang yang hampir menyentuh 'mainannya' atau karena memang peduli padaku?'Tiba-tiba, Wina teringat Emil menyebut nama Wira dan bertanya
"Bisa tolong jangan memberitahunya?""Bisa."Lilia mengangguk dan lanjut berkata, "Tapi kamu harus beri tahu aku apa hubungan kalian."Lilia pertama kali melihat Jihan begitu perhatian dengan seorang wanita. Hal ini membuatnya sedikit penasaran.Wina menjawab dengan tenang, "Aku dulu adalah pengganti wanita pujaannya, tapi sekarang ... nggak ada hubungan dengannya lagi."Lilia tersenyum dan bertanya, "Wanita pujaan yang kamu maksud itu Winata?"Wina hanya mengangguk, sedangkan Lilia tersenyum penuh arti.Lilia terakhir hanya menyuruh Wina beristirahat dan keluar dari kamar rawat.Setelah Lilia pergi, Wina tidak dapat menahan rasa kantuknya lagi, jadi menutup matanya dan tertidur lelap.Tidak tahu berapa lama Wina tertidur. Namun, saat dia bangun, dia melihat Jihan duduk di sebelahnya.Jihan mengenakan sweter turtleneck hitam, di bawah sinar matahari, kulitnya terlihat cerah dan parasnya sangat menawan.Kemuliaan yang terpancar dari sekujur tubuhnya membuat orang tidak berani menghujatn
Setelah Wina mengatakan itu, raut wajah Jihan tiba-tiba menjadi dingin."Kubilang aku akan menyembuhkanmu, jadi jangan menolak."Dengan wajah dingin, Jihan menarik selimut untuk menutupi Wina, lalu duduk di samping sambil lanjut membaca laporan pemeriksaan Wina.Bulu mata yang tebal dan panjang terkulai ke bawah, menutupi matanya yang besar dan hitam itu, sehingga sulit untuk melihat emosi apa yang tersembunyi di mata itu.Akan tetapi, ada sedikit kegelisahan di antara alis yang saling mendekat itu. Begitu dangkal sehingga sukar untuk menyadarinya.Jihan selalu pandai mengendalikan emosinya, Wina tidak bisa memahaminya, jadi dia tidak repot-repot berspekulasi dan hanya berbaring miring.Mereka jarang berduaan dengan tenang seperti ini. Lima tahu bersama, Jihan tidak pernah menemaninya seperti ini.Wina terkadang bertanya-tanya di mana posisinya di hati Jihan.'Jika aku hanya pengganti, kenapa dia selalu datang mencariku setelah berpisah?''Terutama kali ini, dia benar-benar merebutku d
"Pak Jihan, kamu ...."Wina ingin bertanya mengapa Jihan membawa dia ke rumahnya?Akan tetapi, dia tidak tahu bagaimana cara menanyakannya.Dia menunduk, tidak berani menatap pria di depannya.Namun, Jihan memandangnya dengan ringan, seolah bisa membaca pikirannya."Setelah beristirahat beberapa hari, aku akan mengantarmu pulang."Jihan tidak mengatakan alasannya, hanya memberinya sebuah pernyataan.Ketika mendengar bahwa Jihan akan mengantarnya pulang, Wina tidak begitu gugup lagi. Mengenai alasan ....Wina merasa Jihan merasa bersalah sudah mencekiknya hampir mati, jadi ingin merawatnya di rumah.Meski alasan ini tidak begitu masuk akal, Wina tidak berani memikirkannya lebih jauh.Setelah membantu Wina berbaring miring di tempat tidur, Jihan memanggil pelayan rumah."Paman Rudi, siapkan makanan yang mudah dicerna," perintah Jihan."Baik."Rudi segera menanggapi dengan hormat, lalu pergi keluar.Begitu Rugi pergi, Jihan memanggil dua pelayan wanita dan meminta mereka menyiapkan bebera
Saat Lilia tiba, Jihan sudah meninggalkan kamar Wina.Wina merasa tidak enak hati ketika Lilia mengoleskan obat dan memberikan infus.Lilia menatapnya dan tersenyum penuh arti."Nona Wina sangat beruntung."Mungkin yang dimaksud Lilia adalah Jihan memperlakukan Wina secara berbeda.Namun, perbedaan kecil ini mungkin hanya karena rasa kasihan.Bagaimanapun, mereka telah bersama selama lima tahun. Ketika Jihan tiba-tiba mengetahui bahwa dia mengidap penyakit jantung, tidak peduli betapa dinginnya seseorang, mereka akan menunjukkan sedikit perhatian.Lilia tidak tahu apa yang dipikirkan Wina. Setelah menempelkan selotip di jarum di punggung tangan Wina, dia mengeluarkan beberapa kotak obat dan menyerahkan pada Wina."Nona Wina sungguh beruntung. Aku kebetulan membeli sejumlah obat untuk penyakit gagal jantung stadium terakhir dari luar negeri.""Meskipun obat-obat ini nggak bisa menghentikan kematian, setidaknya akan membantumu menghilangkan rasa sakit."Saat Wina melihat beberapa kotak o
Kamar pintu Wina tidak tertutup, jadi pembicaraan kedua orang itu terdengar oleh Wina dan membuat telinganya seperti tertusuk.Wina dihadapkan dengan kenyataan yang pahit. Dia akhirnya dengan jelas menyadari keberadaan dirinya bagi Jihan itu apa.Sebenarnya, selama lima tahun itu, Wina sudah tahu bagi Jihan dirinya hanyalah alat untuk melampiaskan hasrat.Namun, belum pernah ada momen seperti ini, yang membuatnya menyerah sepenuhnya.Wina mengangkat tangan kanannya ke atas, mempercepat tetesan infus itu. Dia berpikir bahwa semakin cepat tetesannya, semakin cepat penyakitnya sembuh.Setelah Lilia pergi, Jihan melihat ke arah kamar Wina berbaring itu dan mendapati bahwa pintunya tidak tertutup. Seketika, raut wajah Jihan menjadi muram.Jihan seperti kehilangan kendali, bangkit dari sofa dan menuju ke kamar. Begitu masuk, dia melihat Wina sedang mengatur kecepatan infus.Tidak ada perubahan emosi yang terlihat di wajah Wina. Dia masih seperti sebelumnya, patuh dan berperilaku baik.Meliha
Daris melirik Jihan, dia dapat melihat Jihan bertekad untuk menang karena sorot mata Jihan memperlihatkan keposesifannya.Daris awalnya ingin membujuk Jihan untuk mengembalikan Nona Wina ke Rian, tetapi setelah melihat ekspresi itu, Daris yang bisa membaca situasi pun tutup mulut.Dia tahu Jihan pada akhirnya tidak bisa melupakan Nona Wina, makanya bersaing dengan Rian.Hanya saja, Jihan tidak memperlihatkan perasaan itu, jadi sulit bagi Daris untuk mengatakannya.Setelah mengiakan perintah Jihan, Daris pergi mencari cara untuk memblokir semua berita.Meskipun orang-orang di vila ini adalah orang kepercayaan Jihan, mereka tidak bisa melawan tipu muslihat nyonya di rumah besar itu.Daris merasa bahwa saat ini dia harus mengatasi semua pengganggu Jihan daripada membujuknya untuk melepaskan Wina.Wina tidak tahu apa yang terjadi di ruang kerja. Saat melihat Rudi datang dengan tasnya, dia segera memaksakan diri untuk duduk."Nona Wina, ini tasmu," ujar Rudi.Setelah mengambil tasnya, Wina